Inun
Berkeliling Setahun Penuh
Tak punya sawah namun memanen gabah. Tak
menggarap sawah namun menjual gabah. Itulah kiranya kata yang cocok untuk
menggambarkan para pedagang dawet putih dari desa Kaliagung kecamatan Bagelen
kabupaten Purworejo ini.
Sejak puluhan tahun yang lalu, warga desa
tersebut telah menggeluti profesi pedagang dawet. Namun, mereka bukan pedagang
biasa. Tidak seperti umumnya pedagang dawet yang mendapatkan hasil berupa uang,
mereka mendapatkan gabah.
Cara berjualannya pun unik, mereka menjajakan
dawet kepada para petani yang sedang memanen padinya. Pagi mereka mengantar
dawet, siang hari mereka berkeliling memunguti gabah pembayaran. Pada musim
panen seperti sekarang, itulah waktu ketika mereka mulai beraksi.
Puluhan pedagang dawet tersebut bisa dijumpai
ketika pagi hari. Saat itu mereka menyambut para petani di lahannya. Dimana
terdapat lahan yang sedang panen, di situlah mereka bekerja. Mengunakan
klenthing (Semacam gentong kecil dari tanah liat) mereka menunggu para petani
beraktivitas. Setelah matahari beranjak tinggi, mereka pun memasuki lahan
persawahan menawarkan dawetnya yang berbahan dasar tepung kanji.
Di tengah terik matahari dan dahaga yang mulai
terasa, semangkuk dawet menjadi surga tersendiri untuk para petani. Karena itu,
tak heran, seorang pedagang dawet bisa menjual sampai 100 mangkuk dalam satu
hari. Itulah yang dialami oleh Inun Tubrah Brahman (39), seorang pedagang asal
desa Kaliagung kecamatan Bagelen, kabupaten Purworejo. Sejak tujuh tahun yang
lalu ia telah mengakrabi kehidupan petani melalui kesegaran dawetnya.
"Awalnya sih saya diajak mertua. Di desa
saya memang banyak yang menjadi penjual dawet. Mereka berkeliling di daerah
dimana ada panenan. Bahkan, saya sendiri kalau keliling bisa sampai ke
Jogja," jelasnya ketika ditemui di lahan persawahan di kecamatan
Purwodadi.
Inun mengungkapkan, para penjual dawet
tersebut sehari-hari berprofesi sebagai penyadap nira kelapa. Namun karena
pekerjaan tersebut hanya dilakukan pada subuh dan sore hari, mereka menggunakan
waktu di siang hari untuk berjualan dawet.
"Lumayanlah, dari 100 mangkuk dawet, saya
rata-rata bisa dapat gabah sampai 50 kilogram. Namun usaha ini juga
mengandalkan kepercayaan para petani. Karena mereka tahu kami penyadap dan
menggunakan gula kelapa asli, mereka pun menjadi pelanggan tetap kami,"
jelasnya.
Ia menegaskan, usahanya ini bukan untuk
mencari keuntungan semata. Hal itu terlihat dari berbedanya gabah yang
diberikan petani untuk setiap mangkuk dawetnya. Petani umumnya membayar dawet
seikhlasnya, ada yang memberikan banyak, ada pula sedikit.
"Namun yang jelas, meski kami nggak punya
sawah namun kami bisa memanen gabah. Para petani membayar dengan apa yang ada
di sawah yaitu gabah. Sebagian kami konsumsi sendiri, sisanya dijual,"
ujar Inun bangga.
Ia mengungkapkan, meski zaman telah berubah,
namun petani sepertinya enggan meninggalkan kebiasaan barter ini. Hal ini
menjadi suatu keunikan tersendiri. Meski beberapa petani mulai ada yang
membayar dengan uang, namun sebagian besar masih menyukai sistem barter.
"Saya pernah mendapat ucapan yang mengena
dari petani. Suatu kali karena sudah ada yang membayar dengan uang, saya pun
meminta bayaran uang. Namun seorang petani bilang 'kalau nyari uang, jangan di
sawah. Di sawah adanya gabah. Kalau nyari uang, sana di pinggir jalan.' ucapan
tersebut masih saya ingat sampai sekarang," ujarnya sambil tersenyum.
Keberadaan para pedagang dawet ini menjadi
berkah untuk petani beserta buruh tani. Setio Agus Riyadi (24) misalnya. Buruh
tani ini mengaku, ia telah menjadi pelanggan setia dawet buatan Inun.
"Sejak awal panen, setiap hari beli
dawet. Bahkan, pemilik lahan yang punya inisiatif beli. Setiap ada penjual yang
kelihatan, langsung dipanggil sama pemilik lahan," jelasnya.
Untuk membayar, hal itu justru dilakukan oleh
para buruh dan bukan pemilik lahan. Untuk 2-3 mangkuk dawet, biasanya mereka
membayar dengan 2-3 kilogram gabah basah.
"Yang punya sawah malah senang, pekerja
jadi semangat. Bagaimanapun juga dawet jadi penambah semangat kerja kalau hari
sedang panas seperti sekarang," tuturnya.(*)
No comments:
Post a Comment