Hanya satu catatan dari pengamatan saya

Hasil pengamatan seputar kehidupan sehari-hari, jalan-jalan, film, hingga soal sejarah, kereta api dalam dan luar negeri

Monday 22 December 2014

Memoar 23: Uniknya Barter Dawet Ketika Musim Panen

Inun Berkeliling Setahun Penuh

Tak punya sawah namun memanen gabah. Tak menggarap sawah namun menjual gabah. Itulah kiranya kata yang cocok untuk menggambarkan para pedagang dawet putih dari desa Kaliagung kecamatan Bagelen kabupaten Purworejo ini.

Sejak puluhan tahun yang lalu, warga desa tersebut telah menggeluti profesi pedagang dawet. Namun, mereka bukan pedagang biasa. Tidak seperti umumnya pedagang dawet yang mendapatkan hasil berupa uang, mereka mendapatkan gabah. 
 
Seorang pedagang dawet barter sedang menyiapkan dagangannya. Dok Pri
Cara berjualannya pun unik, mereka menjajakan dawet kepada para petani yang sedang memanen padinya. Pagi mereka mengantar dawet, siang hari mereka berkeliling memunguti gabah pembayaran. Pada musim panen seperti sekarang, itulah waktu ketika mereka mulai beraksi.


Puluhan pedagang dawet tersebut bisa dijumpai ketika pagi hari. Saat itu mereka menyambut para petani di lahannya. Dimana terdapat lahan yang sedang panen, di situlah mereka bekerja. Mengunakan klenthing (Semacam gentong kecil dari tanah liat) mereka menunggu para petani beraktivitas. Setelah matahari beranjak tinggi, mereka pun memasuki lahan persawahan menawarkan dawetnya yang berbahan dasar tepung kanji.

Di tengah terik matahari dan dahaga yang mulai terasa, semangkuk dawet menjadi surga tersendiri untuk para petani. Karena itu, tak heran, seorang pedagang dawet bisa menjual sampai 100 mangkuk dalam satu hari. Itulah yang dialami oleh Inun Tubrah Brahman (39), seorang pedagang asal desa Kaliagung kecamatan Bagelen, kabupaten Purworejo. Sejak tujuh tahun yang lalu ia telah mengakrabi kehidupan petani melalui kesegaran dawetnya.
 
Seorang pedagang dawet barter sedang menyiapkan dagangannya. Dok Pri
"Awalnya sih saya diajak mertua. Di desa saya memang banyak yang menjadi penjual dawet. Mereka berkeliling di daerah dimana ada panenan. Bahkan, saya sendiri kalau keliling bisa sampai ke Jogja," jelasnya ketika ditemui di lahan persawahan di kecamatan Purwodadi.

Inun mengungkapkan, para penjual dawet tersebut sehari-hari berprofesi sebagai penyadap nira kelapa. Namun karena pekerjaan tersebut hanya dilakukan pada subuh dan sore hari, mereka menggunakan waktu di siang hari untuk berjualan dawet.

"Lumayanlah, dari 100 mangkuk dawet, saya rata-rata bisa dapat gabah sampai 50 kilogram. Namun usaha ini juga mengandalkan kepercayaan para petani. Karena mereka tahu kami penyadap dan menggunakan gula kelapa asli, mereka pun menjadi pelanggan tetap kami," jelasnya.

Ia menegaskan, usahanya ini bukan untuk mencari keuntungan semata. Hal itu terlihat dari berbedanya gabah yang diberikan petani untuk setiap mangkuk dawetnya. Petani umumnya membayar dawet seikhlasnya, ada yang memberikan banyak, ada pula sedikit.
 
Seorang pedagang dawet barter sedang menerima pembayaran dawet berupa gabah basah. Dok Pri
"Namun yang jelas, meski kami nggak punya sawah namun kami bisa memanen gabah. Para petani membayar dengan apa yang ada di sawah yaitu gabah. Sebagian kami konsumsi sendiri, sisanya dijual," ujar Inun bangga.

Ia mengungkapkan, meski zaman telah berubah, namun petani sepertinya enggan meninggalkan kebiasaan barter ini. Hal ini menjadi suatu keunikan tersendiri. Meski beberapa petani mulai ada yang membayar dengan uang, namun sebagian besar masih menyukai sistem barter.

"Saya pernah mendapat ucapan yang mengena dari petani. Suatu kali karena sudah ada yang membayar dengan uang, saya pun meminta bayaran uang. Namun seorang petani bilang 'kalau nyari uang, jangan di sawah. Di sawah adanya gabah. Kalau nyari uang, sana di pinggir jalan.' ucapan tersebut masih saya ingat sampai sekarang," ujarnya sambil tersenyum.
 
Seorang pedagang dawet barter sedang menerima pembayaran dawet berupa gabah basah. Dok Pri
Keberadaan para pedagang dawet ini menjadi berkah untuk petani beserta buruh tani. Setio Agus Riyadi (24) misalnya. Buruh tani ini mengaku, ia telah menjadi pelanggan setia dawet buatan Inun. 

"Sejak awal panen, setiap hari beli dawet. Bahkan, pemilik lahan yang punya inisiatif beli. Setiap ada penjual yang kelihatan, langsung dipanggil sama pemilik lahan," jelasnya.

Untuk membayar, hal itu justru dilakukan oleh para buruh dan bukan pemilik lahan. Untuk 2-3 mangkuk dawet, biasanya mereka membayar dengan 2-3 kilogram gabah basah.

"Yang punya sawah malah senang, pekerja jadi semangat. Bagaimanapun juga dawet jadi penambah semangat kerja kalau hari sedang panas seperti sekarang," tuturnya.(*)


No comments:

Post a Comment

Mohon bantuan kliknya