Mengenang Prosesi
Pemakaman Masinis KRL Commuter Line 1131
Merinding…itulah yang saya rasakan ketika
meliput proses penjemputan jenazah hingga pemakaman almarhum Darman Prasetyo.
Masinis korban tabrakan antara Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line 1131 di
Bintaro pada 9 Desember 2013 ini dimakamkan di tanah kelahiran orangtuanya di
desa Jenar Wetan kecamatan Purwodadi, Purworejo.
Perasaan merinding itu bukan perasaan yang sama
ketika melewati tempat wingit nan angker, ataupun ketika merasa kedinginan.
Merinding itu lebih pada rasa kagum dan hormat pada apa yang dilakukan mas
Darman. Perasaan merinding yang belum pernah saya alami kembali hingga saat
ini.
Mata saya berkaca-kaca ketika melihat foto
pemberangkatan jenazah alm Darman pada 9 Desember di Stasiun Gambir.
Menggunakan KA Argo Lawu, jenazah dipulangkan ke Purworejo untuk pemakaman.
Proses pengiriman jenazah menggunakan KA ini termasuk momen langka.
Bukan, bukan itu yang membuat saya merasa kagum
dan terharu. Di koran Jawa Pos, foto pemberangkatan sungguh dramatis. Ratusan
karyawan PT kereta Api Indonesia (KAI) memberi hormat ketika semboyan 40, 41
dan 35 dilakukan. Mulai dari petinggi hingga karyawan di lapangan, semuanya
larut dalam suasana khidmat memberikan penghormatan terakhir pada rekan mereka
yang gugur ketika menjalankan tugas di lapangan.
Ratusan Karyawan PT KAI memberi hormat ketika KA Argo Lawu yang membawa jenazah masinis KRL 1131 Darman Prasetyo diberangkatkan dari stasiun Gambir, Jakarta. Sumber: Jawa Pos |
Sorot kamera menangkap, tidak sedikit mereka
yang ikut memberi hormat itu berkaca-kaca kedua matanya. Tak sedikit yang
terisak ketika kereta perlahan meninggalkan stasiun khusus kereta kelas
eksekutif tersebut.
Perasaan merinding semakin kuat ketika saya
meliput penjemputan jenazah di Stasiun Jenar, Purworejo, Rabu (11/12/2013). KA
Argo Lawu yang biasanya tidak berhenti kini Berhenti Luar Biasa (BLB) untuk
menghantarkan jenazah sang pahlawan. Sekitar pukul 02.20 kereta yang membawa
dua kereta bagasi tersebut berhenti di stasiun. Bertindak sebagai penjemput
adalah jajaran PT KAI Daop VI Yogyakarta. Hal ini karena stasiun Jenar masuk
dalam lingkup kerja Daop VI.
Ketika lokomotif perlahan berhenti di ujung
peron, seluruh orang yang ada di stasiun berdiri. Puluhan wartawan segera
mendekati kereta bagasi nomor dua dari depan. Pintu kereta bagasi yang berwarna
hijau terbuka, belasan orang berseragam R6-seragam putih KAI bergegas turun.
Mereka adalah rekan sejawat Darman dari PT Kereta Commuter Jabodetabek (KCJ).
Belasan petugas berseragam coklat yang dipersiapkan Daop VI pun sigap menyambut
peti jenazah yang terbalut bendera Merah-Putih. Mereka adalah para Polisi
Khusus Kereta Api (Polsuska) yang diberi tugas khusus ini.
Para Polsuska tersebut berjalan perlahan dalam
formasi. Tentunya hal ini bukan hal yang mudah karena posisi peron stasiun
Jenar yang setengah tinggi. Namun demikian para petugas tersebut dalam posisi
berbaris sukses membawa peti jenazah ke depan pintu utama stasiun. Kepala Daop
VI waktu itu, Heru Barkah yang melakukan penerimaan jenazah.
Jenazah Darman Prasetyo tiba di Stasiun Jenar, Rabu (11/12/2014) sekitar pukul 02.20 WIB. Sumber: Tribunnews.com |
Setelah proses penandatanganan sebagai bukti
serah-terima dilakukan, jenazah perlahan dibawa ke area depan stasiun.
Sementara itu KA Argo Lawu perlahan meneruskan perjalanannya. Namun, prosesi
tersebut ditangkap oleh sebagian penumpang yang terbangun. Entah karena ganjil sebab
kereta berhenti tidak pada stasiun yang biasanya atau apa, namun banyak
penumpang melihat ke arah stasiun. Mereka tertegun dari balik jendela kaca.
Mungkin saja tidak menyangka kereta yang ditumpangi ternyata mengantarkan
seorang masinis yang berdedikasi pada tugasnya.
Oleh para petugas, peti jenazah kemudian
dimasukkan ke ambulans yang telah menunggu. Dikawal puluhan motor dan mobil,
ambulans kemudian membawa jenazah ke rumah orangtua Darman yang hanya terletak
sekitar 1 kilometer di selatan stasiun Jenar.
Sekitar 15 menit kemudian, iring-iringan sampai
di rumah orangtua Darman yang juga Kepala Desa Jenar Wetan. Puluhan kerabat dan
warga sekitar yang sedang berjaga di tratak depan rumah berdiri. Hawa dingin
menggigit karena mulai sore hingga malam itu hujan deras mengguyur wilayah
Purworejo dan sekitarnya.
Rekan Darman mengusung peti jenazah untuk disemayamkan di rumah duka. Sumber: Tribunnews.com |
Belasan rekan Darman berebut membawa jenazah
masuk ke rumah. Sementara itu, ibu Darman, Suratmi yang sejak tengah malam
duduk depan pintu berusaha berdiri untuk menyambut anaknya. Istri Darman, Riza
Listiana yang duduk di samping ibu mertuanya histeris ketika jenazah hendak di
bawa masuk.
“Mas Darman… aku mau ikut,” jeritnya. Tidak
lama kemudian Riza pingsan dan segera digotong masuk rumah oleh beberapa
kerabat.
Suratmi menatap nanar orang-orang yang membawa
jenazah anaknya itu. Tubuhnya bergetar sembari bibirnya lirih memanggil sang
putra. “Nak…kamu koq pergi, nak…” ujarnya dengan suara bergetar. Beberapa
kerabat pun menenangkannya.
Istri dan ibu Darman Prasetyo histeris melihat kedatangan ambulans. Sumber: Tribunnews.com |
Setelah jenazah disemayamkan, puluhan rekan
Darman yang mengiringi dari Jakarta beristirahat di sekitar rumah duka. Gerimis
turun kembali sehingga mereka terpaksa berteduh di tratak depan rumah. Wajah-wajah
lelah pun mewarnai rumah duka. Namun, rasa duka dan kehilangan mengalahkan
letih tersebut. Beberapa rekan Darman terdiam, beberapa tertunduk dengan mata
merah.
“Kehilangan sekali, sosok almarhum orangnya
enak diajak bergaul. Dia suka bercanda, ngerjain temannya,” ujar seorang rekan
Darman yang tidak ingin disebutkan namanya.
Beberapa jam kemudian, sekitar pukul 08.00
upacara pemakaman pun digelar. Ratusan pelayat memenuhi rumah Suroto, kepala
Desa Jenarwetan yang merupakan ayah Darman. Acara pemakaman dipimpin oleh
jajaran PT KAI Daop VI. Riawayat dan prestasi almarhum pun dibacakan. Suasana
haru rupanya membuat sang pembawa cara terlarut. Setiap kali menyebutkan
prestasi almarhum suaranya bergetar.
Rekan dan keluarga Darman bersiap mengantarkan Darman ke peristirahatan terakhirnya. Dok Pri |
Sekitar pukul 09.00 jenazah pun diberangkatkan
ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kembang Gading yang terletak di timur desa.
Sementara itu, nyaris seratusan orang berseragam R6 berjalan kaki mengikuti.
Ayah, ibu, istri, anak dan kerabat Darman yang lain pun mengikuti. Kali ini
istri Darman terlihat lebih tegar.
Tiba di pemakaman, jenazah segera dimasukkan ke
liang lahat. Seorang tetangga keluarga Darman mengungkapkan, ia heran dengan
suasana pemakaman waktu itu.
“Biasanya kalau habis hujan deras, tanah yang
digali bisa segera terisi air. Tapi ini koq aneh ya, tanah galian koq kering.
Apa mungkin karena almarhum meninggalnya secara syahid?” celetuknya yang
didengar beberapa wartawan.
Para karyawan PT KAI turut mengantarkan Darman. Dok Pri |
Entah kebetulan ataukah telah digariskan Yang
Maha Kuasa, ketika jenazah perlahan diturunkan ke liang lahat, pemakaman yang
terletak tidak jauh dari jalur rel Kutoarjo-Yogyakarta ini, dua KA berpapasan.
Yang pertama adalah KA Prameks dan satunya lagi saya kurang jelas menangkap.
Namun, secara bergantian dua kereta tersebut membunyikan semboyan 35-nya
(klakson). Hal ini bagi penulis terasa seperti semboyan perpisahan dengan
pahlawan perkeretaapian ini.
Suasana hening ketika peti diturunkan ke liang lahat. Dok Pri |
Sedih, wajah Riza terlihat sedih menatap pusara
suaminya. Namun, wajahnya terlihat lebih kuat. Putra tunggal mereka yang duduk
di samping Riza hanya menatap sekelilingnya. Anak sekecil itu belum memahami
apa yang terjadi.
Istri Darman, Riza Listiana terdiam menatap pusara suaminya. Dok Pri |
Puluhan rekan Darman pun bergantian mendoakan
almarhum. Terlihat ketua Asosiasi Masinis Indonesia (AMI) Denny Rohman ikut
mendoakan almarhum. Masinis asal Bandung ini menatap pusara rekan sejawatnya
dalam diam.
Rekan sejawat alm Darman mendoakan sang pahlawan kereta api. Dok Pri |
Kepada para awak media Denny menyatakan, ia
berharap semua pihak menjadikan peristiwa ini sebagai pembelajaran yang tidak
boleh terulang lagi. Menurutnya, tidak hanya pemerintah dan PT KAI yang
memikirkan keselamatan di perlintasan KA namun juga masyarakat.
“Entah melalui langkah penyadaran seperti apa,
namun seharusnya keselamatan di perlintasan menjadi tanggung jawab bersama. Kalau
perlu, di setiap perlintasan rawan ditempatkan petugas kepolisian untuk
menegakkan peraturan,” tegasnya.
Wafatnya Darman memang menjadi pelajaran
berharga dan terlampau mahal, betapa kelalain dan sikap menyepelekan bisa
berakibat fatal. Kereta Api bukanlah kendaraan yang bisa dihentikan dengan
sekali menginjak rem. Karena itu sikap masyarakat yang suka menerobos
perlintasan yang setengah tertutup maupun tertutup, maupun membuat perlintasan
sebidang perlu mendapat penindakan.
Saya pribadi terharu melihat apa yang dilakukan
Darman. Entah apa yang ada di pikirannya ketika melihat ada truk tangki yang
melintang di depan keretanya. Sempatkah ia memikirkan istri dan anaknya dan
berusaha menyelamatkan diri sendiri? Ataukah ia fokus pada bagaimana cara
menyelamatkan keretanya? Rupanya pilihan kedualah yang ia ambil. Bersama kru
yang lain, Sofyan Hadi dan Agus Suroto, mereka memutuskan bahwa keselamatan
penumpanglah yang utama.
Sungguh, dedikasi ketiganya begitu luar biasa.
Hingga perusahaan pun memberikan penghargaan. Nama Darman Prasetyo diabadikan
sebagai nama Balai Pelatihan Teknik Traksi (BPTT) Yogyakarta. Sementara Sofyan
Hadi diabadikan sebagai nama Balai Pelatihan Teknik Perkeretaapian (BPTP) di
Bekasi. Selanjutnya Agus Suroto diabadikan menjadi nama Balai
Pelatihan Operasi dan Pemasaran di
Bandung.
Untuk meringankan beban keluarga korban,
perusahaan pun memfasilitasi anggota keluarga untuk menjadi pegawai. Selain
santunan yang diberikan, tentunya hal ini merupakan hal yang patut diapresiasi.
Meski sejumlah langkah positif tersebut telah dilakukan, namun tentunya hal itu
tidak dapat mengobati seluruhnya rasa duka dan kehilangan yang dirasakan...Semoga
ini menjadi peristiwa pertama dan terakhir…
Petugas berupaya memadamkan kebakaran hebat yang timbul akibat tabrakan KRL dengan truk tangki di perlintasan Pondok Betung, Senin (9/12/2013). Sumber: Tribunnews.com |
Peristiwa yang terjadi di perlintasan Pondok
Betung pada Senin (9/12/2013) tersebut begitu fenomenal menyita perhatian
seluruh media massa. Satu rangkaian KRL Commuter Line bernomor 1131 bertabrakan
dengan truk tangki milik Pertamina. Belasan nyawa melayang, sementara puluhan
lainnya luka berat dan ringan.
Sorotan media juga kemudian beralih pada sosok
Slamet Suradio, masinis tragedi Bintaro pada 19 Oktober 1987. Pernyataannya
menepis mitos yang beterbangan bagaikan debu di musim kemarau ketika kecelakan
KRL Vs truk tangki terjadi. Menurutnya, tidak ada yang aneh pada perlintasan
tersebut.
“Kecelakaan bermula dari kelalaian. Itu saja,”
ucapnya pendek. Sederhana, namun mengena.
Peristiwa memilukan tersebut memang terjadi setahun lalu. Namun kesannya begitu membekas dalam benak saya. Posisi sebagai jurnalis, pecinta kereta api, dan manusia biasa campur aduk ketika melihat kejadian ini. Tidak ada maksud saya untuk mengorek luka lama, ataupun mengumbar duka keluarga korban. Tulisan ini semata-mata untuk mengenang, sosok yang berdedikasi tinggi hingga merelakan hidupnya sendiri untuk itu. Sungguh, hal semacam ini masih jarang terjadi, karena itu patut diapresiasi.(*)
No comments:
Post a Comment