Hanya satu catatan dari pengamatan saya

Hasil pengamatan seputar kehidupan sehari-hari, jalan-jalan, film, hingga soal sejarah, kereta api dalam dan luar negeri

Sunday 21 December 2014

Memoar 22: Harmonisasi Pedesaan dalam Gejuk Lesung

Elia Menikmati Hentakan Suara Lesung

Di tengah gempuran budaya modern, sekelompok warga di Kelurahan Pangenrejo kecamatan Purworejo Kabupaten Purworejo masih teguh memegang budaya peninggalan nenek moyang. Istimewanya mereka merupakan warga yang tinggal di wilayah perkotaan. namun demikian, mereka malah menggandrungi kesenian yang umumnya disukai petani pedesaan: Gejuk Lesung.

Gejuk Lesung merupakan kesenian yang berasal dari budaya kehidupan petani pedesaan Jawa tempo dulu. Waktu itu untuk menghasilkan beras dari buliran padi, petani menumbuk gabah menggunakan lesung yang ditumbuk dengan alu. Dalam prosesnya, untuk menumbuk padi dalam lesung dibutuhkan beberapa orang.
 
Grup Kesenian Gejuk Lesung "Mardi Swara" dari kelurahan Pangenrejo kecamatan/kabupaten Purworejo sedang tampil dalam pembukaan Gebyar Buku dan Budaya Purworejo 2013
"Karena itu, tumbuk padi ini juga menjadi momen kerukunan pengerat hubungan antar warga. Karena dilakukan bersama-sama, ketika akan menumbuk padi, lesung digejuk (dipukul) dengan irama tertentu untuk memanggil warga lainnya. Namun, irama tersebut ternyata memiliki keindahan tersendiri," jelas pemimpin kelompok seni Gejuk Lesung "Mardi Swara," di kelurahan Pangenrejo, Suwardiyo (51) belum lama ini.

Suwardiyo menuturkan, untuk menumbuk padi dalam lesung, dibutuhkan sekitar enam orang. Masing-masing memiliki alu yang berbeda bentuk dan bahannya. Namun, dari perbedaan inilah nada-nada yang berbeda dihasilkan. Dengan memukul secara bergantian, nada-nada yang rancak pun dihasilkan.

"Menumbuk padi lama-kelamaan menjadi semacam kebiasaan tersendiri untuk orang Jawa pada zaman dulu. Setelah lesung tergeser oleh mesin giling padi, kerinduan mendengarkan suara alu yang beradu dengan lesung masih saja ada. Karena itulah kami membentuk grup kesenian Gejuk Lesung ini," paparnya ketika ditemui di sela Pembukaan Gebyar Buku dan Budaya di Gedung Wanita, Purworejo.

Selain enam penumbuk, dalam kesenian ini diperlukan pula beberapa penyanyi atau penggerong. Dengan menyanyikan lagu-lagu Jawa lama dan lagu-lagu dolanan, mereka berhasil menampilkan perpaduan serasi antara irama tumbukan lesung dan alu dengan suara penyanyi. Tak ayal, mereka yang masa kecilnya pernah bersentuhan dengan budaya tumbuk padi dengan lesung ini pun terpesona dengan penampilan kelompok ini.
 
Grup Kesenian Gejuk Lesung "Mardi Swara" dari kelurahan Pangenrejo kecamatan/kabupaten Purworejo sedang tampil dalam pembukaan Gebyar Buku dan Budaya Purworejo 2013
Seorang pemain Gejuk Lesung, Elia Rizky Pramono (16) mengungkapkan, ada keasyikan tersendiri mendengarkan suara hentakan alu ke lesung. Meskipun ketika ia lahir peran lesung telah tergeser oleh mesin giling padi, namun ia mengaku bisa menikmati kesenian ini.

"Asyik aja, suaranya bikin semangat terus," jelas remaja ini.

Meskipun terlihat sederhana, lanjut Elia, ada kesulitan tersendiri dalam memainkan Gejuk Lesung. Hal tersebut utamanya dalam mengharmoniskan hentakan alu agar menghasilkan nada yang baik dan tidak saling menutup.

"Karena itu, latihan jadi hal yang pentig. Biasanya kalau ada panggilan pentas, latihan jadi intensif, bisa dua-tiga kali seminggu," jelasnya.

Suwardiyo menyambung, awalnya grup kesenian tersebut terbentuk secara tidak sengaja. Pada suatu acara Natalan di GKJ Purworejo Selatan, timbullah keinginan menampilkan kesenian tradisional. Kemudian tercetuslah ide menampilkan Gejuk Lesung.

"Ternyata kesenian mendapat sambutan yang baik dari jemaat gereja. Malah kemudian kesenian ini diminta tampil di berbagai tempat. Jadinya malah keterusan seperti ini," ujarnya sambil tersenyum.

 
Grup Kesenian Gejuk Lesung "Mardi Swara" dari kelurahan Pangenrejo kecamatan/kabupaten Purworejo sedang tampil dalam pembukaan Gebyar Buku dan Budaya Purworejo 2013

No comments:

Post a Comment

Mohon bantuan kliknya