Hanya satu catatan dari pengamatan saya

Hasil pengamatan seputar kehidupan sehari-hari, jalan-jalan, film, hingga soal sejarah, kereta api dalam dan luar negeri
Showing posts with label Tour. Show all posts
Showing posts with label Tour. Show all posts

Sunday, 29 September 2019

Makan Malam Pertama di Amerika (IVLP 4)

Selamat Datang di Washington DC!




Makan malam di Pecinan Washington DC

Lelah dan mengantuk? Sudah pasti. Namun kami tidak ingin membuang waktu. Sesuai urutan keluar, saya di rombongan tengah. 

Rekan satu rombongan IVLP rupanya sudah menunggu di luar gate. Suasana terminal kedatangan di Ronald Reagan National Airport ini terlihat remang. Baru ketika melihat jam, kamipun maklum. Sudah pukul 22.00 di Washington DC. Ada selisih waktu satu jam dengan Chicago sehingga perjalanan yang dua jam terasa jadi tiga jam.

Anggota rombongan selain saya adalah pak Hary, Pak Sofyan, Pak Agus, bang Iman, dan mas Damar. Kami bergegas keluar dari terminal menuju ke tempat pengambilan bagasi.

Namun sebelum kami sampai, baru turun dari eskalator, nampaklah dua sosok pemandu kami: Mbak Kae Kosasih dan mas Izmyr Katoppo! Mereka memandu kami mengambil bagasi, lalu keluar menuju ke mobil eh minibus penjemput. Sopirnya, seorang pria bertubuh tinggi dengan wajah Arab ramah membantu kami mengangkat koper ke bagasi minibus.

“Be careful, Habibi,” kata mbak Kae ke sopir itu.

Belakangan, kami tahu bahwa Habibi bukanlah nama asli sopir itu. Namun, nama itu dipakai Mbak Kae untuk menyemangati Habibi. Kenapa sebabnya? Sebentar lagi kami rasakan.
Minibus meluncur mulus keluar dari bandara dan mulai memasuki kota yang terlihat basah. Hujan nampaknya baru saja mengguyur. Bangunan tinggi mulai menyambut. Jalanan mulai padat. Kegelapan malam diwarnai dengan taburan lampu dari bangunan tinggi dan kendaraan di jalan.

Tiba di lampu merah, minibus tentu berhenti. Namun ketika lampu hijau, baru beberapa saat Habibi menginjak pedal gas, ia harus menekan pedal rem cukup dalam. Sebabnya, ada mobil yang nyelonong begitu saja. Sontak, penumpang minibus seperti menahan nafas. “Be careful,” kata Mbak Kae lagi.

Tidak sampai setengah jam, kami tiba di hotel kami: Hampton Inn yang terletak di area pusat kota Washington DC. Bangunan tinggi dengan eksterior batu merah sesekali terlihat dari sinar lampu jalanan.
Hotel dilihat dari jendela mobil


Sistem pengamanan hotel yang unik kami rasakan. Udara dingin yang menerpa membuat kami buru-buru masuk sambil menyeret koper masing-masing. Kami masuk melewati pintu hotel yang terdiri dari dua lapis pintu. Apabila ada petugas keamanan, ia akan membukakan pintu. Bila tidak, tamu hotel harus menggunakan kartu yang diberikan untuk membuka dua pintu kaca yang terpisahkan area transit kecil. Area transit ini berfungsi untuk mengeringkan alas kaki ketika di luar hujan.

Di Lobby, Mbak Kae dan Mas Izmyr membagikan berkas IVLP dari map biru. Map inilah yang diterima peserta IVLP dari seluruh dunia. Mapnya sama, yang beda hanya isinya :D Selain map, kami menerima kunci kamar dan password Wifi.

Tempat tidur yang nyaman

Seperti apa sih kamar hotelnya? Secara mendasar, tidak jauh berbeda dengan fasilitas hotel bintang 4 atau 5 di Indonesia. Ada TV, radio sekaligus jam dan alarm, kulkas, microwave, meja kerja, sofa kecil, dan tempat tidurnya yang luas dan nyaman. Yang membedakan adalah mesin AC yang terletak di jendela. “AC” ini bisa dinaikkan suhunya hingga menjadi pemanas ketika cuaca dingin melanda. Dari jendela ini saya juga bisa melihat aktivitas di jalanan kota Washington DC.

 
Fasilitas hotel, nampak AC dan pemanas di belakang tas saya

Makan Malam Pertama di Amerika

Rasa lapar kemudian mendera setelah kami masuk kamar dan menyimpan barang. Diskusi di grup WA membuat kami terpikir untuk mencari makan mengingat makan besar terakhir kami sebelum tiba adalah di penerbangan dengan American Airlines menuju Chicago.

Dasar orang Indonesia, walau di negeri orang, tetap saja nyari nasi! Mbak Kae pun kemudian mengantar kami mencari nasi ke Kawasan Chinatown alias Pecinan. Tidak perlu alat transportasi karena Pecinan hanya terletak sekitar dua blok dari hotel.

Udara dingin menggigit ketika kami berjalan keluar. Namun demikian, mungkin karena malam Minggu, makanya suasana terasa ramai. Banyak orang terutama pejalan kaki memadati trotoar. Kebanyakan mengenakan jaket, mantel atau minimal sweater. 

Pengalaman berjalan kaki di pedestrian DC ini juga memberikan pengalaman berbeda yang akan kami terapkan di kota-kota selanjutnya. Di sini, untuk menyeberang harus cermat melihat tanda pejalan kaki boleh menyeberang yang ditandai dengan lampu gambar orang warna hijau. Meski sudah ada tanda, namun mata juga harus cermat melihat kepadatan lalu lintas karena tidak sedikit persimpangan jalan yang mengizinkan mobil berbelok untuk jalan terus. Salah perhitungan, bisa celaka.

Pedestrian di DC ini juga cukup nyaman sebenarnya bila dinikmati di siang hari. Banyak pepohonan rindang yang menaungi pejalan kaki. Rumah-rumah penduduk sesekali menyelinap dari padatnya bangunan besar fasilitas public misalnya gereja dan sinagoga. Namun karena lapar, kami tak sempat menikmati banyak pemandangan.

Sekitar lima belas menit kemudian kami pun sampai di pecinan. Satu rumah makan menjadi pilihan kami.

Sebenarnya, Mbak Kae sudah makan sore tadi ketika mengantarkan dua anggota rombongan yang sudah terlebih dahulu tiba yakni mas Diki dan Mbah Luh De. Namun, ia tetap bersedia menemani kami. Terima kasih banyak, Mbak Kae!

Restoran yang (Duh, saya lupa Namanya) itu terletak tidak jauh dari persimpangan. Dari jalan, kami masuk melalui pintu utama dan sedikit turun. Tidak banyak pengunjung yang bersantap ketika kami datang. Waitres bertanya pada Mbak Kae tentang jumlah yang akan makan dan mengarahkan ke satu meja di tengah ruangan.

Meja kayu bulat dan kursi yang mengelilinginya jadi perabot utama untuk menunjang aktivitas bersantap para pengunjung. Di tengahnya terdapat berbagai ‘ubo rampe’ makan yakni beragam kecap dan sambal, sendok dan sumpit, juga gelas untuk air putih.
Dari buku menunya, nama-nama makanan cukup familiar untuk lidah Indonesia kami. Ada cap cay, tumis sayuran, hingga kwetiaw. Tanpa membuang waktu, kami memesan makanan yang familiar.

Satu rumus yang harus dipegang bila bepergian di Amerika dengan uang saku dari Indonesia: jangan rupiahkan harga makanannya! Nasi tergolong makanan yang cukup mahal di sini. Untuk makan menu nasi, uang yang harus dikeluarkan antara US$15-20. Nilai yang bisa untuk makan selama dua minggu di Jogja! Bila mau murah, bisa memesan burger di McD, sosis di Subway, atau hotdog.

Chinese food, menu makan malam kami

Perut kenyang, hati senang! Sistem makan di Chinese Food ini juga berbeda. Menu yang dihidangkan biasanya dalam porsi lumayan besar. Satu piring sayuran bisa untuk makan hingga 3 orang. Karena itu, sistemnya adalah total bill dibagi rata. Nah, malam itu saya cukup mengeluarkan US$17 untuk makan dengan berbagai sayur dan lauk. 
Piring saya. Lapar, hehehe


Meski sudah kenyang dan Lelah mendera badan, namun malam itu, cukup susah juga untuk tidur. Namun segelas cokelat susu hangat yang diambil dari area lobby hotel (Ada fasilitas gratis untuk tamu) cukup membantu membuat tubuh rileks. 

Tubuh saya masih merasa kalau itu adalah siang, padahal sudah nyaris tengah malam. Maklum saja, kalau ikut jam, di Indonesia masih tengah hari. Hingga akhirnya, setelah menyalakan alarm dan auto sleep di TV (Isinya siaran berita), saya berhasil tidur… selama lima jam. Pukul 05.30 alarm membangunkan saya dengan suksesnya. Mata terasa luar bisa berat, badan apalagi! Namun, agenda di hari Minggu sudah menanti: jalan-jalan di DC!
 

Pagi Pertama di Amerika dan Gegar Budaya di Toilet

Rutinitas pagipun dimulai. Namun masuk ke toilet, gegar budaya terjadi lagi. Saya teringat betul pesan seorang sahabat saya, Pak Martin Johnson yang merupakan warga Amerika asli. Sebelum berangkat saya bertanya banyak hal kepadanya tentang kehidupan di Amerika. Satu hal yang menjadi catatannya adalah soal toilet. Kamar mandi dan toilet di Amerika menganut prinsip kering. Jadi, tidak ada saluran pembuangan bawah. Kalau lantai basah, akan sangat susah keringnya!

Informasi itu saya jaga betul karena tidak mau ribet di kamar mandi. Saya akan tinggal di kamar ini selama sepekan ke depan. Mandi bisa dilakukan di bath tube sambil menutup tirai agar air tidak kemana-mana.

Soal sabun, sebenarnya pihak hotel sudah menyediakan cukup lengkap, mulai dari sampo, sabun badan, pasta gigi hingga deodorant. Namun demikian, saya yang kadang alergi dengan bahan tertentu memilih membawa sabun dari Indonesia. Sabun, sampo, sabun muka dikemas dalam botol tertentu agar mudah dibawa dan tidak mudah tumpah. Botol ini saya beli dari toko perlengkapan travelling, lengkap dengan tasnya yang tahan air.

Nah, yang paling vital adalah soal buang air besar. Kloset di sini tidak memiliki penyiram berupa selang untuk membersihkan diri setelah menuntaskan hajat. Karena, kebiasaan orang Amerika adalah memakai tisu untuk mengelap dan membersihkan. Buat orang Indonesia, ini adalah masalah besar. Membersihkan diri setelah buang air besar tak akan terasa bersih tanpa air. Solusinya sederhana: gelas kertas.

Hotel memang menyediakan gelas kertas di kamar, berdampingan dengan kopi dan teh bila tamu ingin minuman hangat di kamar. Ada tiga gelas kertas yang disediakan. Dua gelas saya simpan di kamar mandi, difungsikan sebagai gayung untuk membersihkan diri!

 

Thursday, 5 September 2019

Transit di Narita dan Sebelas Jam Terbang ke Amerika (IVLP 3)


Jepang pada Pandangan Pertama


Sembari pesawat perlahan menurunkan ketinggian, bentang alam Jepang yang beragam namun didominasi alam asri yang menhijau pun menyambut. Mungkin karena Bandara Narita terletak cukup jauh dari Kota Tokyo, rumah penduduk terlihat tidak terlalu padat. Bahkan, terdapat ladang dan sawah yang menghijau, yang sesekali terlihat mengkilat karena adanya rumah kaca maupun ladang yang dilindungi pelindung plastic. Warna hijau muda berpadu dengan coklat dan keperakan hingga akhirnya barisan ekor pesawat menandakan pesawat telah hampir mendarat.

Saturday, 13 December 2014

Memoar 14: Jelajah Jalur KA Purworejo-Kutoarjo


Railfans Yogya Jelajahi Jalur Non Aktif Purworejo-Kutoarjo

Tidak sekedar menyukai untuk diri sendiri, namun juga memberikan bukti nyata. Itulah kiranya yang bisa dikatakan untuk menggambarkan aktivitas pecinta kereta api dari Yogyakarta yang tergabung dari Indonesian Railway Preservation Society (IRPS) dan Railfans Yogyakarta (RF YK). Pada Minggu (16/9/2012), mereka melakukan penjelajahan jalur non aktif Purworejo-Kutoarjo sepanjang sekitar 12 kilometer tersebut.
Tim penjelajah dari IRPS dan RF YK sedang menelusuri bekas halte Batoh. Tampak di belakang jalur rel tertutup rerumputan sehingga terkesan hilang. Dok Pri

Berangkat dari kota Yogya secara terpisah, sekitar 12 orang pecinta kereta api yang identik dengan sebutan Railfans ini berkumpul di stasiun Purworejo sekitar pukul 10.00. Setelah berdiskusi di kompleks stasiun dan melakukan pengamatan, sekitar pukul 11.00 penjelajahan dilakukan dengan sepeda motor menuju Kutoarjo. Di sepanjang perjalanan, banyak hal menarik ditemukan.

Thursday, 11 December 2014

Laporan Perjalanan Uji Coba Kedua Railbus Bathara Kresna

Ketika Stasiun Wonogiri Berbenah Diri
Railbus Bathara Kresna stand by di jalur 1 Stasiun Pruwosari sebelum diberangkatkan ke Wonogiri. Dok Pri

Kalau tidak salah, sudah hampir empat tahun jalur kereta api Purwosari (Solo) ke Wonogiri tidak aktif. Sebelumnya, selama beberapa tahun jalur ini dirayapi KA Feeder Bengawan. Banyak kenangan unik penulis di jalur tersebut.

Pada Kamis (4/12/2014) kesempatan untuk menengok jalur ini pun datang kembali. PT Kereta Api Indonesia (KAI) bersama pemerintah daerah di sepanjang jalur mengadakan ujicoba Railbus Bathara Kresna. Sebetulnya ini bukan ujicoba yang pertama kali. Beberapa kali jalur ini dicoba baik menggunakan Railbus maupun KRDH Prameks. Bahkan seminggu sebelumnya juga ada ujicoba menggunakan railbus. Namun waktu itu saya tidak dapat ikut karena informasi yang mendadak dan sudah ada jadwal acara.

Saturday, 6 December 2014

Jalan-Jalan ke Madiun dan Sekitarnya (2)

Blusukan ke Pabrik Sarana Perkeretaapian Satu-satunya di Asia Tenggara

Tiba di kawasan INKA yang terletak di utara stasiun Madiun, rombongan ditemui oleh perwakilan INKA, Wiweka Saputro dan sejumlah staff Humas. Direktur Keuangan Direktur Keuangan dan Sumber Daya Manusia (SDM) PT INKA‎ Mohamad Nur Sodiq yang direncanakan menemui rombongan dari Purwokerto ini berhalangan karena sedang mengikuti Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) di Jakarta.
Rombongan PT KAI diterima jajaran Humas INKA di aula. Dok Pri

Wiweka pun ramah menyambut kedatangan rombongan DAOP V dan awak media. Menurutnya, INKA sudah banyak mendapat kunjungan tidak hanya dari user produk INKA namun juga dari berbagai komunitas pecinta Kereta Api. Ia mengungkapkan, setiap kunjungan merupakan kesempatan yang berharga untuk INKA memperkenalkan produknya. Karena itu, ia mengapresiasi kedatangan rombongan.

“Kami sangat senang dan bangga ada kunjungan dari user produk INKA dalam hal ini PT KAI. Selain itu, kami juga menyambut kedatangan rekan media massa. Semoga kunjungan kali ini dapat membawa manfaat,” katanya.

Setelah saling beramah-tamah, sejarah singkat INKA pun dipaparkan oleh staff humas. Dalam kesempatan itu, penjelasan juga disertai slide yang menggambarkan perkembangan INKA yang menempati lahan seluas 22,5 Ha ini.

Friday, 5 December 2014

Jalan-jalan ke Madiun dan Sekitarnya (1)

Menuju ke Madiun Sembari Melepas Lelah di Telaga Sarangan

Sebagai railfans, adalah hal yang wajar untuk terus mengenal seluk-beluk dunia perkeretaapian, satu di antaranya adalah sarana. Setelah beberapa waktu yang lalu melihat proses perawatan sarana perkeretaapian di Balai Yasa Yogyakarta dan proses pelatihan masinis di Balai Pelatihan Teknik Traksi (BPTT) Darman Prasetyo Yogyakarta, kali ini pabrik pembuat sarana perkeretaapian yang menjadi tujuan.

Adalah PT Industri Kereta Api (INKA) yang menjadi tujuan kunjungan saya pada pertengahan November lalu. Banyak hal saya pelajari dari pabrik sarana perkeretaapian kebanggaan bangsa Indonesia ini. 

Di tengah derasnya gempuran produk dan teknologi impor, ternyata bangsa Indonesia telah memiliki keunggulan di bidang kereta api. Hal itu terlihat dari keberadaan PT INKA di Madiun yang merupakan satu-satunya pabrik Kereta Api (KA) di kawasan Asia Tenggara sampai saat ini.

Sebagai produsen sarana perkeretaapian, PT INKA telah menghasilkan banyak produk yang dipakai di dalam dan luar negeri. Mulai dari kereta penumpang berbagai kelas, gerbong barang hingga lokomotif telah dibuat oleh perusahaan yang diprakarsai BJ Habibie ini.

Pekan lalu, PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daop V Purwokerto sebagai satu dari beberapa klien PT INKA melakukan kunjungan ke pabrik yang terletak di kawasan Stasiun Madiun. Dalam kunjungan tersebut, beberapa awak media termasuk penulis turut diajak untuk melihat proses pembuatan sarana perkeretaapian.

Rombongan PT KAI yang dipimpin Corporate Communication Manager Daop V, Surono berangkat dari Purwokerto bersama sejumlah wartawan. Menggunakan KA Gaya Baru Malam Selatan, rombongan pun bertolak ke Madiun. Perjalanan yang diharapkan cukup lancar sempat tersendat karena kedatangan KA GBMS yang terlambat sekitar 20 menit di Stasiun Purwokerto.
Stasiun Lempuyangan yang tidak terlalu ramai menjelang kedatangan KA Gaya Baru Malam Selatan. Dok Pri

Menggunakan perhitungan tersebut, sambil terus mengontak pak Surono, penulis pun menunggu di Stasiun Lempuyangan mulai pukul 19.00. Menjelang pukul 19.30 yang merupakan waktu kedatangan normal KA GBMS, PPKA stasiun Lempuyangan mengumumkan bahwa KA GBMS diperkirakan mengalami keterlambatan sekitar 40 menit.

Jadilah kereta kemudian masuk ke Lempuyangan sekitar pukul 20.15. Setelah mendapatkan tiket keberangkatan dan kepulangan, penulis pun bergegas masuk ke kereta 1 dimana jajaran DAOP V dan media telah menunggu. Tidak lama kemudian KA GBMS berangkat menuju Madiun.

Mohon bantuan kliknya