Pak Jenthu Meminta Ibu Saya Menyekolahkan Semua Anaknya
Rm N Driyarkara SJ memang menjadi tokoh
nasional dengan berbagai pemikiran yang mewarnai dunia filsafat dan pendidikan
di Indonesia. Namun di balik semua itu, rektor pertama PTPG Sanata Dharma ini
juga meninggalkan kesan untuk warga di daerah kelahirannya di desa Kedunggubah,
kecamatan Kaligesing, Purworejo.
Puluhan warga desa Kedunggubah kecamatan
Kaligesing, Purworejo sejak Rabu (12/6) pagi sibuk berkumpul di balai desa dan
juga di suatu perbukitan setempat. Mereka memersiapkan perayaan ulang tahun
ke-100 Rm N Driyarkara SJ yang akan dilaksanakan pada Kamis (13/6).
![]() |
Puluhan warga desa Kedunggubah kecamatan kaligesing, Purworejo memersiapkan lokasi peletakan batu pertama peringatan tempat lahir tokoh nasional Rm N Driyarkara SJ. Dok pri |
Menurut Kepala Desa Kedunggubah, Budiyanto,
acara akan dilaksanakan di dua titik. Yang pertama adalah lokasi kelahiran
Driyarkara yang ada di satu perbukitan di wilayah desa Kedunggubah. Meski rumah
kelahiran kini telah menjadi lahan kosong, namun pada peringatan 100 tahun
Driyarkara akan didirikan semacam batu peringatan.
"Selanjutnya acara selamatan akan
diadakan di balai desa, diikuti berbagai lapisan masyarakat dan pejabat di
Purworejo," jelas Budiyanto ketika ditemui di balai desa Kedunggubah, Rabu
(12/6).
Budiyanto menyatakan, masyarakat desa
Kedunggubah antusias merayakan hari lahir tokoh rohaniwan Katholik tersebut.
pasalnya, semangat yang dikobarkan oleh Rm N Driyarkara tidak hanya untuk umat
Katholik tapi juga untuk bangsa Indonesia.
"Karena itu, warga dari berbagai agama
antusias mengikuti acara ini. Semangat dan ajaran beliau menjadi sesuatu yang
dibanggakan warga desa ini," lanjutnya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Tribun
Jogja, Rm N Driyarkara SJ merupakan pencetus ajaran "manusia adalah
kawan bagi sesama". Menurut Driyarkara, sanusia adalah rekan atau teman
bagi sesamanya di dunia sosial ini (homo homini socius). Pikiran homo
homini socius ini ditaruh untuk mengkritik, mengoreksi, dan
memperbaiki sosialitas preman; sosialitas yang saling mengerkah, memangsa, dan
saling membenci dalam homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi
sesamanya).
Rm N Driyarkara Sj juga merupakan rektor pertama Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) Sanata Dharma yang kemudian hari berubah menjadi universitas Sanata Dharma. Selain dikenal sebagai filsuf, ia juga dikenal sebagai ahli pendidikan. Ia lahir di Kedunggubah, Kaligesing, Purworejo, 13 Juni 1913 dan wafat di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah pada 11 Februari 1967.
Semangat mendidik itu dirasakan oleh Gunawan
Ambaryanto (69) yang masih terhitung keponakan N Driyarkara SJ. Ia sempat
berinteraksi dengan pamannya itu ketika ia masih kecil.
"Saya waktu itu masih kelas enam SD.
Sering ketemu beliau ketika beliau sering pulang setelah menempuh pendidikan di
Amerika. Yang paling saya ingat ya perkataan beliau pada ibu saya, 'Yu,
sekolahkan semua anak-anakmu tinggi-tinggi. Jangan sampai ada yang tidak
bersekolah.' Perkataan beliau ini membuat ibu saya terlecut untuk bekerja keras
menyekolahkan anak-anaknya," jelas Ambar ketika ditemui di tempat yang
sama.
Ambar melanjutkan, satu hal lain yang ia
kenang dari Driyarkara yang sewaktu masih muda dipanggil Jenthu itu adalah
makanan pantangannya. Menurutnya, Paklik Jenthu tidak menyukai telur ayam.
"Kata Paklik Jenthu, telur ayam
membuatnya gatal-gatal. Karena itu ibu saya tidak menyuguhkan telur ketika
paklik berkunjung," katanya lagi.
Sementara itu, menurut Ngatijo (62), ketua
Stasi umat Katholik di Kedunggubah, N Driyarkara menyimbolkan kesederhanaan dan
ketangguhan seorang manusia. Hal itu terlihat dari kerja keras yang dijalani
Driyarkara ketika menempuh pendidikan.
"Menurut cerita orang-orang di desa, Pak
Jenthu itu kalau sekolah jalan kaki. Sewaktu menempuh pendidikan dasar di
Cangkrep yang berjarak sekitar enam kilometer dari sini, ia jalan kaki, setiap
hari. Setelah itu, ketika telah menjadi imam, ia mengunakan sepeda untuk
pulang," jelasnya.
Sosok N Driyarkara, lanjut Ngatijo, menjadi
inspirasi tidak hanya umat Katholik di Kedunggubah yang berjumlah sekitar 80
orang, namun juga semua lapisan masyarakat.
"Dari beliau kita bisa belajar, bahwa
untuk menjadi orang besar dan berguna untuk sesama, latar belakang tidak
terlalu menentukan. Bahkan dari pelosok pegunungan seperti ini, lahir pemikir
besar yaitu Romo Nicolaus Driyarkara SJ ini," tutupnya.
No comments:
Post a Comment