Mumpung masih di Oktober, sekalian masih berbau-bau hari
untuk para Blogger, saya akhirnya memutuskan untuk menghidupkan kembali blog
yang telah lama mati ini. Senang rasanya bisa mencurahkan pikiran di tengah
penatnya pekerjaan. Saya terlupa, menulis bisa meringankan penat di pikiran,
syukur-syukur penat di hati juga :)
Beberapa hari ini orang ramai membicarakan Presiden Jokowi
dan para menterinya. Tidak mulus memang, karena beberapa tokoh yang diharapkan
bisa mengisi pos ternyata terpental. Namun paling tidak, kita masih punya
harapan untuk melihat kinerja mereka. Tidak elok mengomentari orang yang belum
kerja, tentu belum pula terlihat hasilnya.
Ignasius Jonan merupakan sosok pertama yang menjadi perhatian
saya. Rasanya memang cocok bapak satu itu mengisi pos Menteri Transportas—atau menteri
Perhubungan. Pengalamannya mengobrak-abrik PT kereta Api Indonesia sehingga
menjadi perusahaan yang banyak dipuji memang memberi gambaran yang lumayan.
Meski, sebagai seorang pecinta KA ada sedikit kekhawatiran, apakah penggantinya
bisa seperti beliau atau bisa lebih dari beliau? Maklum saja, tantangan
perusahaan kereta api pelat merah itu ke depannya tidak ringan. Hutang menumpuk
sudah menunggu untuk dilunasi. Pembelian ratusan lokomotif dan rangkaian tentu
menunjang performa. Namun kalau dibeli dengan hutang yang angkanya bisa bikin
asma, tentu harus dilunasi. Atau, ah… mungkin saya terlalu pesimis saja.
Tokoh berikutnya yang menjadi sorotan tentu saja Susi
Pudjiastuti. Perempuan kelahiran Pangandaran 15 Januari 1965 ini sebelumnya sukses menjadi
pengusaha hasil laut dan transportasi. Meski “hanya” tamatan SMP, namun ia
membuktikan diri bisa sukses.
Kontroversi mengiringi naiknya pemilik Susi Air ini menjadi
menteri Kelautan dan perikanan. Beberapa orang memermasalahkan hobi merokoknya.
Bahkan ketika berada di Istana Negara, ia cuek saja merokok. Selain itu, tato
yang menghiasi tubuhnya juga menjadi perhatian. “menteri koq bertato dan
merokok,” protes seorang teman saya. Seorang lagi menimpali, “lihat kinerjanya,
jangan penampilannya.” Adu argumen terjadi. Silakan saja. Asal masih dalam
substansi dan tidak menyasar ke pembunuhan karakter ya monggo-monggo saja.
Kalau buat saya pribadi tentu Susi merupakan sosok yang
unik. Bukan tanpa alasan ia tidak menamatkan pendidikan SMA yang ditempuhnya di
Yogyakarta. Semasa SMA ia aktif mendukung gerakan Golput. Saat itu masih
suasana Orde Baru. Golput tentu saja bermakna pembangkangan pada pemerintahan.
Untung ia hanya dikeluarkan. Entah kalau sampai dihilangkan, tentu tak ada
menteri Susi seperti sekarang ini.
Susi membuktikan, tekad dan keuletan, diiringi jalan dari
Yang Maha Kuasa, ia bisa sukses. Media pun memberitakan ia memiliki puluhan
pesawat. “Saya tak bisa disuap,” tegasnya kepada suatu media online nasional
setelah pengumuman penunjukkannya menjadi menteri. Semoga saja ia bisa bertahan
menghadapi kejamnya dunia politik.
Beberapa teman menjadikan penunjukkan Susi ini semacam euphoria.
“Pendidikan dan gelar tidak penting. Yang penting kinerja, lulusan SMP saja
bisa jadi menteri!” yang lain berkata, “Wah, sekarang perokok dan orang bertato
ada bekingnya.” Kelakar yang mengundang senyuman. Namun ternyata maknanya lebih
dalam.
Seorang teman saya yang aktif menyuarakan hak pejalan kaki,
Anthony Lanjar menulis dalam status Facebooknya, “saya mohon dengan sangat ibu
tidak merokok di depan umum, saya tidak melarang anda merokok, namun dengan
merokok di depan umum apalagi fotonya sampai dilihat anak-anak, apa yang harus
saya katakan kepada mereka bila ibu menteri yang seharusnya jadi panutan saja
merokok di tempat umum? Bukankah DKI punya perda larangan merokok di tempat
umum, mohon hormati hukum. Sebelum ibu terhukum secara sosial dan yuridis.
Salam,
Seorang bapak dari 3 anak”
Tentu saja status ini ditujukan kepada Susi. Entah Susi
membaca atau tidak, namun temannya dalam jejaring sosial ini tentu menangkap
pesannya: Susi adalah pejabat public dengan segala tanggungjawab dan
konsekuensinya.
Terus terang, saya benci rokok. Tapi untuk perokoknya, saya
benci perokok yang tidak tahu tempat. Perokok mau merokok, silakan. Tapi jangan
merugikan orang lain. Cukup sudah pengalaman saya berbulan-bulan mengobati bronchitis
akibat menjadi perokok pasif. Sepanjang tidak merugikan orang lain, merokoklah.
Kalau bisa asapnya ditelan…hehehehe.
Merokok memang menjadi pilihan hidup orang, termasuk Susi.
Boleh-boleh saja dia cuek merokok sambil meladeni wawancara dari wartawan. Toh
itu hak dia. Tapi, dia pejabat public lho. Kamera media tentu terarah
kepadanya. Silakan merokok, tapi mbok yao jangan pas ada sorotan kamera. Negeri
ini masih bau kencur soal urusan rating dan panduan umur menonton tayangan.
Apalagi acara berita, semua umur bisa menonton. Apa jadinya anak-anak yang
dilarang merokok oleh orangtuanya ketika melihat bu Menteri merokok? “Tuh, Pa,
Ma, Pak, Bu, menteri aja merokok. Masa aku nggak boleh?” Blaik kalau sudah
begitu.
Betapa sengsaranya masyarakat negeri ini. Sudah tiap hari
dicekoki iklan rokok, kena paparan asap rokok dari perokok yang seenak udele
dewek, hingga kini niat untuk menjaga keluarga sehat semakin sulit karena
pejabat public dengan bangganya merokok depan sorotan kamera. Kalau saja Bu
Susi membaca tulisan ini, ya saya harap dia mau sedikit mengerem lah. Silakan
merokok, tapi plis, jangan depan kamera ya?
Selain merokok, latar belakang pendidikan Susi juga menjadi
bahasan hangat. “Ah, lulusan SMP saja bisa sukses. Kalau begitu buat apa
sekolah tinggi-tinggi?” celetuk seorang teman saya.
Hmm…
Selalu ada perkecualian. Dan setiap orang itu unik, dengan
jalan hidupnya sendiri-sendiri yang unik.
Dua kalimat itu menyeruak dalam pikiran saya ketika menelaah
(uhuk…) soal ini. Okelah, Bu Susi memang seorang yang hebat. Dia ulet, rajin,
gigih, pintar mencari peluang, dan tekun berjuang. Dia menjadi perkecualian di
tengah alam pikiran orang masa itu dimana “hanya” orang berpendidikan tinggi
yang bisa sukses. Dia mendobrak pola pikir seperti itu. Namun, sayangnya, tidak
semua orang bisa seperti Bu Susi.
Kalau ada yang bilang sekolah dan gelar tidak menjamin
kesuksesan, maka saya juga mau nanya, apa semua lulusan SMP sukses seperti Bu
Susi? Lagian, ada alasan khusus kenapa Bu Susi nggak tamat SMA lho!?
Saya salut pada beberapa teman saya yang mencoba wirausaha. Beberapa
sukses, beberapa terseok, bahkan berhenti. Hidup memang berwarna, kawan. Jalan
hidup tak semudah ucapan motivator.
Balik ke topic. Saya teringat ucapan seorang rekan,
pendidikan itu penting, bahkan ketika pendidikan menjadi komoditas industry seperti
sekarang.
Dulu di pelajaran Sosiologi semasa SMA, satu dari beberapa
cara untuk mengubah nasib adalah mengejar ilmu setinggi-tingginya. Bekal ilmu
yang tinggi akan menjadi modal berharga untuk mendapatkan kehidupan yang lebih
baik. Itu…dulu.
Sekarang, banyak kampus berlomba-lomba menyediakan lulusan
siap kerja, siap masuk perusahaan, siap masuk ke industry. Kampus tak ubahnya
menjadi pencetak kuli berdasi, termasuk saya ;) sampai sejauh ini.
Padahal, banyak perubahan besar di Negara ini terjadi
digerakkan dari kampus. Semua itu dihasilkan sistem interaksi sosial dan
intelektual yang baik di kampus. Akademi dan universitas tidak hanya membekali
peserta didik dengan ilmu pengetahuan, namun juga rangsangan untuk mencari
tahu, belajar, memahami, menoleransi, menghormati, menggenggam yang baik,
mencampakkan yang buruk, dan berbagai cara mencari ilmu lainnya. Meski sekarang
kampus kebanyakan menjadi industry, namun saya yakin, di tengah kampus-kampus
itu masih banyak koq intelektual muda dengan idealism dan semangat tinggi yang
rajin berdiskusi, rajin mencari tahu. Dan semoga mereka bisa menjadi
katalisator masa depan negeri ini.
Pendeknya, kampus menjadi wahana untuk mencari pengetahuan.
Kembali ke prinsip keunikan orang, ada orang yang cocok mencari tahu di kampus,
ada pula yang tidak. Ada orang yang memakai prinsip learning by doing. Mereka mencari
tahu, menjalin relasi, membangun usaha berdasarkan pengalaman yang ditemui di
lapangan. Banyak pula yang sukses melalui cara ini, contohnya Bu Susi. Namun,
tidak sedikit yang gagal. Karena itu, saya yakin setiap orang itu unik dan
punya caranya sendiri untuk sukses. Kalau Bu Susi bisa sukses by doing, saya
tentu tidak serta merta seperti dia.
Karena itu, ungkapan, “Buat apa sekolah kalau cuma jadi kuli?
Buat apa sekolah kalau lulusan SMP saja bisa sukses?” buat saya berlaku tidak
mutlak. Ya, ada yang bisa sukses dengan cara itu, namun tidak semua orang bisa
seperti itu. Ada orang yang pikirannya sistematis sehingga belajar di kampus
merupakan cara yang terbaik. Ada pula yang lebih suka belajar langsung di
lapangan dengan pikiran kreatifnya. Semua orang memang memiliki cara sendiri
untuk mengejar mimpinya. Menyamakan dengan contoh kesuksesan orang, tanpa
menyaringnya hanya memaksakan dirinya masuk ke cetakan nasib orang lain.
Mengagumi orang lain memang lumrah, tapi jangan latah menyamaratakan. Itu saja
sih. Semoga pikiran ngelantur saya ini tidak terlalu ngawur.
Kalau soal Bu Susi yang bertato? Sorry, saya nggak paham soal tato. Hehehe. Jadinya saya ya nggak mau mengomentari apa yang saya nggak tahu sama sekali :)
No comments:
Post a Comment