Mengenal Amerika melalui IVLP
Amerika Serikat bukanlah negara yang asing untuk saya dan
mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia. Sejak kecil, kita telah melihat
berbagai sisi negara Paman Sam itu melalui media massa terutama TV.
Berbagai kota di Amerika ditampilkan melalui film hingga
berita. Deskripsi kehidupan masyarakat Amerika pun sedikit kita nikmati melalui
berbagai novel yang saya baca selama kuliah.
Namun baru di akhir 2018 kemarin saya mengalami sendiri
sepercik kehidupan masyarakat di sana. Selama tiga minggu saya diberi
kesempatan oleh Kementrian Luar Negeri Amerika Serikat (Department of State)
untuk tinggal dan mengunjungi beberapa kota di sana.
Berfoto depan Gedung Putih |
Beruntung pula, rencana
perjalanan yang dibuat mengakomodasi gambaran umum bagaimana kehidupan
masyarakat Amerika. Saya dan rombongan bisa menikmati lima kota di empat negara
bagian berbeda; yang semuanya merupakan representasi kewilayahan. Washington DC
dan Philadelphia di pantai timur, Chicago di tengah, Sacramento dan San
Francisco di Pantai Barat.
Meski masih berada dalam satu negara, corak budaya dan
bahasanya cukup menarik untuk disimak. Apalagi Amerika merupakan negara dengan
perpaduan berbagai bangsa dan budaya dari berbagai penjuru dunia. Masing-masing
kota memiliki sejarah Panjang dan kisahnya tersendiri.
Seperti apa perjalanan kami? Sekilas cerita ini semoga bisa memberikan
gambaran.
Sebelum Berangkat
Pada awal 2018, saya dikontak oleh seorang pejabat dari
bidang Kebudayaan di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Ia memberitahu
bahwa saya berkesempatan mengikuti program International Visitor Leadership
Program (IVLP).Untuk informasi lebih lengkap silakan buka tautan berikut.
Program ini memberi kesempatan orang dari berbagai negara di
dunia untuk mengunjungi Amerika Serikat dalam topik tertentu. Sebagai kuli
tinta, isu yang hangat waktu itu (jelang Pemilu 2019) adalah maraknya
penyebaran hoaks, ujaran kebencian dan kejahatan di dunia maya lainnya.
Dalam beberapa kesempatan sebelumnya ketika beliau dan
asistennya berkunjung ke Yogya, kami sempat berdiskusi tentang isu ini. Dan ia
menawarkan saya untuk ikut IVLP dengan topik ini. Oh iya, yang perlu diketahui,
program IVLP ini bukanlah program dimana peserta melamar atau mengajukan
aplikasi alias mendaftar. Program ini lebih menekankan pada inisiatif pejabat
atau petugas Kedubes AS untuk mengajak orang atau relasi yang mereka kenal.
Karena itu, mendapat kesempatan ikut IVLP ini serasa peluang emas untuk melihat
Amerika secara langsung.
Beberapa tahun sebelumnya, Kedubes AS fokus memberi
kesempatan awak media dari Jakarta. Namun mulai 2016 kalau saya tidak salah
info, Kedubes mulai melirik media di daerah. Karena itu, tiba kesempatan media
di daerah untuk mencicipi program ini.
Setelah mengurus izin di kantor, proses untuk mengurus
segala keperluan ke Amerika cukup menarik. Dibilang mudah ya tidak, dibilang
sulit ya belum tentu. Sebab, meski sudah difasilitasi oleh petugas dari bagian
Pertukaran (Exchange) yakni pak Heru dan rekan lainnya, kelancaran kepesertaan
tergantung pada komitmen peserta untuk mematuhi persyaratan yang diperlukan.
Tahap setelah saya mengurus izin kantor dan mendapatkan izin
tertulis dari atasan (Dimana atasan ternyata mengurus izin hingga ke pusat,
karena ini urusan ke luar negeri), saya dikontak oleh petugas dari bagian
exchange alias pertukaran untuk mengurus adminitrasi awal. Waktu ditelpon itu
kalau tidak salah H+1 Lebaran dimana saya sedang asyik hunting kereta lebaran
Bersama istri di Kawasan jembatan sungai Progo. Kelabakan juga posisinya karena
sedang berlibur. Namun tentu, karena sudah dipercaya, hal itu tidak boleh disepelekan.
Siang itu juga saya mengurus kelengkapan administrasi yang bisa diurus.
Syarat awal yang diperlukan antara lain: Surat Undangan dari
Duta Besar (Akan dikirim dalam beberapa pekan setelahnya). Konfirmasi undangan
ini juga penting karena pihak Kedutaan hanya mengirimkan undangan satu kali dan
tidak boleh salah. Karena itu peserta harus memastikan dengan cermat undangan
ditujukan untuk siapa (Nama, jabatan dan instansi), serta tembusannya.
Berikutnya, paspor. Peserta akan menjelajah negeri orang dimana
kartu identitas nasionalnya tidak berlaku. Jadi, tentu saja peserta harus
memiliki paspor. Paspor ini harus memiliki masa berlaku 6 bulan hingga tanggal
berakhirnya program. Tentu nggak mau ribet kan; sudah berada di negeri orang,
eh masa berlaku habis? Jadi, tentu paspor yang dipakai harus yang masih
memiliki masa berlaku yang Panjang.
Entah kenapa, beberapa bulan sebelum mendapat informasi
kepesertaan IVLP ini, saya iseng bikin paspor. Ya, iseng saja. Serius. Namun,
ini didukung istri. Katanya, siapa tahu mendadak harus keluar negeri. Padahal,
sama sekali tidak punya rencana keluar negeri. Jadi, membuang duit beberapa
ratus ribu rupiah dong (pikiran waktu itu)? Ya memang. Sekalian tahu prosedur
mengurus paspor karena istri saya sempat ribet mengurus paspor ketika mendadak
harus ke Singapura beberapa bulan sebelumnya. Tak ada salahnya kan memiliki
paspor?
Daan…ternyata, memang membuat paspor ini membuat saya tak
harus kalang kabut mengurus tatkala diminta oleh Kedubes AS seperti saat itu.
Paspor ini untuk mengurus visa dan tiket penerbangan internasional. Peserta
diharuskan mengirimkan hasil pindai (Scan) paspor di halaman 2, 3, 4, dan 5.
Setelah paspor, yang tidak kalah penting lagi adalah pasfoto
untuk visa. Semudah itu berfoto? Ooo…tak semudah itu, Paijan! Foto untuk visa
memiliki ketentuan yang berbeda dari pasfoto yang kita kenal selama ini. Bila
di Indonesia umumnya pasfoto yang diperlukan berukuran 3x4 atau 4x6, untuk visa
ini berbeda. Informasi detilnya bisa dibaca di situs resmi Kedubes AS di bagian
visa. Namun singkatnya, ukurannya persegi (Panjang dan lebar sama) dan
memperlihatkan seluruh bagian wajah. Foto harus dikirim dalam bentuk fisik ke
bagian Exchange untuk dibantu mengurus visanya dan dan diunggah secara online
ke situs pengajuan visa.
Semudah itu mengurus visa? Kita lihat nanti. Yang jelas,
untuk penganut aliran OCD seperti saya, mengurus visa sempat membuat badan
panas dingin.
Tahap berikutnya adalah mengurus program suggestions alias
saran program untuk disusun, kemudian mengirim scan buku tabungan (Ini penting
untuk mengurus berbagai biaya yang akan ditanggung pihak pengundang yang
sebagian akan ditransfer, dan mengisi kelengkapan data diri secara lebih
mendetail. Untuk program suggestion ini menjadi kesempatan peserta untuk mengusulkan
instansi, acara, hingga lokasi tertentu yang ingin dikunjungi. Pihak
penyelenggara akan mengusahakannya, namun belum tentu akan dipenuhi lho ya.
Jadi, sebisa mungkin berikan saran yang relevan atau paling nggak mendekati
topik program yang diikuti. Penyelenggara akan berupaya memenuhi itu sepanjang
memungkinkan. Misalnya saja, ingin nonton teater Broadway di New York, ya
sepanjang memang dijadwalkan berkunjung ke New York, kemungkinan besar akan
dipenuhi.
Oh iya,
dari tahap ini kita juga bisa tahu lebih detail tentang calon rekan-rekan kita
yang akan menjadi teman seperjalanan selama di Amerika. Dalam pengalaman saya,
latar belakang rekan-rekan sangat beragam. Ada yang dari pemerintahan, penegak
hukum, aktivis, hingga sesama jurnalis.
Untuk
mengirimkan kelengkapan administrasi ini, secara teratur, staf dari Kedubes AS
akan menghubungi peserta. Agar proses pengurusan administrasi tidak tersendat,
tentu peserta pun harus kooperatif dan sesegera mungkin merespons syarat yang
dibutuhkan. Sebab, bila peserta lalai, partisipasi dalam program bisa
dibatalkan lho!
Nah, tahap
berikutnya ini membuat saya sempat panas dingin mengisinya. Adalah pengisian
aplikasi visa secara online yakni form DS160 dengan ratusan pertanyaan yang
harus dijawab dengan cermat. Petugas dari Kedubes hanya mengarahkan dan calon
peserta harus mengisi sendiri secara jujur dan teliti. Pertanyaannya cukup
detil lho, hingga latar belakang Pendidikan dan pekerjaan. Pengisian form ini
sebagai tahap awal sebelum melangkah ke tahap berikutnya yakni wawancara visa!
Voila! Inilah tahap yang benar-benar tak terlupakan untuk saya.
Peserta
IVLP dalam rombongan saya terdiri dari delapan orang dimana tiga di antaranya
berasal dari luar Jakarta. Dua orang dari Surabaya dan Bali bisa wawancara visa
di Konsulat AS di Surabaya. Sedangkan saya yang dari Jogja diminta untuk
wawancara di Jakarta Bersama peserta lain dari sana.
Soal biaya
transportasi? Jangan khawatir. Pihak Kedubes AS menanggung tiket pesawat PP
pada hari wawancara. Inilah gunanya mengisi beragam kelengkapan administrasi di
awal. Jadi, pihak Kedubes bisa langsung membeli tiket.
Untuk
wawancara visa ini, pada awal September 2018 itu kami dijadwalkan pada pukul
13.00. Namun, karena dari luar kota, tentu saya harus berangkat lebih awal.
Beragam risiko misalnya delay penerbangan maupun halangan lain harus
diminalisir. Jadilah pagi itu saya berangkat dengan penerbangan pertama dari
Yogyakarta.
Soal visa
ini, saya sempat mendapat beragam informasi simpang-siur tentang proses
mendapatkannya. Beragam blog maupun informasi yang saya baca memberikan
gambaran: Mendapatkan visa masuk Amerika Serikat itu tidak mudah! Ada yang
berkali-kali ditolak. Inilah yang membuat saya sempat sulit tidur selama
beberapa hari jelang wawancara. Bagaimana kalau, sudah diundang dan disiapkan
akomodasinya, namun visa ditolak? Waduuuh…. Tidak ada jaminan 100 persen visa
akan diperoleh, itu kata banyak orang yang menjalani proses ini.
Pukul
07.30, pesawat saya mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta di
Cengkareng. Karena briefing wawancara visa dimulai pukul 11.30, saya
menyempatkan diri sarapan. (Ini juga setelah dipaksa istri saya dengan ‘teror’
teleponnya). Siapa juga yang doyan makan kalau sudah tegang bukan main?
Namun, agar
tidak sakit dan fit menghadapi wawancara, jadilah saya sarapan (dengan lumayan
dipaksa) di Kawasan Terminal 3 Soetta (Jebol deh kantong… :P).
Setelah
sarapan, saya sekalian menjajal naik SkyTrain, fasilitas baru di Bandara ini.
Fasilitas sejenis kereta api (Namun tidak berjalan di rel baja, tapi rel beton
dengan roda karet) ini memudahkan penumpang untuk berpindah terminal secara
gratis. Tidak butuh waktu lama untuk saya tiba di stasiun yang terhubung dengan
Stasiun KA Bandara Soetta (Railink). Dari sini saya membeli tiket KA Bandara
menuju ke Stasiun BNI City yang dekat dengan Kedubes AS.
Briefing
untuk wawancara visa diadakan di Gedung Sarana Jaya, Gedung yang terpisah dan
terletak dari Gedung tempat wawancara di Medan Merdeka Selatan. Di sini, untuk
pertama kalinya saya bertemu dengan beberapa rekan serombongan saya. Dan,
ternyata di waktu itu juga ada briefing rombongan lain dengan topik yang
berbeda.
Tidak lama
kemudian, setelah melewati proses pemeriksaan yang cukup ketat dan berlapis
(Ternyata, ini yang akan kami alami di Ibukota AS nanti), kami naik ke lantai
yang cukup tinggi.
Dalam
proses briefing ini, saya mendapat berkas yang telah dicetak, petunjuk
keberangkatan, dan beberapa berkas lain. Di sini, kami juga dijelaskan prosedur
mendapatkan visa. Bila visa diperoleh, paspor akan dibawa oleh pewawancara dan
harus diambil beberapa hari kemudian. Karena saya dari luar kota, paspor akan
dibantu diambil oleh petugas dari Kedubes. Paspor akan dikembalikan ke saya
pada H-1 keberangkatan.
Sekitar 30
menit sebelum jadwal wawancara, kami sudah tiba di depan pintu gerbang Bagian
Konsuler Kedubes AS. Bersama kami, ada beberapa orang kulit putih dan kulit
hitam yang juga mengantre. Mungkin saja mereka mengurus administrasi atau ada
kepentingan lain. Entahlah. Yang jelas, ketegangan sedikit mereda melihat rekan
saya. Beberapa sudah pernah ke luar negeri. Mungkin saya yang baru pertama kali
ke luar negeri dan sudah harus berhadapan dengan proses visa seperti ini :D
Kami sudah
diwanti-wanti untuk tidak membawa barang elektronik agar tidak merepotkan.
Sebab, semua barang bawaan harus ditinggal di pos keamanan. Kami hanya
diperbolehkan membawa berkas wawancara. Namun, kami tidak perlu khawatir karena
di pos tersedia loker penitipan, sekedar untuk menitipkan tas maupun jaket.
Hanya saja, petugas hanya mau menerima titipan hape dan bukan laptop. Jadi,
akan sangat merepotkan bila nekad membawa laptop.
Setelah
melewati pemeriksaan sinar X, kami berjalan menuju ke area Konsuler. Di sana
sudah ada beberapa orang yang mengantre.
Dalam
bayangan saya, peserta akan masuk ruangan khusus wawancara dan ditanyai satu
demi satu, dengan pertanyaan detail sesuai yang saya isikan di formulir visa
online.
Bayangan
saya meleset jauh. Peserta wawancara yang dipanggil Namanya, cukup menghadap ke
loket dan menyerahkan berkasnya. Di sini, mereka akan ditanya langsung oleh
pewawancara. Jadi, nasib kepergiannya ditentukan di depan loket!
Bila
diterima, paspor diambil dan pemohon diberikan tanda terima untuk mengambil
paspor yang akan diberi stiker visa. Bila ditolak, ya pulang dengan menenteng
paspor.
Hati
semakin dag-dig-dug melihat seorang pemohon nampak kewalahan membawa berkas
yang menumpuk. Entah apa saja yang dibawa. Terlebih, konon pemohon dengan
paspor yang ‘perawan’ alias belum pernah kemana-mana akan lebih sulit.
Beberapa rekan
sudah dipanggil dan mendapatkan tanda terima. Keringat dingin mulai mengucur di
ruangan yang sebenarnya cukup sejuk itu.
Akhirnya,
nama saya dipanggil, dan tidak salah sebut layaknya petugas kebanyakan di
Indonesia. Petugas menyebutkan nama saya dengan pas. Ketelitian yang patut
diapresiasi!
Amerika
Serikat merupakan negara multietnis dan multibudaya. Hal itu langsung saya
rasakan ketika melihat pewawancara saya yang merupakan warga keturunan
Tionghoa. Saya mencoba proaktif dengan menyapanya. Ia pun menyambut dengan
senyuman dan membalas salam.
Bukannya
mencecar dengan pertanyaan, petugas memberikan satu buku tipis berisi beberapa
regulasi di Amerika. Dia memberikan waktu beberapa menit untuk membaca buku itu
lalu bertanya tentang apa isinya. Beberapa pertanyaan mendasar pun dilemparkan
dan bisa saya jawab dengan cukup lancar meski masih cukup gugup.
Akhirnya,
petugas yang ramah itu menatap saya dan berkata, “Congratulation. Welcome to
America!”
Lega luar
biasa. Saya mengucapkan terima kasih dan mengambil tanda terima dan berjalan
keluar.
Bila
peserta yang lain bisa langsung pulang setelah wawancara Visa, saya harus
kembali ke Gedung Sarana Jaya. Saya harus menyerahkan tanda terima kepada
petugas agar mereka bisa mengambil paspor saya ketika prosedur visa telah
selesai. Hari yang (dikira) berat, berlalu dengan luar biasa!
No comments:
Post a Comment