Hanya satu catatan dari pengamatan saya

Hasil pengamatan seputar kehidupan sehari-hari, jalan-jalan, film, hingga soal sejarah, kereta api dalam dan luar negeri

Saturday 31 August 2019

Mengenal Amerika melalui IVLP: Sebelum Berangkat (IVLP 1)

Mengenal Amerika melalui IVLP

Amerika Serikat bukanlah negara yang asing untuk saya dan mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia. Sejak kecil, kita telah melihat berbagai sisi negara Paman Sam itu melalui media massa terutama TV.

Berbagai kota di Amerika ditampilkan melalui film hingga berita. Deskripsi kehidupan masyarakat Amerika pun sedikit kita nikmati melalui berbagai novel yang saya baca selama kuliah.

Namun baru di akhir 2018 kemarin saya mengalami sendiri sepercik kehidupan masyarakat di sana. Selama tiga minggu saya diberi kesempatan oleh Kementrian Luar Negeri Amerika Serikat (Department of State) untuk tinggal dan mengunjungi beberapa kota di sana. 

Berfoto depan Gedung Putih

Beruntung pula, rencana perjalanan yang dibuat mengakomodasi gambaran umum bagaimana kehidupan masyarakat Amerika. Saya dan rombongan bisa menikmati lima kota di empat negara bagian berbeda; yang semuanya merupakan representasi kewilayahan. Washington DC dan Philadelphia di pantai timur, Chicago di tengah, Sacramento dan San Francisco di Pantai Barat.

Meski masih berada dalam satu negara, corak budaya dan bahasanya cukup menarik untuk disimak. Apalagi Amerika merupakan negara dengan perpaduan berbagai bangsa dan budaya dari berbagai penjuru dunia. Masing-masing kota memiliki sejarah Panjang dan kisahnya tersendiri.

Seperti apa perjalanan kami? Sekilas cerita ini semoga bisa memberikan gambaran.



Sebelum Berangkat
Pada awal 2018, saya dikontak oleh seorang pejabat dari bidang Kebudayaan di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Ia memberitahu bahwa saya berkesempatan mengikuti program International Visitor Leadership Program (IVLP).Untuk informasi lebih lengkap silakan buka tautan berikut.

Program ini memberi kesempatan orang dari berbagai negara di dunia untuk mengunjungi Amerika Serikat dalam topik tertentu. Sebagai kuli tinta, isu yang hangat waktu itu (jelang Pemilu 2019) adalah maraknya penyebaran hoaks, ujaran kebencian dan kejahatan di dunia maya lainnya.

Dalam beberapa kesempatan sebelumnya ketika beliau dan asistennya berkunjung ke Yogya, kami sempat berdiskusi tentang isu ini. Dan ia menawarkan saya untuk ikut IVLP dengan topik ini. Oh iya, yang perlu diketahui, program IVLP ini bukanlah program dimana peserta melamar atau mengajukan aplikasi alias mendaftar. Program ini lebih menekankan pada inisiatif pejabat atau petugas Kedubes AS untuk mengajak orang atau relasi yang mereka kenal. Karena itu, mendapat kesempatan ikut IVLP ini serasa peluang emas untuk melihat Amerika secara langsung.

Beberapa tahun sebelumnya, Kedubes AS fokus memberi kesempatan awak media dari Jakarta. Namun mulai 2016 kalau saya tidak salah info, Kedubes mulai melirik media di daerah. Karena itu, tiba kesempatan media di daerah untuk mencicipi program ini.

Setelah mengurus izin di kantor, proses untuk mengurus segala keperluan ke Amerika cukup menarik. Dibilang mudah ya tidak, dibilang sulit ya belum tentu. Sebab, meski sudah difasilitasi oleh petugas dari bagian Pertukaran (Exchange) yakni pak Heru dan rekan lainnya, kelancaran kepesertaan tergantung pada komitmen peserta untuk mematuhi persyaratan yang diperlukan.

Tahap setelah saya mengurus izin kantor dan mendapatkan izin tertulis dari atasan (Dimana atasan ternyata mengurus izin hingga ke pusat, karena ini urusan ke luar negeri), saya dikontak oleh petugas dari bagian exchange alias pertukaran untuk mengurus adminitrasi awal. Waktu ditelpon itu kalau tidak salah H+1 Lebaran dimana saya sedang asyik hunting kereta lebaran Bersama istri di Kawasan jembatan sungai Progo. Kelabakan juga posisinya karena sedang berlibur. Namun tentu, karena sudah dipercaya, hal itu tidak boleh disepelekan. Siang itu juga saya mengurus kelengkapan administrasi yang bisa diurus.

Syarat awal yang diperlukan antara lain: Surat Undangan dari Duta Besar (Akan dikirim dalam beberapa pekan setelahnya). Konfirmasi undangan ini juga penting karena pihak Kedutaan hanya mengirimkan undangan satu kali dan tidak boleh salah. Karena itu peserta harus memastikan dengan cermat undangan ditujukan untuk siapa (Nama, jabatan dan instansi), serta tembusannya.

Berikutnya, paspor. Peserta akan menjelajah negeri orang dimana kartu identitas nasionalnya tidak berlaku. Jadi, tentu saja peserta harus memiliki paspor. Paspor ini harus memiliki masa berlaku 6 bulan hingga tanggal berakhirnya program. Tentu nggak mau ribet kan; sudah berada di negeri orang, eh masa berlaku habis? Jadi, tentu paspor yang dipakai harus yang masih memiliki masa berlaku yang Panjang.

Entah kenapa, beberapa bulan sebelum mendapat informasi kepesertaan IVLP ini, saya iseng bikin paspor. Ya, iseng saja. Serius. Namun, ini didukung istri. Katanya, siapa tahu mendadak harus keluar negeri. Padahal, sama sekali tidak punya rencana keluar negeri. Jadi, membuang duit beberapa ratus ribu rupiah dong (pikiran waktu itu)? Ya memang. Sekalian tahu prosedur mengurus paspor karena istri saya sempat ribet mengurus paspor ketika mendadak harus ke Singapura beberapa bulan sebelumnya. Tak ada salahnya kan memiliki paspor?

Daan…ternyata, memang membuat paspor ini membuat saya tak harus kalang kabut mengurus tatkala diminta oleh Kedubes AS seperti saat itu. Paspor ini untuk mengurus visa dan tiket penerbangan internasional. Peserta diharuskan mengirimkan hasil pindai (Scan) paspor di halaman 2, 3, 4, dan 5.

Setelah paspor, yang tidak kalah penting lagi adalah pasfoto untuk visa. Semudah itu berfoto? Ooo…tak semudah itu, Paijan! Foto untuk visa memiliki ketentuan yang berbeda dari pasfoto yang kita kenal selama ini. Bila di Indonesia umumnya pasfoto yang diperlukan berukuran 3x4 atau 4x6, untuk visa ini berbeda. Informasi detilnya bisa dibaca di situs resmi Kedubes AS di bagian visa. Namun singkatnya, ukurannya persegi (Panjang dan lebar sama) dan memperlihatkan seluruh bagian wajah. Foto harus dikirim dalam bentuk fisik ke bagian Exchange untuk dibantu mengurus visanya dan dan diunggah secara online ke situs pengajuan visa.

Semudah itu mengurus visa? Kita lihat nanti. Yang jelas, untuk penganut aliran OCD seperti saya, mengurus visa sempat membuat badan panas dingin.

Tahap berikutnya adalah mengurus program suggestions alias saran program untuk disusun, kemudian mengirim scan buku tabungan (Ini penting untuk mengurus berbagai biaya yang akan ditanggung pihak pengundang yang sebagian akan ditransfer, dan mengisi kelengkapan data diri secara lebih mendetail. Untuk program suggestion ini menjadi kesempatan peserta untuk mengusulkan instansi, acara, hingga lokasi tertentu yang ingin dikunjungi. Pihak penyelenggara akan mengusahakannya, namun belum tentu akan dipenuhi lho ya. Jadi, sebisa mungkin berikan saran yang relevan atau paling nggak mendekati topik program yang diikuti. Penyelenggara akan berupaya memenuhi itu sepanjang memungkinkan. Misalnya saja, ingin nonton teater Broadway di New York, ya sepanjang memang dijadwalkan berkunjung ke New York, kemungkinan besar akan dipenuhi.

Oh iya, dari tahap ini kita juga bisa tahu lebih detail tentang calon rekan-rekan kita yang akan menjadi teman seperjalanan selama di Amerika. Dalam pengalaman saya, latar belakang rekan-rekan sangat beragam. Ada yang dari pemerintahan, penegak hukum, aktivis, hingga sesama jurnalis.

Untuk mengirimkan kelengkapan administrasi ini, secara teratur, staf dari Kedubes AS akan menghubungi peserta. Agar proses pengurusan administrasi tidak tersendat, tentu peserta pun harus kooperatif dan sesegera mungkin merespons syarat yang dibutuhkan. Sebab, bila peserta lalai, partisipasi dalam program bisa dibatalkan lho!

Nah, tahap berikutnya ini membuat saya sempat panas dingin mengisinya. Adalah pengisian aplikasi visa secara online yakni form DS160 dengan ratusan pertanyaan yang harus dijawab dengan cermat. Petugas dari Kedubes hanya mengarahkan dan calon peserta harus mengisi sendiri secara jujur dan teliti. Pertanyaannya cukup detil lho, hingga latar belakang Pendidikan dan pekerjaan. Pengisian form ini sebagai tahap awal sebelum melangkah ke tahap berikutnya yakni wawancara visa! Voila! Inilah tahap yang benar-benar tak terlupakan untuk saya.

Peserta IVLP dalam rombongan saya terdiri dari delapan orang dimana tiga di antaranya berasal dari luar Jakarta. Dua orang dari Surabaya dan Bali bisa wawancara visa di Konsulat AS di Surabaya. Sedangkan saya yang dari Jogja diminta untuk wawancara di Jakarta Bersama peserta lain dari sana.

Soal biaya transportasi? Jangan khawatir. Pihak Kedubes AS menanggung tiket pesawat PP pada hari wawancara. Inilah gunanya mengisi beragam kelengkapan administrasi di awal. Jadi, pihak Kedubes bisa langsung membeli tiket.

Untuk wawancara visa ini, pada awal September 2018 itu kami dijadwalkan pada pukul 13.00. Namun, karena dari luar kota, tentu saya harus berangkat lebih awal. Beragam risiko misalnya delay penerbangan maupun halangan lain harus diminalisir. Jadilah pagi itu saya berangkat dengan penerbangan pertama dari Yogyakarta.

Soal visa ini, saya sempat mendapat beragam informasi simpang-siur tentang proses mendapatkannya. Beragam blog maupun informasi yang saya baca memberikan gambaran: Mendapatkan visa masuk Amerika Serikat itu tidak mudah! Ada yang berkali-kali ditolak. Inilah yang membuat saya sempat sulit tidur selama beberapa hari jelang wawancara. Bagaimana kalau, sudah diundang dan disiapkan akomodasinya, namun visa ditolak? Waduuuh…. Tidak ada jaminan 100 persen visa akan diperoleh, itu kata banyak orang yang menjalani proses ini.

Pukul 07.30, pesawat saya mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng. Karena briefing wawancara visa dimulai pukul 11.30, saya menyempatkan diri sarapan. (Ini juga setelah dipaksa istri saya dengan ‘teror’ teleponnya). Siapa juga yang doyan makan kalau sudah tegang bukan main?

Namun, agar tidak sakit dan fit menghadapi wawancara, jadilah saya sarapan (dengan lumayan dipaksa) di Kawasan Terminal 3 Soetta (Jebol deh kantong… :P).
Setelah sarapan, saya sekalian menjajal naik SkyTrain, fasilitas baru di Bandara ini. Fasilitas sejenis kereta api (Namun tidak berjalan di rel baja, tapi rel beton dengan roda karet) ini memudahkan penumpang untuk berpindah terminal secara gratis. Tidak butuh waktu lama untuk saya tiba di stasiun yang terhubung dengan Stasiun KA Bandara Soetta (Railink). Dari sini saya membeli tiket KA Bandara menuju ke Stasiun BNI City yang dekat dengan Kedubes AS.

Briefing untuk wawancara visa diadakan di Gedung Sarana Jaya, Gedung yang terpisah dan terletak dari Gedung tempat wawancara di Medan Merdeka Selatan. Di sini, untuk pertama kalinya saya bertemu dengan beberapa rekan serombongan saya. Dan, ternyata di waktu itu juga ada briefing rombongan lain dengan topik yang berbeda.
Tidak lama kemudian, setelah melewati proses pemeriksaan yang cukup ketat dan berlapis (Ternyata, ini yang akan kami alami di Ibukota AS nanti), kami naik ke lantai yang cukup tinggi.

Dalam proses briefing ini, saya mendapat berkas yang telah dicetak, petunjuk keberangkatan, dan beberapa berkas lain. Di sini, kami juga dijelaskan prosedur mendapatkan visa. Bila visa diperoleh, paspor akan dibawa oleh pewawancara dan harus diambil beberapa hari kemudian. Karena saya dari luar kota, paspor akan dibantu diambil oleh petugas dari Kedubes. Paspor akan dikembalikan ke saya pada H-1 keberangkatan.

Sekitar 30 menit sebelum jadwal wawancara, kami sudah tiba di depan pintu gerbang Bagian Konsuler Kedubes AS. Bersama kami, ada beberapa orang kulit putih dan kulit hitam yang juga mengantre. Mungkin saja mereka mengurus administrasi atau ada kepentingan lain. Entahlah. Yang jelas, ketegangan sedikit mereda melihat rekan saya. Beberapa sudah pernah ke luar negeri. Mungkin saya yang baru pertama kali ke luar negeri dan sudah harus berhadapan dengan proses visa seperti ini :D

Kami sudah diwanti-wanti untuk tidak membawa barang elektronik agar tidak merepotkan. Sebab, semua barang bawaan harus ditinggal di pos keamanan. Kami hanya diperbolehkan membawa berkas wawancara. Namun, kami tidak perlu khawatir karena di pos tersedia loker penitipan, sekedar untuk menitipkan tas maupun jaket. Hanya saja, petugas hanya mau menerima titipan hape dan bukan laptop. Jadi, akan sangat merepotkan bila nekad membawa laptop.

Setelah melewati pemeriksaan sinar X, kami berjalan menuju ke area Konsuler. Di sana sudah ada beberapa orang yang mengantre.

Dalam bayangan saya, peserta akan masuk ruangan khusus wawancara dan ditanyai satu demi satu, dengan pertanyaan detail sesuai yang saya isikan di formulir visa online.

Bayangan saya meleset jauh. Peserta wawancara yang dipanggil Namanya, cukup menghadap ke loket dan menyerahkan berkasnya. Di sini, mereka akan ditanya langsung oleh pewawancara. Jadi, nasib kepergiannya ditentukan di depan loket!

Bila diterima, paspor diambil dan pemohon diberikan tanda terima untuk mengambil paspor yang akan diberi stiker visa. Bila ditolak, ya pulang dengan menenteng paspor.

Hati semakin dag-dig-dug melihat seorang pemohon nampak kewalahan membawa berkas yang menumpuk. Entah apa saja yang dibawa. Terlebih, konon pemohon dengan paspor yang ‘perawan’ alias belum pernah kemana-mana akan lebih sulit.

Beberapa rekan sudah dipanggil dan mendapatkan tanda terima. Keringat dingin mulai mengucur di ruangan yang sebenarnya cukup sejuk itu.

Akhirnya, nama saya dipanggil, dan tidak salah sebut layaknya petugas kebanyakan di Indonesia. Petugas menyebutkan nama saya dengan pas. Ketelitian yang patut diapresiasi!
Amerika Serikat merupakan negara multietnis dan multibudaya. Hal itu langsung saya rasakan ketika melihat pewawancara saya yang merupakan warga keturunan Tionghoa. Saya mencoba proaktif dengan menyapanya. Ia pun menyambut dengan senyuman dan membalas salam.

Bukannya mencecar dengan pertanyaan, petugas memberikan satu buku tipis berisi beberapa regulasi di Amerika. Dia memberikan waktu beberapa menit untuk membaca buku itu lalu bertanya tentang apa isinya. Beberapa pertanyaan mendasar pun dilemparkan dan bisa saya jawab dengan cukup lancar meski masih cukup gugup.

Akhirnya, petugas yang ramah itu menatap saya dan berkata, “Congratulation. Welcome to America!”

Lega luar biasa. Saya mengucapkan terima kasih dan mengambil tanda terima dan berjalan keluar.

Bila peserta yang lain bisa langsung pulang setelah wawancara Visa, saya harus kembali ke Gedung Sarana Jaya. Saya harus menyerahkan tanda terima kepada petugas agar mereka bisa mengambil paspor saya ketika prosedur visa telah selesai. Hari yang (dikira) berat, berlalu dengan luar biasa!

No comments:

Post a Comment

Mohon bantuan kliknya