Hanya satu catatan dari pengamatan saya

Hasil pengamatan seputar kehidupan sehari-hari, jalan-jalan, film, hingga soal sejarah, kereta api dalam dan luar negeri
Showing posts with label sehari-hari. Show all posts
Showing posts with label sehari-hari. Show all posts

Friday, 10 August 2018

Cerita Teh: Berkunjung ke Ndoro Dongker

Segelas teh panas sambil menikmati perkebunan di Ndoro Dongker. Dok pri
Cerita dari Rumah Teh Ndoro Dongker di Karanganyar

Tiada yang lebih segar dibandingkan menyeruput es teh manis di hari yang panas, atau menyesap teh manis hangat di hari yang dingin. Apapun bentuknya, yang jelas teh telah menjadi minuman favorit saya sejak lama.

Monday, 30 July 2018

10 Momen Langka Perkeretaapian Indonesia

Kereta Api Indonesia tidak hanya terus berkembang, namun juga memiliki banyak keunikan. Satu contohnya adalah momen-momen langka dalam operasional kereta api.
 

Berikut ini adalah sepuluh momen yang jarang terjadi di dunia perkeretaapian Indonesia. Dirangkum dari berbagai daerah di pulau Jawa, kereta api Indonesia terus menghadirkan sajian yang menarik.

Saturday, 4 November 2017

Jalan Raya Pos di Mata Fotografer Belanda

Eric Kampherbeek, seorang warga negara Belanda berdarah Jawa memberikan ulasan mengenai hasil penelusurannya bersepeda di Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan di Ruang MES 56, Jalan Mangkuyudan nomor 53 A Yogyakarta, Kamis (15/10) petang.

Tujuh puluh tahun sudah Indonesia meraih kemerdekaan dan lepas dari kolonialisme Belanda. Namun, sejumlah peninggalan Belanda mulai dari bangunan hingga infrastruktur lainnya sebagian masih digunakan sampai sekarang. Satu contohnya adalah jalan raya pos atau jalan Daendels yang membentang sejauh 1000 km dari Anyer hingga Panarukan.
Sejak awal pembangunannya hingga saat ini, jalan raya ini menempati posisi vital dalam geliat perekonomian di Indonesia. Sebagian jalur yang kemudian menjadi jalur pantai utara Jawa (Pantura) lekat dengan aktivitas angkutan orang dan barang. Di sebagian ruas jalan, jejak-jejak peninggalan Belanda masih terasa; mulai dari bangunan, tata kota, hingga karakter masyarakat yang sedikit banyak terpengaruh keberadaan jalan ini.
Apabila masyarakat Indonesia melihat jalan raya Pos tersebut sebagai prasarana vital, menarik untuk melihat jalan tersebut dari sudut pandang orang Belanda. Satu contohnya adalah Eric Kampherbeek, seorang warga negara Belanda berdarah Jawa yang memberikan perhatian khusus untuk jalan yang dibangun pada 1808 ini.
Menggunakan sepeda, Eric yang merupakan seorang fotografer dokumenter dan visual storyteller dari Den Haag, Belanda mencoba menyusuri jalan ini dari ujung ke ujung. Total, selama dua bulan ia sukses mendokumentasikan apa yang terjadi di sepanjang jalan.

Tuesday, 17 March 2015

Memoar 27: Pesona Desainer Muda

Body Painting Art ala Siswi SMKN 3 Purworejo
 
Beberapa peserta ujian kompetensi merias sedang berfoto bersama teman yang menjadi obyek riasannya. Dok Pri
Purworejo memang layak menyandang kota segudang bakat. Tidak hanya orang-orang besar dan berpengaruh yang lahir di kota ini, namun banyak pakar pula yang lahir. Tidak hanya mereka yang telah “jadi” namun yang muda pun telah menunjukkan potensinya.

Satu contohnya adalah SMKN 3 Purworejo. Sekolah yang terletak tidak jauh dari alun-alun Purworejo ini menyimpan bakat-bakat luar biasa dalam bidangnya. Hal itu bisa dilihat ketika setiap beberapa bulan sekolah menampilkan kelebihan siswanya.

Thursday, 19 February 2015

Uniknya Kotagede Night Tour

Melihat Kotaraja di Malam Hari

Sebagai bekas Ibukota Kerajaan Mataram, Kotagede menyimpan banyak peninggalan bersejarah selain pesona kerajinan peraknya. Berbagai situs peninggalan sejarah masa lalu bertebaran di daerah ini.
Para peserta Kotagede Night Tour sedang mengikuti rute tour. Dok Massatrust




Berbagai cara pun bisa ditempuh untuk menikmati dan mengagumi pesona lampau tersebut. Selain tur umum yang banyak ditawarkan agen perjalanan wisata pada umumnya, banyak cara lain yang bisa ditempuh.

Keindahan dan pesona Kotagede tergambar pada  jalan-jalan sempit, dengan toko-toko perak tradisional dan rumah berubin mosaik berjajar di tepi jalan. Kota ini juga dipenuhi bangunan kuno yang merupakan rumah pedagang Arab dan Belanda. Sementara itu, masyarakat Kotagede hidup dalam nuansa kehidupan masyarakat Jawa yang masih kental.

Tidak hanya menawarkan eksotisme obyek wisata, namun melongok lebih jauh ke dalam jantung kehidupan masyarakatnya. Itulah yang ditawarkan oleh Kotagede Night Tour.

Berbeda dengan tur pada umumnya yang dilakukan pada pagi atau siang hari, tour ini dilakukan pada sore atau malam hari. Tujuannya, melihat sisi lain Kotagede yang selama ini nyaris tak tersentuh turis.

Tuesday, 3 February 2015

Mengantar Karya Kebanggaan Bangsa



Ternyata Indonesia Telah Mampu 

Memroduksi Lokomotif pada 1960an




Lokomotif Bima Kunting yang telah selesai dipreservasi dicuci dan diparkir di spoor cucian Balai Yasa Yogyakarta. Dok Pri
PT Kereta Api Indonesia (KAI) melakukan pemindahan lokomotif Bima Kunting pada Kamis (29/1/2015). Tentunya ada alasan kuat mengapa lokomotif ini menjadi pilihan untuk dipindah ke Museum Benteng Vredeburg dari kebun Balai Yasa Yogyakarta. Ke depannya, lokomotif ini akan menjadi monumen untuk menumbuhkan kecintaan pada perkeretaapian dalam negeri.

Di tengah gencarnya berbagai macam produk dan teknologi impor, siapa menyangka bangsa Indonesia sebenarnya telah cukup maju dalam teknologi. Satu contohnya adalah Bima Kunting yang merupakan lokomotif diesel produksi anak bangsa. Hebatnya, hal itu dilakukan pada 1960an!

Saturday, 31 January 2015

Memoar 26: Perkumpulan Kecil yang Membesarkan

-Merangkai Kecintaan pada Purworejo melalui Dunia Maya-

Berinteraksi di dunia nyata terbatas ruang dan waktu sedangkan di dunia maya, hanya dengan sentuhan jari maka semuanya berada dalam jangkauan. Itulah yang dilakukan oleh tiga warga Purworejo. Melalui jejaring sosial twitter, mereka merangkai kecintaan terhadap Purworejo menggunakan akun yang mereka buat. hasilnya luar biasa, tidak hanya sekedar jalinan komunikasi, namun interaksi bergulir ke berbagai sisi kehidupan.
 
Ketiga admin PurworejoUpdate dan AsliPoerworedjo melakukan aktivitas meng-admin akun twitter PU. dok Pri
Adalah Nanang (33) seorang warga Purworejo yang mengaku sangat mencintai kota kelahirannya, Purworejo. Meskipun telah melalang buana ke berbagai daerah di Indonesia, namun tidak sekalipun ia terbersit untuk meninggalkan identitasnya sebagai seorang warga Purworejo. 

Tuesday, 23 December 2014

Memoar 24: Pengubah Wajah Pendidikan Indonesia dari Kaligesing

Pak Jenthu Meminta Ibu Saya Menyekolahkan Semua Anaknya

Rm N Driyarkara SJ memang menjadi tokoh nasional dengan berbagai pemikiran yang mewarnai dunia filsafat dan pendidikan di Indonesia. Namun di balik semua itu, rektor pertama PTPG Sanata Dharma ini juga meninggalkan kesan untuk warga di daerah kelahirannya di desa Kedunggubah, kecamatan Kaligesing, Purworejo. 

Puluhan warga desa Kedunggubah kecamatan Kaligesing, Purworejo sejak Rabu (12/6) pagi sibuk berkumpul di balai desa dan juga di suatu perbukitan setempat. Mereka memersiapkan perayaan ulang tahun ke-100 Rm N Driyarkara SJ yang akan dilaksanakan pada Kamis (13/6).
 
Puluhan warga desa Kedunggubah kecamatan kaligesing, Purworejo memersiapkan lokasi peletakan batu pertama peringatan tempat lahir tokoh nasional Rm N Driyarkara SJ. Dok pri
Menurut Kepala Desa Kedunggubah, Budiyanto, acara akan dilaksanakan di dua titik. Yang pertama adalah lokasi kelahiran Driyarkara yang ada di satu perbukitan di wilayah desa Kedunggubah. Meski rumah kelahiran kini telah menjadi lahan kosong, namun pada peringatan 100 tahun Driyarkara akan didirikan semacam batu peringatan.

"Selanjutnya acara selamatan akan diadakan di balai desa, diikuti berbagai lapisan masyarakat dan pejabat di Purworejo," jelas Budiyanto ketika ditemui di balai desa Kedunggubah, Rabu (12/6).

Budiyanto menyatakan, masyarakat desa Kedunggubah antusias merayakan hari lahir tokoh rohaniwan Katholik tersebut. pasalnya, semangat yang dikobarkan oleh Rm N Driyarkara tidak hanya untuk umat Katholik tapi juga untuk bangsa Indonesia.

Monday, 22 December 2014

Memoar 23: Uniknya Barter Dawet Ketika Musim Panen

Inun Berkeliling Setahun Penuh

Tak punya sawah namun memanen gabah. Tak menggarap sawah namun menjual gabah. Itulah kiranya kata yang cocok untuk menggambarkan para pedagang dawet putih dari desa Kaliagung kecamatan Bagelen kabupaten Purworejo ini.

Sejak puluhan tahun yang lalu, warga desa tersebut telah menggeluti profesi pedagang dawet. Namun, mereka bukan pedagang biasa. Tidak seperti umumnya pedagang dawet yang mendapatkan hasil berupa uang, mereka mendapatkan gabah. 
 
Seorang pedagang dawet barter sedang menyiapkan dagangannya. Dok Pri
Cara berjualannya pun unik, mereka menjajakan dawet kepada para petani yang sedang memanen padinya. Pagi mereka mengantar dawet, siang hari mereka berkeliling memunguti gabah pembayaran. Pada musim panen seperti sekarang, itulah waktu ketika mereka mulai beraksi.

Sunday, 21 December 2014

Memoar 22: Harmonisasi Pedesaan dalam Gejuk Lesung

Elia Menikmati Hentakan Suara Lesung

Di tengah gempuran budaya modern, sekelompok warga di Kelurahan Pangenrejo kecamatan Purworejo Kabupaten Purworejo masih teguh memegang budaya peninggalan nenek moyang. Istimewanya mereka merupakan warga yang tinggal di wilayah perkotaan. namun demikian, mereka malah menggandrungi kesenian yang umumnya disukai petani pedesaan: Gejuk Lesung.

Gejuk Lesung merupakan kesenian yang berasal dari budaya kehidupan petani pedesaan Jawa tempo dulu. Waktu itu untuk menghasilkan beras dari buliran padi, petani menumbuk gabah menggunakan lesung yang ditumbuk dengan alu. Dalam prosesnya, untuk menumbuk padi dalam lesung dibutuhkan beberapa orang.
 
Grup Kesenian Gejuk Lesung "Mardi Swara" dari kelurahan Pangenrejo kecamatan/kabupaten Purworejo sedang tampil dalam pembukaan Gebyar Buku dan Budaya Purworejo 2013
"Karena itu, tumbuk padi ini juga menjadi momen kerukunan pengerat hubungan antar warga. Karena dilakukan bersama-sama, ketika akan menumbuk padi, lesung digejuk (dipukul) dengan irama tertentu untuk memanggil warga lainnya. Namun, irama tersebut ternyata memiliki keindahan tersendiri," jelas pemimpin kelompok seni Gejuk Lesung "Mardi Swara," di kelurahan Pangenrejo, Suwardiyo (51) belum lama ini.

Suwardiyo menuturkan, untuk menumbuk padi dalam lesung, dibutuhkan sekitar enam orang. Masing-masing memiliki alu yang berbeda bentuk dan bahannya. Namun, dari perbedaan inilah nada-nada yang berbeda dihasilkan. Dengan memukul secara bergantian, nada-nada yang rancak pun dihasilkan.

"Menumbuk padi lama-kelamaan menjadi semacam kebiasaan tersendiri untuk orang Jawa pada zaman dulu. Setelah lesung tergeser oleh mesin giling padi, kerinduan mendengarkan suara alu yang beradu dengan lesung masih saja ada. Karena itulah kami membentuk grup kesenian Gejuk Lesung ini," paparnya ketika ditemui di sela Pembukaan Gebyar Buku dan Budaya di Gedung Wanita, Purworejo.

Selain enam penumbuk, dalam kesenian ini diperlukan pula beberapa penyanyi atau penggerong. Dengan menyanyikan lagu-lagu Jawa lama dan lagu-lagu dolanan, mereka berhasil menampilkan perpaduan serasi antara irama tumbukan lesung dan alu dengan suara penyanyi. Tak ayal, mereka yang masa kecilnya pernah bersentuhan dengan budaya tumbuk padi dengan lesung ini pun terpesona dengan penampilan kelompok ini.
 
Grup Kesenian Gejuk Lesung "Mardi Swara" dari kelurahan Pangenrejo kecamatan/kabupaten Purworejo sedang tampil dalam pembukaan Gebyar Buku dan Budaya Purworejo 2013
Seorang pemain Gejuk Lesung, Elia Rizky Pramono (16) mengungkapkan, ada keasyikan tersendiri mendengarkan suara hentakan alu ke lesung. Meskipun ketika ia lahir peran lesung telah tergeser oleh mesin giling padi, namun ia mengaku bisa menikmati kesenian ini.

"Asyik aja, suaranya bikin semangat terus," jelas remaja ini.

Meskipun terlihat sederhana, lanjut Elia, ada kesulitan tersendiri dalam memainkan Gejuk Lesung. Hal tersebut utamanya dalam mengharmoniskan hentakan alu agar menghasilkan nada yang baik dan tidak saling menutup.

"Karena itu, latihan jadi hal yang pentig. Biasanya kalau ada panggilan pentas, latihan jadi intensif, bisa dua-tiga kali seminggu," jelasnya.

Suwardiyo menyambung, awalnya grup kesenian tersebut terbentuk secara tidak sengaja. Pada suatu acara Natalan di GKJ Purworejo Selatan, timbullah keinginan menampilkan kesenian tradisional. Kemudian tercetuslah ide menampilkan Gejuk Lesung.

"Ternyata kesenian mendapat sambutan yang baik dari jemaat gereja. Malah kemudian kesenian ini diminta tampil di berbagai tempat. Jadinya malah keterusan seperti ini," ujarnya sambil tersenyum.

 
Grup Kesenian Gejuk Lesung "Mardi Swara" dari kelurahan Pangenrejo kecamatan/kabupaten Purworejo sedang tampil dalam pembukaan Gebyar Buku dan Budaya Purworejo 2013

Saturday, 20 December 2014

Memoar 21: Obelisk di Purworejo

Kokohnya Monumen Pembangunan Jalan Purworejo-Magelang

Bangunan bersejarah dengan segala keunikannya memang banyak dijumpai di wilayah Kabupaten Purworejo. Satu dari sekian banyak bangunan itu adalah tugu peringatan pembangunan jalan penghubung Kabupaten Puworejo dengan Magelang. Monumen yang terletak di Desa Bener, Kecamatan Bener ini menyimpan banyak hal menarik yang tersimpan meski kondisinya kini kurang terawat.
 
Monumen pembangunan jalan Purworejo-Magelang yang berbentuk seperti obelisk. Dok Pri
Pada masanya bangunan tugu yang masih terlihat kokoh berdiri ini di pinggir Jalan Raya Purworejo-Magelang Km 14, Desa Bener, Kecamatan Bener ini dijadikan sebagai penanda mulai dibukanya proyek pembangunan jalan raya penghubung Purworejo dan Magelang. Proyek pembangunan jalan ini di diketahui dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda yang saat itu tengah menjajah Indonesia.

Friday, 19 December 2014

Memoar 20: Manis dan Gurihnya Kue Lompong

Kue Tradisional Perpaduan Budaya
Purworejo memiliki beberapa makanan khas yang selalu dicari penggemarnya. Satu di antaranya adalah Kue Lompong. Kekhasan rasanya menjadikan kue ini selalu dicari warga Purworejo perantau ketika kembali ke daerahnya. Peluang inilah yang ditangkap oleh Sulimah (45) warga Jln Brigjend Katamso 50A Pangen Juru Tengah Kelurahan/Kecamatan Purworejo.
Sulimah menunjukkan kue lompong buatannya. Dok Pri

Sekitar tiga tahun menekuni usaha pembuatan kue Lompong, Sulimah kini menjadi satu dari sekian pembuat Kue Lompong yang kebanjiran pesanan kala liburan tiba. Masa liburan sekolah memang menjadi masa-masa sibuk bagi Ema, demikian Sulimah dipanggil. Pesanan Kue Lompong membludak dari para warga Purworejo perantau yang sedang mudik. Rupanya rasa khas Kue Lompong menjadi primadona tersendiri.

"Ya memang andalannya kalau liburan, seperti liburan Natal dan Tahun Baru ini. Produksi saya bisa meningkat sampai dua kali lipat. Biasanya buat dua kilo sehari, bisa sampai empat atau lima kilo kalau liburan," jelas Ema ketika ditemui di rumahnya, Minggu (6/1/2013).

Menurut Ema, para pembeli umumnya kangen dengan rasa kue Lompong yang khas. Selain menikmati kekhasan Purworejo melalui makanan, tidak sedikit yang memborongnya sebagai oleh-oleh. Dengan harga Rp 1200-2000 per biji, manisnya kue yang berwarna hitam dengan isi kacang sudah bisa dinikmati. Tentunya bukan sekedar manis, sentuhan merang bakar dan rebusan gagang Lompong (talas) memperkaya cita rasanya.

Thursday, 18 December 2014

Memoar 19: Grebeg Sulutu di Bagelen

Khasanah Budaya Bagelen yang Unik dan Menarik

Purworejo memiliki berbagai khasanah budaya yang luar biasa dan beragam. Semuanya mencerminkan kehidupan masyarakatnya yang hidup dalam harmoni dengan alam dan sesama. Satu contohnya adalah berbagai acara kebudayaan misalnya Grebeg Sulutu yang ada di Kecamatan Bagelen. Seandainya dikemas dalam acara yang mendapat dukungan pemerintah, tentu tidak hanya Grebeg Sulutu, namun berbagai khasanah kebudayaan lainnya bisa menjadi atraksi wisata budaya yang menarik minat banyak wisatawan.
Puluhan warga berebut gunungan berisi hasil bumi dalam acara grebeg Sulutu di desa Kalirejo kecamatan Bagelen, Purworejo, Minggu (2/12/2012). Meski hujan deras mengguyur, namun warga tetap antusias berebut isi gunungan.


Satu contoh Grebeg Salutu adalah yang diselenggarakan oleh ratusan warga desa Kalirejo kecamatan Bagelen, Purworejo, Minggu (2/12/2012). Dalam grebeg ini warga menampilkan berbagai kesenian seraya berziarah ke dua petilasan di wilayah Bagelen, Purworejo. Acara ini merupakan event tahunan yang diharapkan mendukung upaya desa ini menjadi desa wisata dalam waktu dekat.

Tuesday, 16 December 2014

Memoar 17: Ritual Menjamas Jaran Kepang

Agar Roh Jahat Tak Masuk


Jaran Kepang merupakan satu bentuk kesenian rakyat yang telah lama berkembang di nusantara. Globalisasi yang terwujud dalam maraknya budaya asing masuk ke Indonesia memang cukup mempengaruhi kelangsungan hidup berbagai kebudayaan nasional Indonesia, tidak terkecuali Jaran Kepang. Namun di Purworejo, kesenian ini memiliki cara sendiri untuk bertahan bahkan berkembang.


Hal itulah yang terlihat dalam kegiatan beberapa warga dusun Krajan Kulon desa Kemanukan kecamatan Bagelen, Purworejo. Pada Minggu (9/12/2012) mereka secara bergotong-royong "menjamas" peralatan Jaran Kepang yang mereka miliki. Inilah sebagai bukti, bahwa sesungguhnya masyarakat di Purworejo masih mencintai budaya sendiri.
 
Puluhan anggota kelompok kesenian Jaran Kepang "Karya Budaya" melakukan prosesi jamasan peralatan Jaran Kepang. Dok Pri
Bagi kelompok warga tersebut, peralatan Jaran Kepang bagaikan pusaka yang harus dirawat secara rutin. Tidak ubahnya keris yang dijamas setiap bulan Sura dalam penanggalan Jawa, berbagai peralatan Jaran Kepang dibersihkan dan diset kembali seperti keadaan awalnya.

Monday, 15 December 2014

Memoar 16: Uniknya Salon Kambing


Geliat Usaha Salon Kambing di tengah Berkembangnya Peternakan Kambing

Purworejo dikenal sebagai daerah asal kambing unggulan Peranakan Ettawa (PE) dengan ras Kaligesing. Hal ini membuat banyak peternak baik dari luar  dan dalam Purworejo mengusahakan peternakan kambing PE tersebut. Banyaknya kambing PE ini dimanfaatkan oleh Y Sumarno (51), warga dusun Kalikotak Desa Tlogoguwo Kecamatan Kaligesing, Purworejo untuk membuka usaha salon kambing.

Usaha yang ditekuni oleh Sumarno sejak 2007 ini memang unik dan berbeda. Apabila terpikir kata salon, tentu orang akan berpikir suatu tempat dimana penampilan dipoles dan disempurnakan. Demikian pula yang dilakukan Sumarno, bedanya, ia memoles dan dan menyempurnakan penampilan kambing.
 
Kambing jantan terkuat sekalipun tidak akan bisa berontak ketika sudah dipasang di alat penjepit milik Sumarno. Dok Pri
"Awalnya usaha ini berangkat dari keprihatinan harga kambing jatuh karena penampilannya kurang baik. Hal itu bisa disebabkan oleh tanduk yang tidak simetris, patah sebelah, ataupun melengkung menusuk kulit kepala. Kalau sudah begitu, harganya bisa turun drastis,

Sunday, 14 December 2014

Memoar 15: Mata Air Asin di Pegunungan


Mata Air Bayuasin, Tak Pernah Kering di Musim Kemarau


Sekalipun sebagian wilayahnya berada daerah perbukitan, namun ada satu wilayah di kecamatan Loano, Kab Purworejo yang diberi nama "Banyuasin." Ternyata nama tersebut berasal dari nama mata air Banyuasin yang berada di dukuh Ngemplak, desa Banyuasin Spare, kec Loano, Purworejo. Mata air tersebut tidak pernah kering di musim kemarau.


Sesuai namanya, air yang dihasilkan mata air tersebut berasa asin, jauh berbeda dengan beberapa mata air lain di sekitarnya.
Sriyanto mengambil segayung air asin dari mata air Banyuasin. Dok Pri

Sekretaris desa Banyuasin Spare, Sriyanto (50), yang juga menjadi penjaga mata air tersebut menyatakan, mata air tersebut sering dikunjungi orang dari jauh karena diduga memiliki tuah.

Saturday, 13 December 2014

Memoar 14: Jelajah Jalur KA Purworejo-Kutoarjo


Railfans Yogya Jelajahi Jalur Non Aktif Purworejo-Kutoarjo

Tidak sekedar menyukai untuk diri sendiri, namun juga memberikan bukti nyata. Itulah kiranya yang bisa dikatakan untuk menggambarkan aktivitas pecinta kereta api dari Yogyakarta yang tergabung dari Indonesian Railway Preservation Society (IRPS) dan Railfans Yogyakarta (RF YK). Pada Minggu (16/9/2012), mereka melakukan penjelajahan jalur non aktif Purworejo-Kutoarjo sepanjang sekitar 12 kilometer tersebut.
Tim penjelajah dari IRPS dan RF YK sedang menelusuri bekas halte Batoh. Tampak di belakang jalur rel tertutup rerumputan sehingga terkesan hilang. Dok Pri

Berangkat dari kota Yogya secara terpisah, sekitar 12 orang pecinta kereta api yang identik dengan sebutan Railfans ini berkumpul di stasiun Purworejo sekitar pukul 10.00. Setelah berdiskusi di kompleks stasiun dan melakukan pengamatan, sekitar pukul 11.00 penjelajahan dilakukan dengan sepeda motor menuju Kutoarjo. Di sepanjang perjalanan, banyak hal menarik ditemukan.

Friday, 12 December 2014

Memoar 13: Masjid Unik di Purworejo

Masjid Berarsitektur Hindu-Islam yang Miliki Lingga-Yoni Sebagai Dasar Bangunan

Purworejo memiliki sekitar 159 benda cagar budaya (BCB), sepuluh diantaranya berupa bangunan masjid. Keberadaan masjid-masjid BCB tersebut tersebar di berbagai wilayah di Kabupaten Purworejo.
Jemaah sedang beribadah di masjid An Nur. Dok Pri

Dari data yang diperoleh dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Purworejo, kesepuluh masjid itu adalah Masjid Santren dan Sunan Geseng di Desa/Kecamatan Bagelen, Masjid An Nur di Purwodadi, Masjid Tiban di Jenar Kidul Kecamatan Purwodadi), Masjid Janatun Na'im di Desa Dlangu Kecamatan Butuh, Masjid Al Izhar di Kelurahan/Kecamatan Kutoarjo, Masjid Darul Mutaqien di Kelurahan/Kecamatan Purworejo), Masjid Al Iman di Loano dan dua masjid lagi di wilayah Cangkrep Lor Purworejo dan Banyuurip.

Satu dari kesepuluh masjid tersebut yaitu Masjid An Nur yang berada di Purwodadi, memiliki keistimewaan berupa dua pasang lingga yoni yang menjadi

Thursday, 11 December 2014

Laporan Perjalanan Uji Coba Kedua Railbus Bathara Kresna

Ketika Stasiun Wonogiri Berbenah Diri
Railbus Bathara Kresna stand by di jalur 1 Stasiun Pruwosari sebelum diberangkatkan ke Wonogiri. Dok Pri

Kalau tidak salah, sudah hampir empat tahun jalur kereta api Purwosari (Solo) ke Wonogiri tidak aktif. Sebelumnya, selama beberapa tahun jalur ini dirayapi KA Feeder Bengawan. Banyak kenangan unik penulis di jalur tersebut.

Pada Kamis (4/12/2014) kesempatan untuk menengok jalur ini pun datang kembali. PT Kereta Api Indonesia (KAI) bersama pemerintah daerah di sepanjang jalur mengadakan ujicoba Railbus Bathara Kresna. Sebetulnya ini bukan ujicoba yang pertama kali. Beberapa kali jalur ini dicoba baik menggunakan Railbus maupun KRDH Prameks. Bahkan seminggu sebelumnya juga ada ujicoba menggunakan railbus. Namun waktu itu saya tidak dapat ikut karena informasi yang mendadak dan sudah ada jadwal acara.

Wednesday, 10 December 2014

Memoar 12: Penyayang Ular Besar


Tidak Kapok Meski Pernah Digigit

Memelihara ayam, kambing, atau sapi tentu sudah jadi hal yang biasa. Namun apa jadinya ketika seekor ular besar dipelihara? Itulah yang dilakukan oleh Sugeng Kuswanto (48) warga desa Kalimiru kecamatan Bayan, Purworejo. Sejak sekitar 12 tahun yang lalu ia memelihara seekor ular Phyton Reticulatus. Kini, kesehariannya dihabiskan untuk merawat ular betina yang ia beri nama John Ma itu. Meski bukan pawang ular, namun bagi Sugeng, ular Phyton merupakan peliharaan yang istimewa.
 
Sugeng menunjukkan posisi John Ma yang bersembunyi dalam kegelapan. Dok Pri
Proses Sugeng mendapatkan John Ma memang unik. Sekitar awal 2000 Sugeng yang kala itu bekerja di jakarta ditawari beberapa butir telur ular Phyton oleh seseorang dari Bangka. Orang yang tengah frustasi karena tidak berhasil menjual telur-telur tersebut lantas memberikannya kepada Sugeng. Walau sempat kebingungan mau diapakan, akhirnya Sugeng memutuskan untuk menetaskannya.

Mohon bantuan kliknya