Selamat
Datang di Washington DC!
|
Makan malam di Pecinan Washington DC |
Lelah dan
mengantuk? Sudah pasti. Namun kami tidak ingin membuang waktu. Sesuai urutan
keluar, saya di rombongan tengah.
Rekan satu
rombongan IVLP rupanya sudah menunggu di luar gate. Suasana terminal kedatangan
di Ronald Reagan National Airport ini terlihat remang. Baru ketika melihat jam,
kamipun maklum. Sudah pukul 22.00 di Washington DC. Ada selisih waktu satu jam
dengan Chicago sehingga perjalanan yang dua jam terasa jadi tiga jam.
Anggota
rombongan selain saya adalah pak Hary, Pak Sofyan, Pak Agus, bang Iman, dan mas
Damar. Kami bergegas keluar dari terminal menuju ke tempat pengambilan bagasi.
Namun
sebelum kami sampai, baru turun dari eskalator, nampaklah dua sosok pemandu
kami: Mbak Kae Kosasih dan mas Izmyr Katoppo! Mereka memandu kami mengambil
bagasi, lalu keluar menuju ke mobil eh minibus penjemput. Sopirnya, seorang
pria bertubuh tinggi dengan wajah Arab ramah membantu kami mengangkat koper ke
bagasi minibus.
“Be
careful, Habibi,” kata mbak Kae ke sopir itu.
Belakangan,
kami tahu bahwa Habibi bukanlah nama asli sopir itu. Namun, nama itu dipakai
Mbak Kae untuk menyemangati Habibi. Kenapa sebabnya? Sebentar lagi kami
rasakan.
Minibus
meluncur mulus keluar dari bandara dan mulai memasuki kota yang terlihat basah.
Hujan nampaknya baru saja mengguyur. Bangunan tinggi mulai menyambut. Jalanan mulai
padat. Kegelapan malam diwarnai dengan taburan lampu dari bangunan tinggi dan
kendaraan di jalan.
Tiba di
lampu merah, minibus tentu berhenti. Namun ketika lampu hijau, baru beberapa
saat Habibi menginjak pedal gas, ia harus menekan pedal rem cukup dalam.
Sebabnya, ada mobil yang nyelonong begitu saja. Sontak, penumpang minibus
seperti menahan nafas. “Be careful,” kata Mbak Kae lagi.
Tidak
sampai setengah jam, kami tiba di hotel kami: Hampton Inn yang terletak di area
pusat kota Washington DC. Bangunan tinggi dengan eksterior batu merah sesekali
terlihat dari sinar lampu jalanan.
|
Hotel dilihat dari jendela mobil |
Sistem
pengamanan hotel yang unik kami rasakan. Udara dingin yang menerpa membuat kami
buru-buru masuk sambil menyeret koper masing-masing. Kami masuk melewati pintu
hotel yang terdiri dari dua lapis pintu. Apabila ada petugas keamanan, ia akan
membukakan pintu. Bila tidak, tamu hotel harus menggunakan kartu yang diberikan
untuk membuka dua pintu kaca yang terpisahkan area transit kecil. Area transit
ini berfungsi untuk mengeringkan alas kaki ketika di luar hujan.
Di Lobby,
Mbak Kae dan Mas Izmyr membagikan berkas IVLP dari map biru. Map inilah yang
diterima peserta IVLP dari seluruh dunia. Mapnya sama, yang beda hanya isinya
:D Selain map, kami menerima kunci kamar dan password Wifi.
|
Tempat tidur yang nyaman |
Seperti apa
sih kamar hotelnya? Secara mendasar, tidak jauh berbeda dengan fasilitas hotel
bintang 4 atau 5 di Indonesia. Ada TV, radio sekaligus jam dan alarm, kulkas,
microwave, meja kerja, sofa kecil, dan tempat tidurnya yang luas dan nyaman.
Yang membedakan adalah mesin AC yang terletak di jendela. “AC” ini bisa
dinaikkan suhunya hingga menjadi pemanas ketika cuaca dingin melanda. Dari
jendela ini saya juga bisa melihat aktivitas di jalanan kota Washington DC.
|
Fasilitas hotel, nampak AC dan pemanas di belakang tas saya |
Makan
Malam Pertama di Amerika
Rasa lapar
kemudian mendera setelah kami masuk kamar dan menyimpan barang. Diskusi di grup
WA membuat kami terpikir untuk mencari makan mengingat makan besar terakhir
kami sebelum tiba adalah di penerbangan dengan American Airlines menuju
Chicago.
Dasar orang
Indonesia, walau di negeri orang, tetap saja nyari nasi! Mbak Kae pun kemudian
mengantar kami mencari nasi ke Kawasan Chinatown alias Pecinan. Tidak perlu alat
transportasi karena Pecinan hanya terletak sekitar dua blok dari hotel.
Udara
dingin menggigit ketika kami berjalan keluar. Namun demikian, mungkin karena
malam Minggu, makanya suasana terasa ramai. Banyak orang terutama pejalan kaki
memadati trotoar. Kebanyakan mengenakan jaket, mantel atau minimal sweater.
Pengalaman
berjalan kaki di pedestrian DC ini juga memberikan pengalaman berbeda yang akan
kami terapkan di kota-kota selanjutnya. Di sini, untuk menyeberang harus cermat
melihat tanda pejalan kaki boleh menyeberang yang ditandai dengan lampu gambar
orang warna hijau. Meski sudah ada tanda, namun mata juga harus cermat melihat
kepadatan lalu lintas karena tidak sedikit persimpangan jalan yang mengizinkan
mobil berbelok untuk jalan terus. Salah perhitungan, bisa celaka.
Pedestrian
di DC ini juga cukup nyaman sebenarnya bila dinikmati di siang hari. Banyak
pepohonan rindang yang menaungi pejalan kaki. Rumah-rumah penduduk sesekali
menyelinap dari padatnya bangunan besar fasilitas public misalnya gereja dan
sinagoga. Namun karena lapar, kami tak sempat menikmati banyak pemandangan.
Sekitar
lima belas menit kemudian kami pun sampai di pecinan. Satu rumah makan menjadi
pilihan kami.
Sebenarnya,
Mbak Kae sudah makan sore tadi ketika mengantarkan dua anggota rombongan yang
sudah terlebih dahulu tiba yakni mas Diki dan Mbah Luh De. Namun, ia tetap
bersedia menemani kami. Terima kasih banyak, Mbak Kae!
Restoran
yang (Duh, saya lupa Namanya) itu terletak tidak jauh dari persimpangan. Dari
jalan, kami masuk melalui pintu utama dan sedikit turun. Tidak banyak pengunjung
yang bersantap ketika kami datang. Waitres bertanya pada Mbak Kae tentang
jumlah yang akan makan dan mengarahkan ke satu meja di tengah ruangan.
Meja kayu
bulat dan kursi yang mengelilinginya jadi perabot utama untuk menunjang
aktivitas bersantap para pengunjung. Di tengahnya terdapat berbagai ‘ubo rampe’
makan yakni beragam kecap dan sambal, sendok dan sumpit, juga gelas untuk air
putih.
Dari buku
menunya, nama-nama makanan cukup familiar untuk lidah Indonesia kami. Ada cap
cay, tumis sayuran, hingga kwetiaw. Tanpa membuang waktu, kami memesan makanan
yang familiar.
Satu rumus
yang harus dipegang bila bepergian di Amerika dengan uang saku dari Indonesia:
jangan rupiahkan harga makanannya! Nasi tergolong makanan yang cukup mahal di
sini. Untuk makan menu nasi, uang yang harus dikeluarkan antara US$15-20. Nilai
yang bisa untuk makan selama dua minggu di Jogja! Bila mau murah, bisa memesan
burger di McD, sosis di Subway, atau hotdog.
|
Chinese food, menu makan malam kami |
Perut
kenyang, hati senang! Sistem makan di Chinese Food ini juga berbeda. Menu yang
dihidangkan biasanya dalam porsi lumayan besar. Satu piring sayuran bisa untuk
makan hingga 3 orang. Karena itu, sistemnya adalah total bill dibagi rata. Nah,
malam itu saya cukup mengeluarkan US$17 untuk makan dengan berbagai sayur dan lauk.
|
Piring saya. Lapar, hehehe |
Meski sudah
kenyang dan Lelah mendera badan, namun malam itu, cukup susah juga untuk tidur.
Namun segelas cokelat susu hangat yang diambil dari area lobby hotel (Ada
fasilitas gratis untuk tamu) cukup membantu membuat tubuh rileks.
Tubuh saya
masih merasa kalau itu adalah siang, padahal sudah nyaris tengah malam. Maklum
saja, kalau ikut jam, di Indonesia masih tengah hari. Hingga akhirnya, setelah
menyalakan alarm dan auto sleep di TV (Isinya siaran berita), saya berhasil
tidur… selama lima jam. Pukul 05.30 alarm membangunkan saya dengan suksesnya.
Mata terasa luar bisa berat, badan apalagi! Namun, agenda di hari Minggu sudah
menanti: jalan-jalan di DC!
Pagi
Pertama di Amerika dan Gegar Budaya di Toilet
Rutinitas
pagipun dimulai. Namun masuk ke toilet, gegar budaya terjadi lagi. Saya
teringat betul pesan seorang sahabat saya, Pak Martin Johnson yang merupakan
warga Amerika asli. Sebelum berangkat saya bertanya banyak hal kepadanya
tentang kehidupan di Amerika. Satu hal yang menjadi catatannya adalah soal
toilet. Kamar mandi dan toilet di Amerika menganut prinsip kering. Jadi, tidak
ada saluran pembuangan bawah. Kalau lantai basah, akan sangat susah keringnya!
Informasi
itu saya jaga betul karena tidak mau ribet di kamar mandi. Saya akan tinggal di
kamar ini selama sepekan ke depan. Mandi bisa dilakukan di bath tube sambil
menutup tirai agar air tidak kemana-mana.
Soal sabun,
sebenarnya pihak hotel sudah menyediakan cukup lengkap, mulai dari sampo, sabun
badan, pasta gigi hingga deodorant. Namun demikian, saya yang kadang alergi
dengan bahan tertentu memilih membawa sabun dari Indonesia. Sabun, sampo, sabun
muka dikemas dalam botol tertentu agar mudah dibawa dan tidak mudah tumpah.
Botol ini saya beli dari toko perlengkapan travelling, lengkap dengan tasnya
yang tahan air.
Nah, yang
paling vital adalah soal buang air besar. Kloset di sini tidak memiliki
penyiram berupa selang untuk membersihkan diri setelah menuntaskan hajat.
Karena, kebiasaan orang Amerika adalah memakai tisu untuk mengelap dan
membersihkan. Buat orang Indonesia, ini adalah masalah besar. Membersihkan diri
setelah buang air besar tak akan terasa bersih tanpa air. Solusinya sederhana:
gelas kertas.
Hotel
memang menyediakan gelas kertas di kamar, berdampingan dengan kopi dan teh bila
tamu ingin minuman hangat di kamar. Ada tiga gelas kertas yang disediakan. Dua
gelas saya simpan di kamar mandi, difungsikan sebagai gayung untuk membersihkan
diri!