Hanya satu catatan dari pengamatan saya

Hasil pengamatan seputar kehidupan sehari-hari, jalan-jalan, film, hingga soal sejarah, kereta api dalam dan luar negeri

Saturday, 4 November 2017

Jalan Raya Pos di Mata Fotografer Belanda

Eric Kampherbeek, seorang warga negara Belanda berdarah Jawa memberikan ulasan mengenai hasil penelusurannya bersepeda di Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan di Ruang MES 56, Jalan Mangkuyudan nomor 53 A Yogyakarta, Kamis (15/10) petang.

Tujuh puluh tahun sudah Indonesia meraih kemerdekaan dan lepas dari kolonialisme Belanda. Namun, sejumlah peninggalan Belanda mulai dari bangunan hingga infrastruktur lainnya sebagian masih digunakan sampai sekarang. Satu contohnya adalah jalan raya pos atau jalan Daendels yang membentang sejauh 1000 km dari Anyer hingga Panarukan.
Sejak awal pembangunannya hingga saat ini, jalan raya ini menempati posisi vital dalam geliat perekonomian di Indonesia. Sebagian jalur yang kemudian menjadi jalur pantai utara Jawa (Pantura) lekat dengan aktivitas angkutan orang dan barang. Di sebagian ruas jalan, jejak-jejak peninggalan Belanda masih terasa; mulai dari bangunan, tata kota, hingga karakter masyarakat yang sedikit banyak terpengaruh keberadaan jalan ini.
Apabila masyarakat Indonesia melihat jalan raya Pos tersebut sebagai prasarana vital, menarik untuk melihat jalan tersebut dari sudut pandang orang Belanda. Satu contohnya adalah Eric Kampherbeek, seorang warga negara Belanda berdarah Jawa yang memberikan perhatian khusus untuk jalan yang dibangun pada 1808 ini.
Menggunakan sepeda, Eric yang merupakan seorang fotografer dokumenter dan visual storyteller dari Den Haag, Belanda mencoba menyusuri jalan ini dari ujung ke ujung. Total, selama dua bulan ia sukses mendokumentasikan apa yang terjadi di sepanjang jalan.


Eric yang datang pertama kali ke Indonesia pada 2011 ini mengaku ada ketertarikan khusus dalam dirinya terhadap Indonesia. Hal ini tak lain karena kakek dan neneknya dibesarkan di Indonesia yang waktu itu bernama Hindia Belanda. Bahkan, rumah kakek dan neneknya tersebut masih ada di kawasan Kauman, Yogyakarta dan ditempati oleh saudaranya.

"Saya tertarik untuk mengamati Indonesia dari sudut pandang orang Indonesia. Selama ini, meski Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya, namun hal itu masih sulit diakui dan diterima oleh orang Belanda sendiri. Namun, akhir-akhir ini di Belanda mulai mengemuka berbagai diskusi mengenai sejarah kolonial," kata Eric ketika ditemui di acara "Presentasi Jalan Raya Pos" di Ruang MES 56, Jalan Mangkuyudan nomor 53 A Yogyakarta, Kamis (15/10/2015) petang.
Eric mengungkapkan, dari diskusi tersebut, setiap bulannya berbagai cerita baru dan menarik muncul. Hal itu tak lepas dari semakin berkembangnya nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) di Belanda. Kolonialisme dipandang sebagai sejarah kelam mengenai pelanggaran HAM berat.
"Kami sebagai orang Belanda tidak berusaha melihat kolonialisme sebagaimana orang Indonesia melihatnya. Namun, kami mengembalikannya ke diri kami sendiri; tentang apa yang telah kami lakukan. Dalam proses itu, saya merasa bahwa saya juga harus mencari sudut pandang orang Indonesia. Karena itulah saya ke sini dan melakukan perjalanan ini," kata pria kelahiran kota Enschede 35 tahun yang lalu ini.

Mengenai alasannya memilih Jalan Raya Pos, menurut Eric, jalan ini hanya ia gunakan sebagai garis merah saja. Yang ia soroti bukan semata jalan itu sendiri, namun juga kehidupan yang ada di sepanjang jalan itu. "Kenapa memilih jalan Raya Pos? Karena inilah jalan raya pertama di Jawa. Mungkin saja Jawa modern dikembangkan dari jalan ini," katanya dalam bahasa Indonesia yang cukup fasih.


Sepanjang perjalanan, menurut Eric, ia banyak menemukan hal menarik yang merefleksikan dirinya sebagai Orang Belanda. Misalnya saja alih fungsi berbagai bangunan peninggalan kolonial. Hal itu bagi Eric sendiri merupakan sisi yang menarik untuk tahu bagaimana orang Indonesia memahami dan memanfaatkan bangunan bersejarah."Banyak bangunan masih berdiri, namun beralih fungsinya. Misalnya kantor menjadi warung, makam menjadi tempat tinggal," imbuhnya.

Sisi menarik lainnya yang dipelajari oleh pria berkacamata ini adalah bagaimana orang Indonesia memahami nasionalisme. Menurutnya, di Belanda, nasionalisme dipahami sebagai sesuatu yang negatif karena berkorelasi dengan fanatisme, rasisme, bahkan paham Nazi. Namun, apa yang ditemuinya di Indonesia terutama di Surabaya cukup berbeda.

"Nasionalisme, yang saya dapatkan di Surabaya merupakan upaya untuk mengerti sejarah, mendidik masyarakat, menghormati pahlawan dan mempersatukan. Inilah yang menarik karena nasionalisme bisa mempersatukan Indonesia," ungkapnya.

Di sepanjang perjalanan, Eric pun tak lupa memotret berbagai hal menarik yang ia temui. Tak jarang ia bertegur sapa dengan masyarakat sekitar yang tidak malu berinteraksi. Menurutnya, masyarakat Indonesia telah memiliki cara khusus untuk menilai orang Eropa sepertinya.
Eric menunjukkan sepeda yang ia pakai bersepeda untuk menyusuri Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan di Ruang MES 56, Jalan Mangkuyudan nomor 53 A Yogyakarta, Kamis (15/10) petang.

"Di sepanjang jalan, banyak sekali yang memanggil saya: mister. Itulah satu cara untuk menyapa orang asing, bule. Namun, itulah yang menjadi pengalaman tersendiri," katanya.

Sebagai fotografer profesional, Eric pun mencoba menangkap momen-momen unik. Namun, dari ratusan momen yang ia dapatkan, ada satu momen yang tidak akan pernah ia lupakan.

"Suatu kali saya masuk ke gedung peninggalan kolonial yang saya kira kosong. Saya mengambil gambar sambil masuk. Namun setelah masuk saya kaget karena di gedung itu ada seorang ibu yang sedang mencuci pakaian. Yang saya refleksikan, satu gedung megah peninggalan bersejarah ternyata bisa dimanfaatkan untuk hidup orang biasa. Itu menjadi rumahnya," paparnya.

Selain medan yang jauh, Eric yang bersepeda sendirian ini mengaku tidak ada hambatan khusus. Perjalanan yang dimulai pada 1 Agustus dan selesai tepat dua bulan kemudian itu relatif lancar meski ia sesekali ia harus bolak-balik dari satu titik ke titik lainnya. Total, sekitar 3200 kilometer telah ditempuh Eric yang sebelumnya biasa bersepeda keliling Eropa ini.

"Tantangannya mungkin hanya makanan, terutama gorengan. Saya cukup mengalami kesulitan untuk itu. Selain itu, saya sempat dua hari sakit, namun hanya sakit flu yang tidak terlalu mengganggu. Setiap hari saya bersepeda dari pagi hingga sore. Untuk tidur saya mengandalkan tidur di rumah teman dan kerabat. kalaupun tidak, saya bisa menginap di hotel," jelas dia.

Menempuh perjalanan yang sangat jauh tentunya memerlukan biaya. Menurut Eric, untuk biaya ia mengandalkan sponsor dari dua yayasan dari Belanda yakni yayasan yang bergerak di bidang seni dan satu yayasan lagi yang bergerak dalam demokrasi. Di luar itu, ada crowd funding yang berhasil ia kumpulkan.

Tidak melulu ia simpan dan nikmati sendiri, hasil penelusurannya ini menurut Eric ini akan dibagikan kepada masyarakat dalam bentuk buku. Rencananya buku tersebut akan diterbitkan di Belanda dan Indonesia. Selain itu, ia juga berencana untuk membuat pameran.

No comments:

Post a Comment

Mohon bantuan kliknya