Menggunakan sepeda, Eric yang merupakan seorang fotografer dokumenter dan visual storyteller dari Den Haag, Belanda mencoba menyusuri jalan ini dari ujung ke ujung. Total, selama dua bulan ia sukses mendokumentasikan apa yang terjadi di sepanjang jalan.
Sepanjang perjalanan, menurut Eric, ia banyak menemukan hal menarik yang merefleksikan dirinya sebagai Orang Belanda. Misalnya saja alih fungsi berbagai bangunan peninggalan kolonial. Hal itu bagi Eric sendiri merupakan sisi yang menarik untuk tahu bagaimana orang Indonesia memahami dan memanfaatkan bangunan bersejarah."Banyak bangunan masih berdiri, namun beralih fungsinya. Misalnya kantor menjadi warung, makam menjadi tempat tinggal," imbuhnya.
Sisi menarik lainnya yang dipelajari oleh pria berkacamata ini adalah bagaimana orang Indonesia memahami nasionalisme. Menurutnya, di Belanda, nasionalisme dipahami sebagai sesuatu yang negatif karena berkorelasi dengan fanatisme, rasisme, bahkan paham Nazi. Namun, apa yang ditemuinya di Indonesia terutama di Surabaya cukup berbeda.
"Nasionalisme, yang saya dapatkan di Surabaya merupakan upaya untuk mengerti sejarah, mendidik masyarakat, menghormati pahlawan dan mempersatukan. Inilah yang menarik karena nasionalisme bisa mempersatukan Indonesia," ungkapnya.
Di sepanjang perjalanan, Eric pun tak lupa memotret berbagai hal menarik yang ia temui. Tak jarang ia bertegur sapa dengan masyarakat sekitar yang tidak malu berinteraksi. Menurutnya, masyarakat Indonesia telah memiliki cara khusus untuk menilai orang Eropa sepertinya.
Eric menunjukkan sepeda yang ia pakai bersepeda untuk menyusuri Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan di Ruang MES 56, Jalan Mangkuyudan nomor 53 A Yogyakarta, Kamis (15/10) petang. |
"Di sepanjang jalan, banyak sekali yang memanggil saya: mister. Itulah satu cara untuk menyapa orang asing, bule. Namun, itulah yang menjadi pengalaman tersendiri," katanya.
Sebagai fotografer profesional, Eric pun mencoba menangkap momen-momen unik. Namun, dari ratusan momen yang ia dapatkan, ada satu momen yang tidak akan pernah ia lupakan.
"Suatu kali saya masuk ke gedung peninggalan kolonial yang saya kira kosong. Saya mengambil gambar sambil masuk. Namun setelah masuk saya kaget karena di gedung itu ada seorang ibu yang sedang mencuci pakaian. Yang saya refleksikan, satu gedung megah peninggalan bersejarah ternyata bisa dimanfaatkan untuk hidup orang biasa. Itu menjadi rumahnya," paparnya.
Selain medan yang jauh, Eric yang bersepeda sendirian ini mengaku tidak ada hambatan khusus. Perjalanan yang dimulai pada 1 Agustus dan selesai tepat dua bulan kemudian itu relatif lancar meski ia sesekali ia harus bolak-balik dari satu titik ke titik lainnya. Total, sekitar 3200 kilometer telah ditempuh Eric yang sebelumnya biasa bersepeda keliling Eropa ini.
"Tantangannya mungkin hanya makanan, terutama gorengan. Saya cukup mengalami kesulitan untuk itu. Selain itu, saya sempat dua hari sakit, namun hanya sakit flu yang tidak terlalu mengganggu. Setiap hari saya bersepeda dari pagi hingga sore. Untuk tidur saya mengandalkan tidur di rumah teman dan kerabat. kalaupun tidak, saya bisa menginap di hotel," jelas dia.
Menempuh perjalanan yang sangat jauh tentunya memerlukan biaya. Menurut Eric, untuk biaya ia mengandalkan sponsor dari dua yayasan dari Belanda yakni yayasan yang bergerak di bidang seni dan satu yayasan lagi yang bergerak dalam demokrasi. Di luar itu, ada crowd funding yang berhasil ia kumpulkan.
Tidak melulu ia simpan dan nikmati sendiri, hasil penelusurannya ini menurut Eric ini akan dibagikan kepada masyarakat dalam bentuk buku. Rencananya buku tersebut akan diterbitkan di Belanda dan Indonesia. Selain itu, ia juga berencana untuk membuat pameran.
No comments:
Post a Comment