Hanya satu catatan dari pengamatan saya

Hasil pengamatan seputar kehidupan sehari-hari, jalan-jalan, film, hingga soal sejarah, kereta api dalam dan luar negeri

Friday 10 August 2018

Cerita Teh: Berkunjung ke Ndoro Dongker

Segelas teh panas sambil menikmati perkebunan di Ndoro Dongker. Dok pri
Cerita dari Rumah Teh Ndoro Dongker di Karanganyar

Tiada yang lebih segar dibandingkan menyeruput es teh manis di hari yang panas, atau menyesap teh manis hangat di hari yang dingin. Apapun bentuknya, yang jelas teh telah menjadi minuman favorit saya sejak lama.



Awalnya sih, saya tidak terlalu menaruh perhatian pada teh. Dulu, hampir segala jenis minuman yang umum dikenal masyarakat msaya coba. Teh, kopi, cokelat, cincau, hingga dawet bablas saja masuk ke pencernaan. Namun beberapa tahun terakhir, seiring masuk ke dunia kerja, kopi menjadi minuman yang agak dihindari. Lammbung yang kurang toleran alias maag menjadi penghalang. Lalu perhatian saya teralih ke teh. Entah kenapa, produk satu ini menarik perhatian setelah saya iseng mengamati angkringan di Jogja.

Setiap angkringan di jogja, biasanya memiliki cita rasa teh yang berbeda. Lha wong sebelahan saja rasanya bisa beda.

Kenapa bisa begitu?

Rahasianya secara mendasar saya tidak tahu. Namun setelah ngobrol dengan Tea Master Indonesia, Omar Syarief, terkuaklah. Apa rahasianya? Akan saya bahas di tulisan teh berikutnya ya, hehehe.

Perhatian saya ke teh mulai naik setelah saya tahu ada beragam merek teh di Indonesia. Setiap daerah di Jawa ini, bahkan di Sumatra memiliki brand tehnya tersendiri. Kebanyakan memang teh hitam alias black tea, namun tetap saja, rasanya tidak ada yang sama.

Kekaguman saya semakin bertambah ketika mengenal ragam teh lain, yakni teh hijau. Pada saat saya kecil orangtua saya pernah sakit (saya lupa persisnya), namun penyembuhan berjalan cepat berkat rutin meminum teh hijau. Kalau saya sendiri sih, nanti deh. Kasihan lambung, hehe.

Namun yang menjadi puncak kekaguman saya pada suatu saat adalah teh putih. Ternyata ada ya teh putih? memang! Meski kalau diseduh tidak putih betul, lebih tepatnya kuning pucat, namun ternyata khasiatnya luar biasa meski harganya juga bisa bikin kantong jebol.

Teh putih mengajar saya bahwa minum teh tidak harus manis. Justru, teh putih kurang maksimal kalau diberi gula atau campuran lain. Teh putih, itu saja. Setiap sesapan dan tegukannya terasa menyegarkan untuk pikiran dan tubuh.

Karena itu, pada liburan setelah Lebaran 2018 kemarin tidak saya sia-siakan untuk sedikit mencari tahu apa dan bagaimana teh di perkebunannya langsung. Ketinya Nyinya Besar aka istri mengajak ke Solo, saya usulkan bablas saja ke Karanganyar, ke Ndoro Dongker.

Akhirnya liburan pun di acc, bahkan orangtua saya ikut. Maklum saja, ini liburan pertama istri bersama orangtua saya setelah menikah Desember 2017. Kalau liburan dengan (calon) mertua saya sih sudah.

Pada akhir Juni 2018, jadilah kami jalan-jalan ke Karanganyar, tepatnya ke Rumah Teh Ndoro Dongker dan Candi Sukuh.

Perjalanan diawali dari Yogya dengan naik KA. Kami naik KA Malioboro ekspres saja untuk menuju Solo. Soalnya, kalau masih musim liburan, mencari tiket Prameks susahnya bukan main. Cukup membayar Rp 35rb untuk kelas ekonomi di KA Malioboro Ekspres.


Cukup mahal memang, dibanding tiket Prameks yang hanya Rp 8 ribu, tapi paling tidak lebih nyaman (Jelas dapat tempat duduk), ber AC dan cepat sampai karena tidak banyak berhenti. Berangkat dari Stasiun Tugu pukul 07.45, sekitar pukul 09.00 kurang sudah tiba di Solobalapan. Di sana saya dan rombongan sudah ditunggu sopir rental.

Tanpa membuang waktu, saya minta mas sopir langsung menuju ke Ndoro Dongker.

Perjalanan sekitar 1,5 jam berjalan lancar dengan pemandangan khas lereng Lawu.

Kesan pertama ketika tiba di Ndoro Dongker adalah desain bangunan yang unik. Meski bangunan baru, namun pemiliknya ingin mengesankan suasana kantor perkebunan teh tempo dulu. Pegawai yang ramah menyambut kedatangan kami semua.

Suasana halaman Ndoro Dongker


Bangunan Rumah Teh Ndoro Dongker ini dikelilingi oleh perkebunan teh yang luas menghampar sejauh mata memandang. Lekuk lereng Gunung Lawu terlihat menghijau dengan sesekali terlihat rumah dan pemukiman warga.

Karena sudah mendekati jam makan siang, tentu kita pun harus segera memesan. Varian minuman di sini tentu saja didominasi teh. Kami memesan teh melati madu. Sementara untuk makanannya bermacam-macam.

Untuk rasa teh madunya, cukup segar meski terasa kurang untuk empat orang dengan ukuran teko dan penyaring di dalamnya.

Rupanya, teh madu ini merupakan teh campur alias blending tea. Perkiraan saya, ada kombinasi black tea, jasmine tea, dan teh putih yang dipadu sedikit madu.

Wangi dari jasmine tea yang mendominasi ketika teh disesap di cangkir kecil yang disediakan.



Sambil menikmati rasa teh yang manis dan wangi, pemandangan kebun teh membuat pikiran rileks. Pihak Ndoro Dongker rupanya juga menyadari tren wisata selfie. Mereka menyediakan tempat selfie baik dalam bangunan maupun di kebun teh. Namun yang paling diminati Nyonya Besar tentu yang berupa semacam menara kecil di kebun teh. Ketika berfoto, latar belakang adalah hamparan kebun teh yang menghijau.

Bagi kalangan yang senantiasa sibuk dengan pekerjaan yang menumpuk, sesekali menikmati hidup dengan menghirup udara segar di perkebunan teh bisa menjadi sarana relaksasi yang menyegarkan.

Dari sisi harga, cukup variatif meski rasanya layak dan sepadan dengan fasilitas yang disediakan. Toilet juga bersih.

Untuk barang yang bisa dibawa pulang, Ndoro Dongker menyediakan beragam cdendera mata dan teh.

Setelah dari Ndoro Dongker, kami melanjutkan perjalanan ke Candi sukuh. Cerita selengkapya bisa disimak di video berikut.
Bersambung..... ke tulisan teh bagian 2

No comments:

Post a Comment

Mohon bantuan kliknya