Ternyata Indonesia Telah Mampu
Memroduksi Lokomotif pada 1960an
Lokomotif Bima Kunting yang telah selesai dipreservasi dicuci dan diparkir di spoor cucian Balai Yasa Yogyakarta. Dok Pri |
PT Kereta Api Indonesia (KAI) melakukan pemindahan
lokomotif Bima Kunting pada Kamis (29/1/2015). Tentunya ada alasan kuat mengapa
lokomotif ini menjadi pilihan untuk dipindah ke Museum Benteng Vredeburg dari
kebun Balai Yasa Yogyakarta. Ke depannya, lokomotif ini akan menjadi monumen
untuk menumbuhkan kecintaan pada perkeretaapian dalam negeri.
Di tengah gencarnya berbagai macam produk dan teknologi impor, siapa menyangka bangsa Indonesia sebenarnya telah cukup maju dalam teknologi. Satu contohnya adalah Bima Kunting yang merupakan lokomotif diesel produksi anak bangsa. Hebatnya, hal itu dilakukan pada 1960an!
Di tengah gencarnya berbagai macam produk dan teknologi impor, siapa menyangka bangsa Indonesia sebenarnya telah cukup maju dalam teknologi. Satu contohnya adalah Bima Kunting yang merupakan lokomotif diesel produksi anak bangsa. Hebatnya, hal itu dilakukan pada 1960an!
Manager Program Non Bangunan dari Unit Pusat Pelestarian, Perawatan dan Desain Arsitektur PT KAI, Wawan Hermawan mengatakan, lokomotif Bima Kunting memiliki sejumlah keistimewaan. Selain itu, proses pembuatan dan penamaannya pun lekat dengan Yogyakarta. Karena itu, cukup pas apabila dipasang di Vredeburg.
Bagian meja layan Lokomotif Bima Kunting.Dok Pri |
"Lokomotif ini dibuat pada 1965, sebagai loko khusus untuk melangsir di Balai Karya (sekarang Balai Yasa Yogyakarta, red). Sebenarnya ada tiga Bima Kunting yang dibuat dan yang dipreservasi kali ini adalah yang ketiga. Saat itu Bima Kunting ini menjadi kebanggaan masyarakat Yogyakarta karena merupakan buatan dalam negeri," jelasnya ketika ditemui di sela persiapan pemindahan Bima Kunting di Balai Yasa Yogyakarta.
Pemandangan dari kabin Bima Kunting. Dok Pri |
Lokomotif Bima Kunting menggunakan lebar sepur 1067mm dan digerakkan oleh motor diesel Domler Benz tipe M204B yang berdaya 120 daya kuda. Selama masa operasionalnya loko ini selalu berada di Balai Yasa karena digunakan untuk dinas langsir.
"Uniknya, ketika diresmikan pertama kali, penamaan Bima Kunting ini diberikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Bima mewakili kekuatan sementara Kunting mewakili kelincahan dan kegesitan meski berukuran kecil," jelas Wawan.
Rida Bima Kunting yang mirip dengan BB300. Dok Pri |
Sebagai lokomotif pertama buatan Indonesia ada sejumlah kesulitan ketika menyelamatkan sarana perkeretaapian bernilai sejarah ini. Selain mengumpulkan suku cadang yang tercerai-berai, proses pengecatan juga sempat menimbulkan kebingungan.
Bima Kunting ketika masih beroperasi. Foto: https://www.pinterest.com/nugrahadi/spoor/ |
Manager Produksi Balai Yasa Yogyakarta, Miming Kuncoro mengungkapkan, proses penyelamatan Bima Kunting sebenarnya telah dimulai sejak 2007. Saat itu ada permintaan dari Dinas (kebudayaan DIY, red) untuk menyelamatkan sarana perkeretaapian tersebut. Namun saat itu PT KAI belum memberikan respon.
Bima Kunting ketika afkir di kebun Balai Yasa. |
"Saat itu unit Heritage memang belum terbentuk. Istilahnya, belum ketemu 'klik'nya. Namun pada 2012 setelah unit Heritage terbentuk, kembali ada permintaan dari Dinas. Saat itu baru ketemulah kesepakatan untuk menyelamatkan Bima Kunting. Dan pada 2015 ini baru terrealisasi," imbuhnya.
Bima Kunting mulai mendapat perhatian untuk dipreservasi ketika ada kunjungan dari Dinas Kebudayaan DIY ke Balai Yasa. Foto: heritage PT KAI |
Proses restorasi Bima Kunting berlangsung cukup cepat, lanjut Miming. Pada akhir Oktober 2014 loko ini dipindah dari kebun Balai Yasa dan berhasil diselesaikan sebelum akhir tahun.
"Pemindahan dari kebun ini juga tidak mudah. Loko teronggok di tanah, bukan di rel. Semula kami mikirnya rodanya sudah hilang, namun setelah digali ternyata cuma terpendam. Setelah digali, loko diangkut memakai crane dan dimulailah proses perbaikan yang berjalan hingga Desember 2014," paparnya.
Bima Kunting terlihat gagah kembali setelah dipreservasi. Ia dikembalikan ke warna semasa jaya pada era PNKA yaitu Krem-Hijau-Merah. Dok Pri |
Kesulitan merestorasi Bima Kunting menurut Miming terletak pada beberapa tahap. Ketika dikebunkan karena afkir, sebagian komponen telah dilepas. Untungnya komponen tersebut masih disimpan di gudang Balai Yasa. Proses restorasi pun juga meliputi pengembalian komponen ke tempatnya meski dalam pemakaiannya nanti loko memang hanya akan dipajang. Hal ini penting untuk mengembalikan keasliannya.
"Selain itu yang cukup pelik adalah pengecatannya. Ketika di kebun, loko ini dicat biru. Tapi dari keterangan saksi hidup, loko ini dicat krem-hijau-merah. Setelah melalui diskusi panjang akhirnya diputuskan untuk memakai warna era PNKA tersebut," jelasnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Sejarah Purbakala dan Museum Dinas Kebudayaan DIY, Erlina Hidayati menambahkan, bahkan pewarnaan lokomotif juga berasal dari HB IX. Warna krem-hijau dan merah merupakan warna identik Kraton Ngayogyakarta.
"Selain penamaan, warna yang dipakai berasal dari identitas Kraton yaitu Pareanom. Kita semua tahu bahwa HB IX sangat nasionalis. Beliau sangat bangga dengan produksi dalam negeri termasuk lokomotif ini," jelasnya ketika ditemui di sela prosesi pemindahan loko di Balai Yasa Yogyakarta.
Bagi pembaca yang penasaran, berikut ini ada pula beberapa video ketika proses pemindahan:
Erlina melanjutkan, setelah dibawa ke Vredeburg loko akan ditempatkan di halaman depan sebelah utara Benteng. Di sana lokomotif akan menjadi sarana edukasi untuk masyarakat, terutama untuk mengenalkan dan mencintai dunia perkeretaapian.
"Banyak hal yang menjadi pertimbangan. Kita tahu Vredeburg merupakan titik yang memiliki ciri perintis, selain tentunya terletak di pusat kota yaitu titik nol kilometer.Hal ini memudahkan masyarakat untuk mengapresiasinya. Sesuai konsep perintis ini, banyak hal bermula dari nol kilometer misalnya perintis kemerdekaan. Sedangkan Bima Kunting ini merupakan produk lokomotif pertama buatan dalam negeri sehingga cocok dengan konsep itu," paparnya.
Setelah ditempatkan di Vredeburg, monumen lokomotif ini menurut Erlina juga akan dilengkapi papan informasi. Tidak hanya soal sejarah, berbagai sisi teknis juga akan dipajang.
"Segera setelah diresmikan nantinya, masyarakat bisa menikmati wahana edukasi ini," jelasnya seraya mengungkapkan peresmian yang akan dilakukan beberapa minggu setelah pemindahan.
Terpisah, Kepala Museum Benteng Vredeburg, Zaimmul Azzah mengatakan, pihaknya pun siap menyambut kedatangan wahana baru tersebut. Selain menyatakan kesiapan untuk menjaga dan merawat benda bersejarah tersebut, meningkatnya kunjungan wisatawan ke Benteng Vredeburg pun diharapkannya.
“Mengenai kesiapan untuk menjaga dan merawat, misalnya dalam hal personel kami siap. Banyak tenaga ahli pada kami misalnya konservator. Secara teknis hal itu bisa diatur,” jelasnya ketika dihubungi melalui sambungan telepon.
Zaimmul mengungkapkan, keberadaan lokomotif sarat sejarah ini diharapkan akan semakin meningkatkan kunjungan ke Vredeburg. Selama dua tahun terakhir jumlah kunjungan terus meningkat sehingga keberadaan Bima Kunting ini diharapkan semakin mendukung hal tersebut.
“Tahun lalu saja jumlah kunjungan mencapai sekitar 300 ribu pengunjung. Keberadaan wahana baru tentunya diharapkan semakin menarik minat pengunjung,” katanya.
Proses pemindahan lokomotif sendiri berlangsung cukup lancar pada Kamis (29/1) malam meski sempat terkendala hujan yang mengguyur. Prosesi pemindahan dimulai pada Kamis siang ketika lokomotif dicuci dan dilangsir. Berdasarkan pengamatan, lokomotif dipersiapkan di pintu timur los utama Balai Yasa. Satu unit truk trailer disiapkan untuk mengangkut loko ini.
Loko kemudian dinaikkan ke trailer berukuran sedang tersebut. Setelah proses pengangkatan ke trailer ini sukses, jajaran Balai Yasa, PT KAI Daop VI dan Dinas Kebudayaan melakukan selamatan dan memotong tumpeng. Hal ini dilakukan agar proses pemindahan berjalan lancar selain tentunya melestarikan kebiasaan orang Jawa yang berdoa sebelum melakukan pekerjaan besar.
Proses pergerakan pemindahan yang direncanakan dimulai sekitar pukul 22.00 terpaksa sedikit digeser karena hujan deras mengguyur wilayah Yogya dan sekitarnya. Beberapa menit setelah pukul 22.00 trailer bermuatan lokomotif seberat 19 ton tersebut kemudian diberangkatkan melalui jalan Solo, berlanjut ke Jalan Sudirman, jalan Mangkubumi sebelum menuju jalan Malioboro.
Setelah melintas di Jalan Mangkubumi, trailer dijadwalkan melintas di Pos Jaga Lintasan (PJL) geser di sebelah timur stasiun Tugu. Iring-iringan trailer yang dikawal oleh mobil Patwal dari Polresta Yogyakarta terpaksa berhenti untuk menunggu KA Turangga melintas. Setelah KA melintas, puluhan petugas membersihkan lintasan sementara trailer perlahan melewati perlintasan.
Kesulitan yang dihadapi untuk melewati perlintasan ini cukup tinggi disebabkan banyaknya kabel yang melintang di jalan. Seorang petugas membawa sebatang bambu berada di atas loko untuk mengatasi masalah ini. Setiap kali trailer melintas dibawah kabel, bambu diarahkan agar tidak bersentuhan dengan bodi lokomotif.
Setelah melintasi PJL geser, trailer pun bersiap memasuki jalan Malioboro. Ratusan pengunjung Malioboro pun terpana melihat iring-iringan ini.
Yang seru, proses pemindahan ini sempat membuat heboh warga. Berikut ini videonya:
Menjelang pukul 23.00, trailer berhasil mencapai halaman Benteng Vredeburg. Setelah sejenak diparkir di halaman Benteng, terpal yang menutupi loko kemudian dibuka. Trailer kemudian bergerak menuju ke lokasi penempatan loko di sisi utara halaman depan benteng Vredeburg.
Bima Kunting sampai di Halaman Museum Benteng Vredeburg. Dok Pri |
Lokasi penempatan lokomotif Bima Kunting berupa bangunan sederhana dari semen. Dua batang rel berbantal besi telah dipersiapkan untuk menahan berat lokomotif.
Proses penurunan lokomotif dari trailer sendiri bukan hal yang mudah. Kru yang bertugas harus menghabiskan waktu berjam-jam sebelum akhirnya loko berhasil dipindah dan ditutup terpal. Monumen edukatif ini memang belum bisa segera dinikmati masyarakat. Proses pembangunan fasilitas di sekitarnya masih akan dilakukan misalnya prasasti dan papan informasi.(*)
Kondisi Bima Kunting di Museum benteng Vredeburg pada Jumat (30/1/2015). Dok Pri |
No comments:
Post a Comment