Menengok Sejarah Keberadaan Kereta Listrik di Indonesia
Hal
ini tak pelak memberi harapan baru untuk para penglaju di kawasan Yogya
dan Solo. Semakin macetnya jalanan karena kepadatan kendaraan dan
keterbatasan pertumbuhan jalan membuat berkendara tak lagi menyenangkan.
Solusinya, jelas transportasi umum yang aman, nyaman dan murah. Satu
dari beberapa jawabannya adalah KRL yang dianggap lebih ekonomis dan
berdaya angkut lebih besar.
Sebelum
wacana ini bergulir lebih jauh, tak ada salahnya menengok sejarah
keberadaan KRL di Indonesia. Sejak awal hingga saat ini, KRL memang baru
bisa dijumpai di wilayah Jabodetabek. KRL telah menjadi satu dari
beberapa tulang punggung transportasi di kawasan ibukota. Namun,
ternyata proses pembangunannya tak semulus yang dikira.
Hal tersebut mengemuka dalam Sejarah Elektifikasi Jalur Kereta Api Lintas Jakarta Kota hingga Bogor yang
diadakan oleh Komunitas Sejarah Perkeretaapian Indonesia (KSPI) pada
Sabtu (16/8) di Hall Stasiun Jakarta Kota. Bekerja sama dengan Unit
Pusat Pelestarian, Perawatan dan Desain Arsitektur PT KAI, acara ini
dihadiri oleh ratusan peserta dan beberapa tokoh. Nampak hadir, kepala
Unit Pusat Pelestarian, Ella Ubaidi, pakar transportasi Djoko
Setijowarno dan beberapa tokoh lainnya.
Unit Pusat Pelestarian, Perawatan dan Desain Arsitektur PT KAI Ella Ubaidi (kanan) menerima kenang-kenangan dari ketua KSPI Ir Widoyoko |
KSPI merupakan organisasi pecinta
KA yang dibentuk oleh Ir Widoyoko dan beberapa rekan pada 2009 untuk
merespon pembentukan unit Heritage oleh PT KAI. Tujuan dibentuknya KSPI
antara lain untuk mendukung unit Heritage tersebut. Organisasi ini telah
menghasilkan beberapa buku mengenai kereta api, berbagai presentasi
sejarah dan MoU dengan beberapa pihak satu di antaranya unit Heritage PT
KAI.
Ketua KSPI, Ir Widoyoko yang
bertindak sebagai pemateri mengatakan, keberadaan KRL sungguh unik.
Selain prosesnya panjang dan memerlukan perjuangan dari pakar yang
terlibat di dalamnya, prestasi yang ditorehkan juga tidak main-main.
Keberadaan KRL yang waktu itu menjadi proyek ujicoba pemerintah kolonial
di tanah jajahan sempat mengalahkan transportasi di negeri Belanda
sendiri.
"Kenapa harus elektrifikasi? Itu
pertanyaan besarnya. Kondisi saat itu, pengembangan teknologi kereta
listrik di Eropa sendiri belum sempurna. Contohnya di Swiss, teknologi
ini mendapat tentangan dari orang kereta api uap. Mereka merasa
terganggu dengan perkembangan teknologi ini," jelasnya.
Teknologi kereta listrik ini tak lepas
dari pantauan para pakar di Indonesia (waktu itu Hindia Belanda) sekitar
1911. Kemudian, seorang insinyur bernama Ir Damme diutus untuk
memelajari perkembangan tersebut. Pada 1917 keluarlah hasil pantauan
yang ditujukan ke Pemerintah. Kemudian laporan ini ditindaklanjuti
dengan pembuatan proposal yang diajukan ke Dewan Liga Belanda. Hasilnya,
usulan elektrifikasi ini disetujui.
Pada 1920, seorang pakar lain bernama Ir Reitsma
mengkaji usulan tersebut. Ia mengatakan, elektrifikasi seluruh jalur KA
merupakan sesuatu yang terlalu mahal. Karena itu ia menyarankan
elektrifikasi dilakukan pada jalur pegunungan saja. Hal ini dilakukan
karena waktu itu biaya perawatan armada kereta api pegunungan sangat
mahal.
"Sempat terjadi perdebatan di kalangan pakar. Namun
perusahaan kereta api pemerintah waktu itu, Staatsspoorwegen (SS)
berhasil meyakinkan parlemen di Belanda. Mereka mengacu data bahwa saat
itu kedatangan kapal di pelabuhan Tanjung Priok yang berlanjut dengan
pengangkutan melalui kereta api telah mencapai lebih dari 10 juta
penumpang per tahun. Padahal, di Amsterdam saja jumlahnya tidak setinggi
itu. Karena itulah parlemen menyetujui, namun proyek elektrifikasi ini
berupa proyek ujicoba (pilot project)," papar Ir Widoyoko.
Jalur yang disetujui adalah koridor Jakarta-Bogor.
Setelah disetujui, mulailah proses pembangunan berupa pemesanan material
dan pengerjaan di bawah pimpinan proyek Ir de Helder. Ia juga
menyosialisasikan hal tersebut ke para insinyur lain di Negeri Belanda
melalui seminar. Selanjutnya materi seminar dipublikasikan di majalah De
Ingenieur.
"Tahap pertama pembangunan tentu saja sumber
listriknya melalui pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Kenapa memilih tenaga listrik dari air? Alasannya, saat itu banyak
sungai di Jawa yang tidak dimanfaatkan potensi airnya. kalau memilih
tenaga uap berpotensi merusak lingkungan karena mengandalkan batubara;
selain tentunya pada waktu itu masih harus impor dari Australia," lanjut
Ir Widoyoko.
Akhirnya pada 1923 berdirilah PLTA Oebroeg (Ubrug)
di Cibadak, Jawa Barat. Sungai Cicatih dibendung untuk membuat waduk
penampungan. Dari PLTA ini, listrik 70 KV berhasil dialirkan ke gardu di
Meester Cornelis (Jatinegara) dan Ancol. Daya listrik kemudian 70KV AC
diturunkan (Step down) ke 6KV AC dan dikonversi lebih lanjut ke tegangan
1500V DC yang digunakan untuk menggerakkan KA.
Sementara untuk armadanya, didatangkanlah beberapa
lokomotif listrik buatan Werkspoor, Beijnes dan Allan. Beberapa tipe
yang dikenal antara lain lokomotif serie 300 untuk KA ekspress. Serie
3100 untuk KA reguler yang berkekuatan 1500PK. Namun lokomotif seri ini
juga bisa untuk KA reguler. Ada pula serie 3300 untuk KA barang dan
serie 4000 yang khusus untuk langsir.
"Pada peresmian jalur KA listrik antara Meester
Cornelis dan Tanjung Priok pada 6 April 1925, masyarakat antusias
melihat dan menggunakan KA listrik ini. Hal ini menunjukkan
elektrifikasi secara teknis tidak mengalami hambatan berarti. Keraguan
parlemenlah yang menjadi permasalahannya. Hal ini menjadi pondasi yang
baik untuk angkutan publik di masa depan. Bisa kita lihat saat ini,
apabila tidak ada KRL, maka apa jadinya jalan raya, terutama jalan tol,"
tegas Ir Widoyoko.
Pria Kelahiran Purworejo ini kemudian mengungkapkan
pengamatan pribadinya yang sempat menikmati keberadaan Lokomotif Listrik
di Ibukota pada 1976-1985. Keberadaan lokomotif listrik disusul set KRL
buatan Jepang dari pabrik Nippon Sharyo pada 1976. Kemudian pada 1994
PT Industri Kereta Api (INKA) bekerja sama dengan BN Holec berhasil
membuat KRL berteknologi terkini yaitu Variable Voltage Variable
Frequency (VVVF). Kemudian pada 2003 INKA meluncurkan Kereta Rel Listrik
Indonesia (KRLI).
Satu Unit KRL melintas di Stasiun Gambir. Dok Pri |
"Kesimpulannya, sistem perkeretaapian di Indonesia
saat itu sangat modern dan lebih maju dibanding negeri Belanda. Pada
1930an itu di Belanda bahkan belum ada lokomotif listrik. Sistem
transportasi umum perkotaan yang ada di Indonesia saat itu mendahului
zamannya (terdiri dari heavy and light rail) bahkan lebih baik dari
Amsterdam.Pengembangan elektrifikasi sukses melibatkan industri dalam
negeri dan pakar-pakar nasional. Pelayanan transportasi umum juga
melayani semua golongan masyarakat dan bermartabat," kata Ir Widoyoko.
Sementara itu, Ella Ubaidi mengatakan, pihaknya
dalam rangka merawat sejarah elektrifikasi jalur KA di Jakarta akan
membuat semacam museum elektrifikasi di Jatinegara. Tempat tersebut akan
menjadi pusat informasi elektrifikasi. Hal ini dilakukan untuk mewadahi
keingintahuan orang mengenai sejarah elektrifikasi di wilayah Ibukota
dan sekitarnya.
"Hasil presentasi yang dikerjakan oleh pak Widoyoko
bersama kami itu akan menjadi semacam panduan, tidak hanya untuk
kegiatan wisata, namun juga ilmu pengetahuan," katanya.
Terkait dengan telah dihentikannya beberapa jenis KRL dan telah
dikumpulkan di Purwakarta, Ella mengatakan pihaknya telah menyelamatkan
setidaknya satu jenis dari setiap KRL. Untuk sementara set KRL yang
dipreservasi tersebut ditaruh di Manggarai.
Di kesempatan yang sama, Djoko Setijowarno
mengatakan, elektrifikasi merupakan sistem angkutan yang dampak
lingkungannya mendekati nol. Apa yang terjadi saat ini di Indonesia saat
ini merupakan kemunduran dimana banyak jalur trem dicabut. Padahal dulu
di beberapa kota misalnya Surabaya, Semarang, Malang bahkan Balikpapan
memiliki trem.
Mengenai rencana pengoperasian KRL di Indonesia,
Djoko menyatakan hal itu merupakan sesuatu yang positif. "Elektrifikasi
di Yogya memang sudah seharusnya dilakukan. Angkutan perkotaan yang
berdaya angkut besar dan berdampak lingkungan kecil memang harus
dibangun," tegasnya.
No comments:
Post a Comment