Agar tidak merusak kesan klasik, maka jam modern yang ada di stasiun untuk sementara dicopot |
Layaknya hubungan pertemanan, ketika ada rekan yang sakit
sudah sewajarnya menengok. Demikian pula kawan lama pun tak dilupakan. Apabila
ada waktu, ada baiknya berkunjung ke karib yang lama tak berjumpa.
Itulah yang dialami oleh stasiun Purworejo. Sejak mati suri
pada November 2010, praktis tak ada kegiatan pemmberhentian maupun
pemberangkatan kereta. Stasiun yang bahkan telah dipugar oleh pemiliknya yaitu
PT Kereta Api Indonesia sepi meski bangunan berdiri megah menjulang. Sayang
memang, tapi mau bagaimana lagi.
Namun, rupanya si cantik yang merana ini tak melulu harus
dirundung sepi. Pada awal November 2014 ini mulai terlihat geliat di
sekitarnya.
Tidak hanya di jalur yang isunya akan direaktivasi kembali, namun juga di bangunan stasiun nan cantik peninggalan para meneer Belanda ini.
Tidak hanya di jalur yang isunya akan direaktivasi kembali, namun juga di bangunan stasiun nan cantik peninggalan para meneer Belanda ini.
Semua itu berawal dari ikut sertanya PT KAI dalam gelaran
Purworejo ekspo 2014. Ajang tahunan yang digelar untuk memeringati hari jadi
Kabupaten Berirama ini seperti biasa diadakan di alun-alun Purworejo yang
terkenal luas itu. Yang berbeda, kali ini ada peserta baru yaitu PT Sepur.
Perusahaan angkutan pelat merah itu, melalui Unit Pusat
Pelestarian, Perawatan dan Desain Arsitektur
membuka satu stand di arena pameran. Selain memajang informasi seputar
tempat dan sarana bersejarah di dunia perkeretaapian, pengunjung juga bisa
mencetak tiket mandiri. Beberapa petugas berseragam meneer Belanda pun berjaga
di stand selama berlangsungnya acara dari akhir Oktober hingga awal November
2014.
Jodi segera beraksi untuk memberikan angle terbaik bagi para fotografer. Sementara itu panitia mengawasi dari belakang |
Pada hari terakhir pameran, PT KAI pun mengadakan acara di
Stasiun Purworejo berupa lomba foto bertema Kisah Klasik di Stasiun Purworejo.
Lomba yang dibatasi untuk 30 peserta ini telah dibuka pendaftarannya sejak hari
pertama pameran. Para peserta yang berasal dari berbagai kalangan dengan
berbagai jenis kamera ini ditantang untuk menghasilkan foto dua model yang
disediakan.
Karena bertema Purworejo Klasik, tentu saja model yang
dihadirkan harus mewakili kedua hal tersebut. Model pertama adalah Destya
Kharimawati yang merupakan model asli Purworejo. Dara yang menyabet predikat
Roro Favorit pada ajang Pemilihan Bagus-Roro Purworejo 2013 ini tampil memakai
baju perempuan Jawa pada zaman dahulu. Memakai kebaya klasik, disertai riasan
jadul, ditambah sanggulan cepol, ia mewakili sosok warga Purworejo pada masa
kejayaan pengoperasian Stasiun Purworejo.
Sementara itu, model kedua merupakan model impor, tentunya
impor tidak terlalu jauh yaitu dari Negara sebelah yaitu Yogyakarta… hehehe.
Adalah Jodilee Norma Warwick yang berperan sebagai Noni Belanda. Kalau dalam
penafsiran saya sih bisa dijadikan pemeran Putri Residen Bagelen waktu itu…
Untuk menjiwai perannya, Jodi, demikian ia akrab disapa
memakai baju noni-noni yang serba terang. Ditambah aksesori topi dan payung,
jadilah ia pergi ke pasar… Eh, ngawur. Jadilah ia menjadi noni Belanda yang
membuat peserta seolah dibawa ke masa kolonialisme Belanda di tanah Purworejo.
Dara berdarah Kanada-Jawa ini terlihat begitu elok menjadi Putri Residen
Bagelen.
Melihat semua itu, siapa mengira di belakangnya sejumlah
persiapan kalang kabut terjadi. Selain
persiapan yang serba minim, butuh perjuangan untuk mencapai Purworejo.
Semula, acara direncanakan akan digelar pada 28 Oktober.
Jodi yang dihubungi sejak awal nyaris tidak bisa menyanggupi karena bertabrakan
dengan jadwal Ujian Tengah Semester (UTS) di kampusnya. Demikian pula dengan
Destya.
Beruntung, Meneer Rezza Habibie yang bertanggungjawab atas
acara ini kemudian memberitahu kalau acara digeser ke…3…eh 2 November. Kalau
digeser ke 3 November ya Sayur Panas Ngguyuri Klepon: Tasih sami mas nggih sami
mawon :P Pada hari Senin, Jodi dan Destya juga masih ujian. Bisa sih nekad
datang, tapi jam 1 sudah harus balik ke Jogja soalnya ujiannya sore.
Tapiii… karena acaranya diadakan pada hari Minggu, tentu
saja semua bisa. Modelnya siap, pesertanya pun gembira. Sedikitnya 30 peserta
ditambah beberapa peserta dadakan yang waiting list siap membidikkan gear-nya
ke dua model itu.
Soal make up artis pun juga bukan perkara sepele. Bukannya
susah nyari sih, cuma nggak keinget saja make up artis di Purworejo. Setelah
bertanya pada mbak Sabrina (Roro Purworejo 2012), disarankan untuk menghubungi
mbak Pipin dari Pylandra Modelling Purworejo. Daaan… untungnya Mbak Pipin selo
dan bersedia. Jadilah pada Minggu pagi 2 November 2014 direncanakan dua model
yang (kelihatannya) masih setengah mengantuk itu dipermak.
Minggu pagi, rutinitas bangun siang pun dihajar dan
ditumpas. Jam enam, Jodi yang diantar Oom Victor siap meluncur ke Purworejo…pake
motor. Sementara itu Destya sudah siap menunggu di Purworejo. Perjalanan 1,5
jam berlangsung lancar. Sekitar jam 07.30 sudah sampai ke kawasan alun-alun
Purworejo yang masih ramai karena ada Car Free Day. Karena Victor dan Jodi
nggak mau diajak sarapan, akhirnya rombongan yang masih setengah mengantuk ini
langsung menuju ke tempat Mbak Pipin.
Jadilah selama lebih dari dua jam Jodi dan Destya (yang
ternyata datang tidak terlalu lama sebelum Jodi) dipermak mbak Pipin. Molornya
make up karena kesiangan ini sempat membuat Meneer Habibie sewot. Mau gimana
lagi, meski sudah siap-siap, masalah property susah dipecahkan. Untungnya
sebelum jam 10.00, dua ondel-ondel model tersebut sudah meluncur ke
stasiun. Satu pelancarnya adalah kesediaan Mbak Pipin minjemin property miliknya.
Sampai di stasiun, tanpa membuang waktu dua model itu segera
menjadi sasaran bidik para peserta. Destya menempati venue depan stasiun
sementara Jodi di emplasemen. Peserta pun diberi kebebasan mengeksplorasi
kemampuannya melukis menggunakan cahaya. Mereka juga diberi kebebasan untuk
meminta model berpose tertentu.
Saking tingginya antusiasme peserta, sesi yang direncanakan
berlangsung hanya setengah jam saja molor menjadi dua jam bahkan lebih. Bahkan
ketika sesi dihentikan, para peserta terus saja meminta dua model untuk
berpose. Semoga saja antusiasme ini ditangkap panitia sehingga gelaran ini bisa
rutin diadakan setiap tahunnya :D Amien.
Melihat semangat peserta, Jodi dan Destya pun juga ikut
bersemangat. Meski udara terasa panas, namun itu tidak mengurangi semangat
mereka. Sesekali mereka terpaksa menyeka keringat yang bercucuran.
Pada 10 menit terakhir, dua model tersebut dikolaborasikan. Hasilnya
luar biasa, keduanya membuat suasana stasiun Purworejo bagaikan kembali ke masa
1900an awal. Diiringi oleh latar belakang kusen pintu dan jendela yang masih
asli, peserta merasakan nuansa klasik yang kuat. Kalau nggak bocor, hasilnya
foto bisa mencerminkan atmosfir kuno yang kuat. Pemilihan tone dan kolaborasi
antara model dan arsitektur bangunan menjadi kuncinya.
Setelah melalui penjurian yang cukup njlimet karena karya
yang diserahkan ke panitia sangat menarik, akhirnya terpilih tiga pemenang.
Juara pertama disabet Wisnu Prawoto, berikutnya Ilham Kencana Putra menggondol
trofi kedua, sementara peringkat ketiga diraih oleh Martin Tri Haryanto.
Setelah event ini, rencananya pada Desember 2014 PT KAI akan
kembali mengadakan event. Kabarnya acara yang diadakan berupa pasar peron.
Semoga saja ke depannya stasiun semakin ramai ketika jalur Purworejo-Kutoarjo
sudah aktif kembali. Semoga.
Di tengah pemotretan, tak lupa musisi keroncong mengiringi |
No comments:
Post a Comment