Hanya satu catatan dari pengamatan saya

Hasil pengamatan seputar kehidupan sehari-hari, jalan-jalan, film, hingga soal sejarah, kereta api dalam dan luar negeri

Monday 17 November 2014

Paduan Barat dan Timur dalam Karya Perak Kotagede

Bambang sedang mengerjakan cincin perak pesanan pelanggannya. Dok Pri


Kotagede telah lama dikenal sebagai daerah yang menghasilkan kerajinan perak. Bahkan, dalam sejarahnya perak Kotagede pernah menembus mancanegara. Hingga kini, sisa kejayaan Kotagede masih dapat dijumpai.

Matahari belum beranjak tinggi ketika kesibukan dimulai di Kotagede. Jalanan sempit yang membelah deretan toko dan pusat souvenir perak dipadati pengguna jalan. Mulai dari sepeda, becak, andong hingga sepeda motor dan mobil berlalu-lalang.

Nampak depan belum tentu menunjukkan nampak aslinya. Di sela kepadatan kios dan toko berarsitektur modern tersebut, masih terdapat gang-gang yang menyimpan sejuta misteri Kotagede. Misteri tersebut, tidak lain dan tidak bukan adalah perak yang menjadi daya tarik wilayah ini.

Di belakang deretan kios dan toko tersebut, masih banyak pemukiman warga yang dibangun pada era ketika sebelum Indonesia merdeka. Pun begitu, sisa bangunan Jawa kuno juga masih dapat dijumpai meski kini tak sebanyak dulu.

Lebih dari itu, di rumah-rumah tembok dengan kusen-kusen kayu lawas tersebut, terselip kisah pembuatan berbagai kerajinan perak. Tidak hanya mengintip bagaimana berbagai cenderamata yang indah dibuat, pengunjung bisa mendengar penuturan cerita yang menyertainya.



Satu contohnya adalah dapur pembuatan kerajinan perak G Silver milik Bambang Mursanyoto (57). Sebagai usaha kerajinan perak keluarga, usaha yang terletak di Basen KG III/161/ RT 10 RW 04 Kotagede ini pun turut merasakan perjalanan sejarah perak Kotagede.

Tidak terlalu sulit menemukan tempat usaha milik Bambang ini. Beberapa meter di selatan PKU, terdapat gerbang menuju ke timur, ke arah kampung Basen. Hanya berjarak sekitar tiga rumah dari gapura utama, di sebelah kiri terlihat rumah berhalaman cukup luas.

Kondisi rumah agak sepi ketika penulis datang. Namun, ternyata sepinya bagian depan rumah tidak mewakili kondisi rumah di belakang. Seorang pemuda yang membukakan pintu meminta kami masuk melalui pintu samping menuju ke rumah bagian belakang.

Baru saja melangkah ke pintu belakang, terdengar suara kesibukan perkakas yang beradu dengan perkakas. “Maaf, mas. Tetangga lagi sibuk membangun,” jelas Bambang menepis anggapan suara tersebut berasal dari proses pembuatan perak.

Pria bertubuh subur tersebut kemudian mengajak penulis masuk ke ruang kerjanya. Di tempat itu, beberapa lemari display memajang karya Bambang. Anting, kalung, cincin, hingga sendok perak terpajang rapi. Tak ketinggalan, beberapa foto yang dipajang menunjukkan prestasi Bambang sebagai perajin.

“Saya lagi melayani permintaan dari Akademi Militer, mas. Jadinya sekarang lagi fokus buat ratusan cincin untuk mereka,” jelas Bambang membuka pembicaraan.

Tidak sembarangan, pengalaman selama sedikitnya 34 tahun sebagai perajin perak membuat Bambang cukup dikenal bagi penggemar perhiasan perak. Karena itu tidak heran pembeli karya-karyanya pun banyak yang berasal dari luar Yogya, bahkan luar negeri.



Pria ramah ini mulai belajar pembuatan perak pada 1980. Kala itu ia belajar dari sang ayah, Margono Cokro Sardjono. Ayahnya ini merupakan satu dari beberapa perajin awal yang berkarya di kawasan Kotagede beberapa tahun setelah Indonesia merdeka. Dari ayahnya pula Bambang mengetahui beberapa sejarah awal kerajinan perak di Kotagede.

“Menurut ayah saya, perajin perak sudah ada sejak zaman kerajaan Mataram namun masih sederhana. Waktu itu kerajinan paling banyak berupa peralatan makan sederhana misalnya pinggan. Bahannya pun tidak melulu memakai perak namun juga tembaga dan kuningan,” kata Bambang.

Kemurnian kandungan logam pun juga belum memiliki standar yang jelas meski hasil produksinya dipakai untuk keperluan Kraton. Namun, kedatangan Belanda ke Yogyakarta kemudian turut mengubah perjalanan panjang kerajinan perak.

“Sejak masuknya Belanda, mereka umumnya tertarik dengan karya seni. Kemudian, ilmu pembuatan kerajinan perak dari barat dan timur berpadu. Standar mulai dipakai sehingga hasilnya pun jadi semakin baik,” jelas ayah dua anak ini.

Meski telah berpadu dengan ilmu pengetahuan barat, namun kerajinan perak Kotagede tetap memiliki karakternya sendiri. Menurut Bambang, karakter tersebut tercermin dari bentuk kerajinan berupa ukiran.

“Tidak seperti kerajinan perak dari Bali dan Padang, perak Kotagede terlihat dari ciri bunga Lotus tertutup dan terbuka.  Namun, bentuk ukiran tidak terbatas itu dan semakin berkembang,” imbuhnya.

Hingga setelah Indonesia merdeka, keindahan perak Kotagede rupanya masih menarik perhatian konsumen mancanegara. Pesanan dari luar negeri pun terus mengalir, terutama peralatan rumah tangga dari perak misalnya tea set.


“Itu zaman jaya-jayanya. Ibaratnya, buat satu tea set saja sudah bisa buat hidup selama sebulan. Berbeda dengan sekarang dimana hasilnya sering hanya untuk menutup ongkos produksi dan kebutuhan sehari-hari,” katanya.

Tantangan untuk para perajin perak Kotagede pun membuat perajin semakin terjepit. Tidak hanya harus menghadapi naiknya harga bahan baku, Pajak pertambahan Nilai  (PPN) 10 persen untuk produk, rendahnya minat generasi muda untuk meneruskan usaha keluarga ini juga menjadi tantangan tersendiri.

“Dua anak saya, tidak ada yang mau meneruskan usaha saya ini. Karenanya, saya pun kemudian menularkan ilmu pembuatan perak ini kepada yang mau belajar. Sekali waktu saya dapat pesanan banyak misalnya dari Akmil itu, saya cari tenaga, sekaligus saya ajari,” katanya.

Namun kini Bambang bisa sedikit menarik nafas lega. Sebabnya, minat generasi muda untuk melestarikan seni ukir perak ini semakin meningkat. Para pemuda di kampungnya pun banyak yang belajar menekuni kerajinan ini.

Untuk memenuhi selera pasar, bentuk produk kerajinan perak pun semakin berkembang. Pada awalnya, perak yang hanya dibuat menjadi alat rumah tangga kini juga dibuat menjadi berbagai cenderamata.  Bahkan, beberapa waktu belakangan perak juga telah bisa diolah menjadi miniatur berbagai benda misalnya becak dan andong.

“Namun untuk alat rumah tangga semakin jarang. Selain yang bisa membuat sudah semakin sedikit, peminatnya tidak terlalu banyak. Sekarang ini pesanan paling banyak perhiasan dan miniature,” kata Bambang lagi.

Dalam hal pemasaran, Bambang mengaku hal itu tidak terlalu sulit dilakukan. Di kala para pemilik toko besar berekspansi di dunia maya, Bambang tetap setia dengan ruang display yangia miliki di rumahnya.

“Bagi saya, yang penting adalah menjaga kualitas. Kalau itu sudah dipegang konsumen, maka orang akan percaya dengan kualitas kita. Bapak saya pernah berpesan, kepercayaan orang itu mahal. Dalam kerajinan perak ini yang dipegang adalah kadar perak. Saya ndak berani mengurangi kadarnya. Sekali orang nggak percaya, maka hancurlah usaha ini, sulit bangkit lagi,” paparnya.


No comments:

Post a Comment

Mohon bantuan kliknya