Keberangkatan
Sekitar dua
minggu setelah wawancara visa, saya pun dijadwalkan berangkat. Pergi pertama
kalinya ke negeri yang sama sekali berbeda dari Indonesia tentu memerlukan
persiapan khusus.
Untungnya,
sejak mendapat email konfirmasi sekaligus daftar persyaratan kelengkapan
administasi, pihak kedubes juga menyelipkan beberapa petunjuk keberangkatan.
Dalam dokumen tersebut diberikan gambaran kondisi di Amerika, baju yang
dibutuhkan (termasuk seandainya berangkat di musim dingin), obat-obatan
pribadi, dan petunjuk bila terjadi kondisi darurat misalnya sakit.
Berkas
petunjuk ini juga dicetak dan dibagikan ketika briefing menjelang wawancara
visa. Sejak mendapat berkas itu, persiapan pun dilakukan. Istri saya yang lebih
berpengalaman bepergian membantu semua persiapannya. Mulai membeli batik
(Karena bila tidak mau memakai jas, bisa diganti batik. Baju jenis ini dianggap
baju formal dan bisa menghantikan jas untuk menghadiri pertemuan formal dan semi-formal).
Berikutnya, yang juga penting adalah membeli souvenir. Di Amerika, kami akan
bertemu dan berdiskusi dengan berbagai kalangan. Memberikan souvenir khas
Indonesia tentu akan meninggalkan kesan mendalam dan berkesan.
Sebagai orang Jawa dan tinggal di Jogja, saya pun ingin memberikan souvenir yang paling tidak merepresentasikan budaya Jawa. Karena itu, wayang kulit mini pun menjadi suvenir yang dipilih.
Waktu
keberangkatan saya dan rombongan adalah pada musim gugur. Cuaca pun belum
terlalu dingin sehingga saya tidak perlu membawa jaket (Kelak, ini yang bikin
nyesel ketika berada di Chicago). Sendal gunung yang sehari-hari saya pakai pun
saya tinggalkan. Sepasang sepatu kets dan pantofel untuk pertemuan resmi pun
masuk ke koper. Sweater, kaos dan beberapa celana jeans jadi andalan untuk
kegiatan formal. Nantinya, sepatu kets ini akan sangat membantu, karena ketika
berkeliling kota, tak jarang rombongan harus berjalan kaki. Sepatu kets tentu
sangat membantu, terutama ketika cuaca dingin.
Pada H-1
keberangkatan, seperti ketika mengikuti wawancara visa, saya terbang dengan
penerbangan pertama dari Yogyakarta ke Jakarta. Di pagi yang berkabut itu,
pukul 04.00 saya sudah sampai di Bandara Adisucipto. Penerbangan pada pukul
05.50 tentu memerlukan persiapan lebih awal.
Kali ini,
istri ikut mengantarkan. Bedanya, ia terbang dari Surabaya. Jadwal kedatangan
kami tidak jauh berbeda, sehingga kami pun janjian di terminal 3 untuk sarapan
Bersama. Namun, kali ini sarapan kami harus lebih cepat karena pukul 10.00 saya
harus mengikuti briefing pra-keberangkatan di Kedubes AS.
KA Bandara
kembali menjadi pilihan menuju kota Jakarta. Kali ini tujuannya sih biar istri
ikut merasakan pengalaman naik KA Bandara kedua di Indonesia ini.
Sekitar
satu jam perjalanan, kami tiba di Stasiun BNI City alias Sudirman. Sementara
menunggu saya briefing, istri pun berwisata kuliner di Kawasan sekitar Kedubes
AS.
Dalam
briefing tersebut, dijelaskan tentang rute perjalanan kami untuk menuju ke
Amerika. Dalam beberapa email sebelumnya, petugas yang menangani kami telah
memberikan sedikit gambaran rute yang kami tempuh. Namun demikian, tidak ada
salahnya diulang. Bahkan, turut hadir beberapa pejabat penting kedutaan dan
bidang yang mensponsori keberangkatan kami masing-masing. Juga, ada koordinator
alumni.
Yang
terpenting dalam briefing tersebut adalah apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan di Amerika. Beberapa ketentuan terpenting adalah, kami tidak boleh
mempublikasikan nama dan keterangan nara sumber tanpa izin yang bersangkutan.
Jadi misalnya, saya menulis di blog ini dengan nama dan isi pertemuan tanpa
izin yang saya sebut, itu sangat dilarang. Heran? Sebaiknya tidak. Amerika
sangat menjunjung tinggi yang Namanya privasi orang. Bila di Indonesia kita
mungkin melakukannya, atau terbiasa melakukannya, hal itu bisa menjadi masalah
besar di sana.
Sebagian
besar narasumber merupakan relawan yang tidak mendapat kompensasi. Mereka
bersedia meluangkan waktu dan pikiran untuk berdisuksi dengan kami saja sudah
merupakan sesuatu yang positif. Jadi, kepentingan dan privasi mereka sangatlah
penting.
Jadi, ini
sebabnya saya juga tidak menyebutkan nama orang sejak dari menulis tulisan ini.
Saya belajar menghormati privasi orang. Selain itu, saya juga belum meminta
izin secara khusus. Hehehe.
Kembali ke
briefing. Ada beberapa aturan tidak tertulis yang wajib dipatuhi. Misalnya saja
ketika makan di restoran dan kita dilayani alias mendapat pelayanan, kita WAJIB
memberikan tip. Biasanya nominalnya bervariasi, tapi sekitar 10 persen dari
nilai transaksi. Ini tak berlaku kalau kita makan mengambil sendiri misalnya di
restoran franchise.
Satu hal
yang menjadi beban pikiran saya beberapa bulan sebelum berangkat adalah soal
mencuci baju. Ternyata, ada solusi mudah soal ini. Biasanya, namun tidak semua,
hotel yang diinapi menyediakan fasilitas laundry maupun mesin laundry otomatis.
Kalau memakai layanan laundry dari hotel tentu lebih mahal. Karena itu,
disarankan mencuci sendiri di mesin laundry dengan biaya sekitar 2-5 dollar per
sekali mencuci. Hal lainnya adalah, kami, karena rombongan berjumlah lumayan,
akan mendapatkan dua orang interpreter sekaligus pemandu. Mereka bertugas
menerjemahkan selama sesi diskusi. Sebab, tidak semua anggota rombongan bisa
berbahasa Inggris. Jadi, siapa bilang ikut IVLP wajib bisa Bahasa inggris? :D
Isi
briefing lainnya menyangkut kewajiban membawa paspor kemanapun pergi. Sebab,
paspor ini menjadi pengganti KTP. Meninggalkan paspor di hotel ketika mengikuti agenda maupun bepergian sangatlah tidak dianjurkan.
Berikutnya, ikuti arahan dari pemandu. Nggak
lucu kan kalau tersesat atau kena masalah gara-gara bersikap seenaknya di
negeri orang?
Aspek yang
tidak kalah penting adalah uang saku. Sebab, kami berangkat hari Sabtu dan tiba
di Amerika hari Sabtu pula. Uang saku baru akan diberikan pada hari Seninnya
seiring kami memulai kegiatan. Karena itu, kami harus menalangi biaya hidup
hingga Senin pagi. Setidaknya USD 100 harus ada di kantong sekedar untuk makan
dan berbagai keperluan pribadi lainnya.
Untunglah
istri membekali dengan dollar yang cukup. Bahkan, ia menyisipkan uang yen
pula
sekedar untuk membeli camilan ketika transit di Jepang.
Suasana
briefing, meski dihadiri pejabat kedubes, terasa akrab dan menyenangkan. Hujan
yang mengguyur di luar Gedung terlihat dari kaca jendela, membuat semakin
enggan untuk mengakhiri pertemuan yang hangat itu. Hingga akhirnya, selepas
pukul 11.30 acara briefing berakhir. Peserta diharapkan pulang dan
mempersiapkan diri untuk perjalanan Panjang esok hari.
Kedubes AS
meminta peserta dari luar Jakarta untuk datang sehari lebih cepat. Hal itu
difasilitasi dengan tiket pesawat dan penginapan. Hal ini tak bisa disepelekan
karena selain meminimalisir potensi gangguan menuju ke bandara pemberangkatan,
juga menjaga fisik. Sebab, penerbangan ke Amerika nanti akan berlangsung lebih
dari 24 jam.
Penerbangan
Internasional
Untuk
menginap, pihak Kedubes memberikan saya kebebasan memilih beberapa hotel yang
direkomendasikan. Hanya saja, saya harus menalangi dulu dan biaya penginapan
akan diganti (Reimburse) setelah saya tiba di tanah air nantinya.
Istri
menyarankan saya memilih hotel yang paling dekat dengan bandara. Sebagai orang
yang sulit bangun pagi, hal ini akan mengurangi risiko telat bangun. Sebab,
meski penerbangan kami dijadwalkan pada pukul 06.45, namun karena penerbangan
internasional, diwajibkan check ini 3 jam sebelumnya.
Malamnya,
tanpa banyak kesulitan, saya berhasil tidur. Kegiatan wara-wiri seharian
membuat fisik Lelah dan mudah tidur. Rasa tegang dan gelisah kalah dengan
letihnya fisik. Hal yang harus disyukuri. Namun ternyata, lelapnya saya
tertidur membuat istri was-was. Ialah yang berusaha berjaga semalaman. Padahal,
keesokan harinya ia juga harus terbang kembali ke Surabaya. Penerbangannya
tidak berbeda jauh dengan saya.
Sebenarnya,
istri menyarankan saya tidak usah terburu-buru. Pukul 04.00 berangkat menuju ke
bandara dirasa masih aman. Namun entah mengapa saya bersikeras untuk berangkat
lebih awal.
Pukul 02.30
alarm yang nyaring berhasil membangunkan kami berdua. Istri beberes koper
sementara saya mandi dan mempersiapkan diri. Turun ke lobi hotel, terlihat
banyak orang Tionghoa sedang makan. Rupanya hari itu kami berbarengan dengan
rombongan wisatawan dari Tiongkok.
Tanpa
membuang waktu, kami sarapan.
Meski hotel
yang masih di lingkup luaran Bandara Soetta itu termasuk hotel budget, namun
menu sarapan yang disajikan cukup membuat istri terkesan. Padahal, standar enak
untuk dia lumayan tinggi! Menu mie goreng dan pasta dipadu teh manis cukup
untuk mengganjal perut subuh itu.
Sebagai
hotel budget di Kawasan sekitar bandara, manajemen hotel menyediakan layanan
antar hingga ke terminal keberangkatan. Ini tentu sangat membantu karena tidak
mudah mencari transportasi online di jam seperti itu.
Sopir
menurunkan kami di terminal 2. Setelah cipika-cipiki dengan istri, saya menuju
ke terminal 2E sementara istri ke terminal 2D.
Muka tegang jelang berangkat. Subuh-subuh sudah sampai bandara |
Saran istri
ternyata banyak benarnya. Pukul 04.00 konter Japan Airlines (JAL) Nampak belum
buka meski para pegawainya (Orang Indonesia semua) Nampak bersiap. Beberapa
rekan serombongan sudah datang dan duduk menunggu konter buka. Beberapa orang
Jepang Nampak asyik membaca sementara kami hanya terdiam, berupaya menahan
kantuk. Handphone saya hanya berisi satu kartu yang ternyata sinyalnya tidak
terlalu bagus. Kartu SIM yang lain sudah saya serahkan ke istri, barangkali
perlu untuk membayar berbagai tagihan via SMS banking. Karena itu, tak banyak
yang bisa dilakukan dengan handphone.
Sekitar
pukul 05.00 konter JAL buka. Kamipun mulai mengantre sementara beberapa rekan
kami mulai bermunculan lagi.
Seperti
dipesankan oleh petugas dari Kedubes AS, kami meminta bagasi kami untuk check
in through langsung ke Washington DC. Dengan demikian bagasi langsung dikirim
ke kota tujuan itu tanpa harus naik-turun pesawat bersama kami.
Saya hanya
menenteng ransel kecil berisi dokumen, laptop kecil, botol air minum, alat
tulis, dan baju ganti sekedar di perjalanan. Tidak terlalu berat, namun cukup
membantu selama di perjalanan.
Seumur
hidup, saya naik pesawat dalam durasi lama ketika bepergian ke Ambon dari
Surabaya dengan durasi dua setengah jam. Namun kali ini, saya harus naik
pesawat ke Jepang selama tujuh jam, transit dua jam di Narita, disambung
penerbangan ke Chicago selama 11 jam, transit lagi dua jam di Chicago dan terbang lagi
selama dua jam hingga tiba di Washington DC.
Tegang?
Jelas sekali. Namun, terus-terusan tegang tidak akan berguna. Rileks, itu pesan
istri yang sejak kecil memang terbiasa terbang kemana-mana. Untuk orang ‘darat’
seperti saya, sarannya tentu valid.
Nampaknya
nasib baik memang menaungi. Di konter check ini saya bertanya apakah mungkin
meminta posisi tempat duduk tertentu. Petugas ternyata mengupayakan. Check in
dalam barisan paling awal memang memiliki banyak manfaat seperti ini.
Saya
meminta posisi duduk di samping jendela. Pemandangan pesawat ketika membumbung
tinggi menjadi incaran.
Petugas
memenuhi permintaan saya. Bahkan saya juga dibantu mencetak tiket untuk
penerbangan dengan American Airlines dari Narita ke Chicago, dan Chicago ke
Washington DC nanti. Semuanya duduk di samping jendela!
Perjalanan
menuju ke gate cukup lancar. Di bagian imigrasi petugas hanya bertanya tujuan
ke Amerika. Namun, memasuki bagian pemeriksaan barang bawan dengan pemindai
sinar-X ternyata cukup merepotkan. Apalagi jika memakai sabuk yang berbahan
logam.
Setelah
melewati imigrasi, kami tidak bisa segera ke gate karena masih ditutup. Padahal
saat itu sudah pukul 05.50. Penumpang maskapai ANA di gate sebelah kami sudah
mulai ramai. Sementara kami nampaknya kepagian.
Rombongan IVLP dari Jakarta kloter pagi. Dua orang anggota dari Surabaya sudah berangkat terlebih dahulu. |
Ketika
matahari mulai muncul di ufuk timur, petugas membuka pintu menuju gate.
Berjalanlah kami menuju ke ruang tunggu gate. Dari kejauhan, armada gendut
Boeing 787-800 milik JAL telah menunggu.
Armada Boeing 787-800 milik Japan Airlines nampak bersiap menunggu para penumpang |
Penerbangan
dengan JAL ini meninggalkan kesan yang mendalam. Ketika masuk ke pesawat, para
calong penumpang dibagi berdasarkan posisi duduk. Penumpang yang duduk paling
belakang berhak masuk terlebih dahulu. Dengan demikian arah gerak penumpang
tertib dan teratur. Penumpang tak perlu berdesakan sekedar untuk mencari tempat
duduknya maupun menaruh barang bawaannya di kompartemen atas.
Posisi
duduk saya di bagian sebelah kiri, tidak jauh dari sayap. Dari jendela saya
bisa melihat bentangan sayap 787 yang jauh lebih panjang dari 737-800 yang
beberapa kali saya naiki. Sembari saya duduk, mengencangkan sabuk pengaman dan
menikmati kesibukan di luar jendela dimana pesawat datang dan pergi di landasan
pacu, terdengar pengumuman dari ruang pilot.
“Selamat
pagi, bapak dan ibu. Izinkan saya menyapa dari cockpit. Terima kasih sudah
terbang Bersama Japan Airlines. Perjalanan ini akan memakan waktu sekitar tujuh
jam. Karena kepadatan di bandara, kita masih menunggu antrean untuk terbang,”
demikianlah Kapten Pilot yang nampaknya orang Jepang tersebut menyapa dalam
Bahasa Indonesia. Meski agak terbata dan aksen Jepangnya yang susah mengucapkan
huruf R masih kentara, namun rupanya kapten ingin menyapa warga Indonesia yang
akan ke Jepang.
Sungguh pelayanan yang baik.
Ketika
pesawat push back dan taxing menuju ke landasan pacu, Nampak antrean pesawat di
landasan pacu. Pagi hari, kesibukan di Soetta sungguh luar biasa. Pesawat harus
bergantian untuk lepas landas maupun mendarat. Karena itu tidak heran di
pertengahan 2019 ini dibangunlah landasan pacu ketiga di bandara tersibuk di
Indonesia ini.
Sambil
pesawat berbadan lebar itu mengantre, saya melihat armada AirAsia yang sudah di
ujung landasan pacu. Melihat jam, nampaknya itu pesawat yang ditumpangi istri.
Belakangan setelah pulang, ternyata benar. Istri yang duduk di jendela juga
bisa melihat pesawat saya. Sederhana namun terasa unik dimana kami bisa saling
berpandangan dari pesawat yang berbeda.
Proses
lepas landas berlangsung mulus meski di berita beberapa hari belakangan tersiar
kabar badai Mangkut yang menerjang Hong Kong. Semoga saja ini tidak
mempengaruhi perjalanan kami.
Setelah
pesawat mencapai ketinggian yang diinginkan pilot, pramugari mulai berkeliling
membagikan tisu basah yang hangat. Tisu beraroma lemon itu nyaman untuk
mengelap leher dan tangan. Aromanya membuat rileks.
Tidak
berhenti di situ, hampir tiap jam Pramugari yang terus mengobral senyum itu
berkeliling membagikan entah itu makanan ringan hingga air mineral. Hingga
beberapa jam kemudian, tibalah jam makan siang. Pramugari menawarkan pilihan
makan siang menu daging ayam atau sapi.
Sementara
bapak di sebelah saya memilih daging sapi, saya memilih menu satunya. Dan
tibalah nampan berisi paket lengkap itu. Ada ayam tumis sayur, saus, salad, mie
warna hijau (entah apa namanya), pudding, yakult, kacang mede asin, dan air
mineral. Paket yang sempurna dan sehat untuk perut tentunya.
Menu makan siang di penerbangan JAL dari Jakarta ke Tokyo |
Konfigurasi
tempat duduk di JAL adalah 2-4-2. Bentuk bangku yang besar membuat duduk terasa
lebih lega. Gerakan tangan untuk makan tidak sampai menyenggol penumpang di
sebelah.
Untuk
hiburan, JAL menyediakan headset yang terbungkus plastik di kantong di bawah
layar LCD touch screen. Setelah dicolokkan, nampaklah rentang hiburan yang
cukup lengkap. Ada musik dari berbagai aliran dan musisi, film yang cukup up to
date, dokumenter tentang pariwisata Jepang, film animasi, hingga buku dan
manga! Ya, komik Jepang itu bisa dibaca melalui layar. Sayangnya, manga yang
tersedia masih dalam Bahasa aslinya.
Dari layer
pula kita bisa melihat jalur perjalanan pesawat menuju ke Jepang. Semula saya
berpikir pesawat akan terbang melintasi singapura, melalui laut China Selatan
dan mendarat di Jepang. Ternyata rutenya berbeda.
Pesawat
lepas landas dari Jakarta, melintasi Kalimantan, Brunei Darussalam, kepulauan
Sulu dan mendarat di Jepang. Layar juga menyajikan gambaran cuaca di luar,
estimasi jarak dan waktu tempuh, hingga kecepatan dan ketinggian pesawat.
Sesekali
pula saya melirik ke jendela pesawat. Ketinggian sekitar 40 ribu kaki itu tidak
memberikan banyak pemandangan, sebenarnya. Namun sesekali dari balik awan yang
tebal saya bisa melihat gugusan kepulauan, bentang pulau terbesar di Indonesia
yakni Kalimantan, hingga jembatan Panjang di Brunei. Selebihnya, yang ada
hanyalah pemandangan gumpalan awan tebal dan laut biru. Bila bosan, jendela
bisa ‘Ditutup.’ Bukan arti yang sesungguhnya karena jendela pesawat 787 ini
tidak memiliki penutup. Gantinya adalah tombol bulat di bawah jendela dimana
kita bisa mengatur tingkat gelap dan terang jendela.
Beginilah pemandangan sepanjang perjalanan |
Hingga tiba
di atas Filipina, seluruh jendela nampak menggelap secara otomatis. Ini
nampaknya bisa diatur dari cockpit atau ruang kru. Sebagian besar penumpang
terlihat tidur pulas.
Jet Lag
adalah hal yang terpikir selama penerbangan. Oleh beberapa rekan yang beberapa
kali terbang jauh, saya disarankan sesekali bergerak dan banyak minum.
Karena itu,
setelah ke toilet, saya ke pantry dan meregangkan tubuh di situ. Yang
berpikiran serupa nampaknya tidak hanya saya. Dua orang juga melakukan
peregangan di area yang cukup lebar itu sementara pramugari sibuk merapikan
alat makan. Pramugari mengangguk sambal tersenyum ketika saya meminta air
mineral. Bukannya menyodorkan gelas plastik, ia mengulurkan sebotol air
mineral. Ya sudah, malah enak, tidak mudah tumpah.
Sepanjang
perjalanan selama 7 jam tersebut, tak banyak yang bisa dilakukan. Untuk
membunuh kejenuhan, menonton film jadi pilihan.
Tanpa
terasa, ketika gumpalan awan dari jendela sudah berubah menjadi seperti kabut,
pramugari mengumumkan persiapan untuk mendarat. Pesawat sedikit berguncang
ketika melintasi awan bergolak itu. Apakah ada badai di bawah sana?
Sementara
pesawat masih sedikit di atas awan, Pilot mengumumkan persiapan mendarat.
Sejak
kecil, saya suka dengan budaya Jepang. Tak hanya soal Anime dan Manga, namun
mengamati budaya Jepang dan masyarakatnya menjadi sesuatu yang menarik. Ada
sesuatu yang eksotis dan menawan di balik bentang alam dan perkotaan jepang.
Muncul keinginan untuk pergi ke Jepang suatu saat nanti.
Dan kini,
daratan Jepang membentang di jendela.
Daratan Jepang yang mulai mengintip |
Dari
pemandangan awan yang bagaikan kapas bergulung-gulung, kini berganti daratan
hijau dikelilingi hamparan birunya Samudra. Kepulauan Jepang bersiap menyambut
kedatangan kami.
Semakin
rendah pesawat terbang, semakin terlihat pula pemandangan negeri Sakura.
Bandara Narita dari jendela pesawat |
No comments:
Post a Comment