Hanya satu catatan dari pengamatan saya

Hasil pengamatan seputar kehidupan sehari-hari, jalan-jalan, film, hingga soal sejarah, kereta api dalam dan luar negeri

Wednesday 4 September 2019

Terbang Ke Amerika via Jepang (IVLP 2)


Keberangkatan


Sekitar dua minggu setelah wawancara visa, saya pun dijadwalkan berangkat. Pergi pertama kalinya ke negeri yang sama sekali berbeda dari Indonesia tentu memerlukan persiapan khusus.

Untungnya, sejak mendapat email konfirmasi sekaligus daftar persyaratan kelengkapan administasi, pihak kedubes juga menyelipkan beberapa petunjuk keberangkatan. Dalam dokumen tersebut diberikan gambaran kondisi di Amerika, baju yang dibutuhkan (termasuk seandainya berangkat di musim dingin), obat-obatan pribadi, dan petunjuk bila terjadi kondisi darurat misalnya sakit.

Berkas petunjuk ini juga dicetak dan dibagikan ketika briefing menjelang wawancara visa. Sejak mendapat berkas itu, persiapan pun dilakukan. Istri saya yang lebih berpengalaman bepergian membantu semua persiapannya. Mulai membeli batik (Karena bila tidak mau memakai jas, bisa diganti batik. Baju jenis ini dianggap baju formal dan bisa menghantikan jas untuk menghadiri pertemuan formal dan semi-formal). Berikutnya, yang juga penting adalah membeli souvenir. Di Amerika, kami akan bertemu dan berdiskusi dengan berbagai kalangan. Memberikan souvenir khas Indonesia tentu akan meninggalkan kesan mendalam dan berkesan. 


Sebagai orang Jawa dan tinggal di Jogja, saya pun ingin memberikan souvenir yang paling tidak merepresentasikan budaya Jawa. Karena itu, wayang kulit mini pun menjadi suvenir yang dipilih.

Waktu keberangkatan saya dan rombongan adalah pada musim gugur. Cuaca pun belum terlalu dingin sehingga saya tidak perlu membawa jaket (Kelak, ini yang bikin nyesel ketika berada di Chicago). Sendal gunung yang sehari-hari saya pakai pun saya tinggalkan. Sepasang sepatu kets dan pantofel untuk pertemuan resmi pun masuk ke koper. Sweater, kaos dan beberapa celana jeans jadi andalan untuk kegiatan formal. Nantinya, sepatu kets ini akan sangat membantu, karena ketika berkeliling kota, tak jarang rombongan harus berjalan kaki. Sepatu kets tentu sangat membantu, terutama ketika cuaca dingin.

Pada H-1 keberangkatan, seperti ketika mengikuti wawancara visa, saya terbang dengan penerbangan pertama dari Yogyakarta ke Jakarta. Di pagi yang berkabut itu, pukul 04.00 saya sudah sampai di Bandara Adisucipto. Penerbangan pada pukul 05.50 tentu memerlukan persiapan lebih awal.

Kali ini, istri ikut mengantarkan. Bedanya, ia terbang dari Surabaya. Jadwal kedatangan kami tidak jauh berbeda, sehingga kami pun janjian di terminal 3 untuk sarapan Bersama. Namun, kali ini sarapan kami harus lebih cepat karena pukul 10.00 saya harus mengikuti briefing pra-keberangkatan di Kedubes AS.

KA Bandara kembali menjadi pilihan menuju kota Jakarta. Kali ini tujuannya sih biar istri ikut merasakan pengalaman naik KA Bandara kedua di Indonesia ini.


Sekitar satu jam perjalanan, kami tiba di Stasiun BNI City alias Sudirman. Sementara menunggu saya briefing, istri pun berwisata kuliner di Kawasan sekitar Kedubes AS.
Dalam briefing tersebut, dijelaskan tentang rute perjalanan kami untuk menuju ke Amerika. Dalam beberapa email sebelumnya, petugas yang menangani kami telah memberikan sedikit gambaran rute yang kami tempuh. Namun demikian, tidak ada salahnya diulang. Bahkan, turut hadir beberapa pejabat penting kedutaan dan bidang yang mensponsori keberangkatan kami masing-masing. Juga, ada koordinator alumni.

Yang terpenting dalam briefing tersebut adalah apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di Amerika. Beberapa ketentuan terpenting adalah, kami tidak boleh mempublikasikan nama dan keterangan nara sumber tanpa izin yang bersangkutan. Jadi misalnya, saya menulis di blog ini dengan nama dan isi pertemuan tanpa izin yang saya sebut, itu sangat dilarang. Heran? Sebaiknya tidak. Amerika sangat menjunjung tinggi yang Namanya privasi orang. Bila di Indonesia kita mungkin melakukannya, atau terbiasa melakukannya, hal itu bisa menjadi masalah besar di sana.

Sebagian besar narasumber merupakan relawan yang tidak mendapat kompensasi. Mereka bersedia meluangkan waktu dan pikiran untuk berdisuksi dengan kami saja sudah merupakan sesuatu yang positif. Jadi, kepentingan dan privasi mereka sangatlah penting.
Jadi, ini sebabnya saya juga tidak menyebutkan nama orang sejak dari menulis tulisan ini. Saya belajar menghormati privasi orang. Selain itu, saya juga belum meminta izin secara khusus. Hehehe.

Kembali ke briefing. Ada beberapa aturan tidak tertulis yang wajib dipatuhi. Misalnya saja ketika makan di restoran dan kita dilayani alias mendapat pelayanan, kita WAJIB memberikan tip. Biasanya nominalnya bervariasi, tapi sekitar 10 persen dari nilai transaksi. Ini tak berlaku kalau kita makan mengambil sendiri misalnya di restoran franchise.
Satu hal yang menjadi beban pikiran saya beberapa bulan sebelum berangkat adalah soal mencuci baju. Ternyata, ada solusi mudah soal ini. Biasanya, namun tidak semua, hotel yang diinapi menyediakan fasilitas laundry maupun mesin laundry otomatis. Kalau memakai layanan laundry dari hotel tentu lebih mahal. Karena itu, disarankan mencuci sendiri di mesin laundry dengan biaya sekitar 2-5 dollar per sekali mencuci. Hal lainnya adalah, kami, karena rombongan berjumlah lumayan, akan mendapatkan dua orang interpreter sekaligus pemandu. Mereka bertugas menerjemahkan selama sesi diskusi. Sebab, tidak semua anggota rombongan bisa berbahasa Inggris. Jadi, siapa bilang ikut IVLP wajib bisa Bahasa inggris? :D

Isi briefing lainnya menyangkut kewajiban membawa paspor kemanapun pergi. Sebab, paspor ini menjadi pengganti KTP. Meninggalkan paspor di hotel ketika mengikuti agenda maupun bepergian sangatlah tidak dianjurkan.

Berikutnya, ikuti arahan dari pemandu. Nggak lucu kan kalau tersesat atau kena masalah gara-gara bersikap seenaknya di negeri orang?

Aspek yang tidak kalah penting adalah uang saku. Sebab, kami berangkat hari Sabtu dan tiba di Amerika hari Sabtu pula. Uang saku baru akan diberikan pada hari Seninnya seiring kami memulai kegiatan. Karena itu, kami harus menalangi biaya hidup hingga Senin pagi. Setidaknya USD 100 harus ada di kantong sekedar untuk makan dan berbagai keperluan pribadi lainnya.

Untunglah istri membekali dengan dollar yang cukup. Bahkan, ia menyisipkan uang yen 
pula sekedar untuk membeli camilan ketika transit di Jepang.
Suasana briefing, meski dihadiri pejabat kedubes, terasa akrab dan menyenangkan. Hujan yang mengguyur di luar Gedung terlihat dari kaca jendela, membuat semakin enggan untuk mengakhiri pertemuan yang hangat itu. Hingga akhirnya, selepas pukul 11.30 acara briefing berakhir. Peserta diharapkan pulang dan mempersiapkan diri untuk perjalanan Panjang esok hari.

Kedubes AS meminta peserta dari luar Jakarta untuk datang sehari lebih cepat. Hal itu difasilitasi dengan tiket pesawat dan penginapan. Hal ini tak bisa disepelekan karena selain meminimalisir potensi gangguan menuju ke bandara pemberangkatan, juga menjaga fisik. Sebab, penerbangan ke Amerika nanti akan berlangsung lebih dari 24 jam.

Penerbangan Internasional
Untuk menginap, pihak Kedubes memberikan saya kebebasan memilih beberapa hotel yang direkomendasikan. Hanya saja, saya harus menalangi dulu dan biaya penginapan akan diganti (Reimburse) setelah saya tiba di tanah air nantinya.

Istri menyarankan saya memilih hotel yang paling dekat dengan bandara. Sebagai orang yang sulit bangun pagi, hal ini akan mengurangi risiko telat bangun. Sebab, meski penerbangan kami dijadwalkan pada pukul 06.45, namun karena penerbangan internasional, diwajibkan check ini 3 jam sebelumnya.

Malamnya, tanpa banyak kesulitan, saya berhasil tidur. Kegiatan wara-wiri seharian membuat fisik Lelah dan mudah tidur. Rasa tegang dan gelisah kalah dengan letihnya fisik. Hal yang harus disyukuri. Namun ternyata, lelapnya saya tertidur membuat istri was-was. Ialah yang berusaha berjaga semalaman. Padahal, keesokan harinya ia juga harus terbang kembali ke Surabaya. Penerbangannya tidak berbeda jauh dengan saya.
Sebenarnya, istri menyarankan saya tidak usah terburu-buru. Pukul 04.00 berangkat menuju ke bandara dirasa masih aman. Namun entah mengapa saya bersikeras untuk berangkat lebih awal.

Pukul 02.30 alarm yang nyaring berhasil membangunkan kami berdua. Istri beberes koper sementara saya mandi dan mempersiapkan diri. Turun ke lobi hotel, terlihat banyak orang Tionghoa sedang makan. Rupanya hari itu kami berbarengan dengan rombongan wisatawan dari Tiongkok.

Tanpa membuang waktu, kami sarapan.

Meski hotel yang masih di lingkup luaran Bandara Soetta itu termasuk hotel budget, namun menu sarapan yang disajikan cukup membuat istri terkesan. Padahal, standar enak untuk dia lumayan tinggi! Menu mie goreng dan pasta dipadu teh manis cukup untuk mengganjal perut subuh itu.

Sebagai hotel budget di Kawasan sekitar bandara, manajemen hotel menyediakan layanan antar hingga ke terminal keberangkatan. Ini tentu sangat membantu karena tidak mudah mencari transportasi online di jam seperti itu.

Sopir menurunkan kami di terminal 2. Setelah cipika-cipiki dengan istri, saya menuju ke terminal 2E sementara istri ke terminal 2D.
Muka tegang jelang berangkat. Subuh-subuh sudah sampai bandara


Saran istri ternyata banyak benarnya. Pukul 04.00 konter Japan Airlines (JAL) Nampak belum buka meski para pegawainya (Orang Indonesia semua) Nampak bersiap. Beberapa rekan serombongan sudah datang dan duduk menunggu konter buka. Beberapa orang Jepang Nampak asyik membaca sementara kami hanya terdiam, berupaya menahan kantuk. Handphone saya hanya berisi satu kartu yang ternyata sinyalnya tidak terlalu bagus. Kartu SIM yang lain sudah saya serahkan ke istri, barangkali perlu untuk membayar berbagai tagihan via SMS banking. Karena itu, tak banyak yang bisa dilakukan dengan handphone.

Sekitar pukul 05.00 konter JAL buka. Kamipun mulai mengantre sementara beberapa rekan kami mulai bermunculan lagi.

Seperti dipesankan oleh petugas dari Kedubes AS, kami meminta bagasi kami untuk check in through langsung ke Washington DC. Dengan demikian bagasi langsung dikirim ke kota tujuan itu tanpa harus naik-turun pesawat bersama kami.

Saya hanya menenteng ransel kecil berisi dokumen, laptop kecil, botol air minum, alat tulis, dan baju ganti sekedar di perjalanan. Tidak terlalu berat, namun cukup membantu selama di perjalanan.

Seumur hidup, saya naik pesawat dalam durasi lama ketika bepergian ke Ambon dari Surabaya dengan durasi dua setengah jam. Namun kali ini, saya harus naik pesawat ke Jepang selama tujuh jam, transit dua jam di Narita, disambung penerbangan ke Chicago selama 11 jam, transit lagi dua jam di Chicago dan terbang lagi selama dua jam hingga tiba di Washington DC.

Tegang? Jelas sekali. Namun, terus-terusan tegang tidak akan berguna. Rileks, itu pesan istri yang sejak kecil memang terbiasa terbang kemana-mana. Untuk orang ‘darat’ seperti saya, sarannya tentu valid.

Nampaknya nasib baik memang menaungi. Di konter check ini saya bertanya apakah mungkin meminta posisi tempat duduk tertentu. Petugas ternyata mengupayakan. Check in dalam barisan paling awal memang memiliki banyak manfaat seperti ini.
Saya meminta posisi duduk di samping jendela. Pemandangan pesawat ketika membumbung tinggi menjadi incaran.

Petugas memenuhi permintaan saya. Bahkan saya juga dibantu mencetak tiket untuk penerbangan dengan American Airlines dari Narita ke Chicago, dan Chicago ke Washington DC nanti. Semuanya duduk di samping jendela!

Perjalanan menuju ke gate cukup lancar. Di bagian imigrasi petugas hanya bertanya tujuan ke Amerika. Namun, memasuki bagian pemeriksaan barang bawan dengan pemindai sinar-X ternyata cukup merepotkan. Apalagi jika memakai sabuk yang berbahan logam.
Setelah melewati imigrasi, kami tidak bisa segera ke gate karena masih ditutup. Padahal saat itu sudah pukul 05.50. Penumpang maskapai ANA di gate sebelah kami sudah mulai ramai. Sementara kami nampaknya kepagian.
Rombongan IVLP dari Jakarta kloter pagi. Dua orang anggota dari Surabaya sudah berangkat terlebih dahulu.


Ketika matahari mulai muncul di ufuk timur, petugas membuka pintu menuju gate. Berjalanlah kami menuju ke ruang tunggu gate. Dari kejauhan, armada gendut Boeing 787-800 milik JAL telah menunggu. 
Armada Boeing 787-800 milik Japan Airlines nampak bersiap menunggu para penumpang


Penerbangan dengan JAL ini meninggalkan kesan yang mendalam. Ketika masuk ke pesawat, para calong penumpang dibagi berdasarkan posisi duduk. Penumpang yang duduk paling belakang berhak masuk terlebih dahulu. Dengan demikian arah gerak penumpang tertib dan teratur. Penumpang tak perlu berdesakan sekedar untuk mencari tempat duduknya maupun menaruh barang bawaannya di kompartemen atas.

Posisi duduk saya di bagian sebelah kiri, tidak jauh dari sayap. Dari jendela saya bisa melihat bentangan sayap 787 yang jauh lebih panjang dari 737-800 yang beberapa kali saya naiki. Sembari saya duduk, mengencangkan sabuk pengaman dan menikmati kesibukan di luar jendela dimana pesawat datang dan pergi di landasan pacu, terdengar pengumuman dari ruang pilot.

“Selamat pagi, bapak dan ibu. Izinkan saya menyapa dari cockpit. Terima kasih sudah terbang Bersama Japan Airlines. Perjalanan ini akan memakan waktu sekitar tujuh jam. Karena kepadatan di bandara, kita masih menunggu antrean untuk terbang,” demikianlah Kapten Pilot yang nampaknya orang Jepang tersebut menyapa dalam Bahasa Indonesia. Meski agak terbata dan aksen Jepangnya yang susah mengucapkan huruf R masih kentara, namun rupanya kapten ingin menyapa warga Indonesia yang akan ke Jepang. 

Sungguh pelayanan yang baik.

Ketika pesawat push back dan taxing menuju ke landasan pacu, Nampak antrean pesawat di landasan pacu. Pagi hari, kesibukan di Soetta sungguh luar biasa. Pesawat harus bergantian untuk lepas landas maupun mendarat. Karena itu tidak heran di pertengahan 2019 ini dibangunlah landasan pacu ketiga di bandara tersibuk di Indonesia ini.


Sambil pesawat berbadan lebar itu mengantre, saya melihat armada AirAsia yang sudah di ujung landasan pacu. Melihat jam, nampaknya itu pesawat yang ditumpangi istri. Belakangan setelah pulang, ternyata benar. Istri yang duduk di jendela juga bisa melihat pesawat saya. Sederhana namun terasa unik dimana kami bisa saling berpandangan dari pesawat yang berbeda.

Proses lepas landas berlangsung mulus meski di berita beberapa hari belakangan tersiar kabar badai Mangkut yang menerjang Hong Kong. Semoga saja ini tidak mempengaruhi perjalanan kami.


Setelah pesawat mencapai ketinggian yang diinginkan pilot, pramugari mulai berkeliling membagikan tisu basah yang hangat. Tisu beraroma lemon itu nyaman untuk mengelap leher dan tangan. Aromanya membuat rileks.

Tidak berhenti di situ, hampir tiap jam Pramugari yang terus mengobral senyum itu berkeliling membagikan entah itu makanan ringan hingga air mineral. Hingga beberapa jam kemudian, tibalah jam makan siang. Pramugari menawarkan pilihan makan siang menu daging ayam atau sapi.

Sementara bapak di sebelah saya memilih daging sapi, saya memilih menu satunya. Dan tibalah nampan berisi paket lengkap itu. Ada ayam tumis sayur, saus, salad, mie warna hijau (entah apa namanya), pudding, yakult, kacang mede asin, dan air mineral. Paket yang sempurna dan sehat untuk perut tentunya.
Menu makan siang di penerbangan JAL dari Jakarta ke Tokyo


Konfigurasi tempat duduk di JAL adalah 2-4-2. Bentuk bangku yang besar membuat duduk terasa lebih lega. Gerakan tangan untuk makan tidak sampai menyenggol penumpang di sebelah.

Untuk hiburan, JAL menyediakan headset yang terbungkus plastik di kantong di bawah layar LCD touch screen. Setelah dicolokkan, nampaklah rentang hiburan yang cukup lengkap. Ada musik dari berbagai aliran dan musisi, film yang cukup up to date, dokumenter tentang pariwisata Jepang, film animasi, hingga buku dan manga! Ya, komik Jepang itu bisa dibaca melalui layar. Sayangnya, manga yang tersedia masih dalam Bahasa aslinya.
Dari layer pula kita bisa melihat jalur perjalanan pesawat menuju ke Jepang. Semula saya berpikir pesawat akan terbang melintasi singapura, melalui laut China Selatan dan mendarat di Jepang. Ternyata rutenya berbeda.

Pesawat lepas landas dari Jakarta, melintasi Kalimantan, Brunei Darussalam, kepulauan Sulu dan mendarat di Jepang. Layar juga menyajikan gambaran cuaca di luar, estimasi jarak dan waktu tempuh, hingga kecepatan dan ketinggian pesawat.

Sesekali pula saya melirik ke jendela pesawat. Ketinggian sekitar 40 ribu kaki itu tidak memberikan banyak pemandangan, sebenarnya. Namun sesekali dari balik awan yang tebal saya bisa melihat gugusan kepulauan, bentang pulau terbesar di Indonesia yakni Kalimantan, hingga jembatan Panjang di Brunei. Selebihnya, yang ada hanyalah pemandangan gumpalan awan tebal dan laut biru. Bila bosan, jendela bisa ‘Ditutup.’ Bukan arti yang sesungguhnya karena jendela pesawat 787 ini tidak memiliki penutup. Gantinya adalah tombol bulat di bawah jendela dimana kita bisa mengatur tingkat gelap dan terang jendela.
Beginilah pemandangan sepanjang perjalanan


Hingga tiba di atas Filipina, seluruh jendela nampak menggelap secara otomatis. Ini nampaknya bisa diatur dari cockpit atau ruang kru. Sebagian besar penumpang terlihat tidur pulas.

Jet Lag adalah hal yang terpikir selama penerbangan. Oleh beberapa rekan yang beberapa kali terbang jauh, saya disarankan sesekali bergerak dan banyak minum.
Karena itu, setelah ke toilet, saya ke pantry dan meregangkan tubuh di situ. Yang berpikiran serupa nampaknya tidak hanya saya. Dua orang juga melakukan peregangan di area yang cukup lebar itu sementara pramugari sibuk merapikan alat makan. Pramugari mengangguk sambal tersenyum ketika saya meminta air mineral. Bukannya menyodorkan gelas plastik, ia mengulurkan sebotol air mineral. Ya sudah, malah enak, tidak mudah tumpah.
Sepanjang perjalanan selama 7 jam tersebut, tak banyak yang bisa dilakukan. Untuk membunuh kejenuhan, menonton film jadi pilihan.

Tanpa terasa, ketika gumpalan awan dari jendela sudah berubah menjadi seperti kabut, pramugari mengumumkan persiapan untuk mendarat. Pesawat sedikit berguncang ketika melintasi awan bergolak itu. Apakah ada badai di bawah sana?

Sementara pesawat masih sedikit di atas awan, Pilot mengumumkan persiapan mendarat.
Sejak kecil, saya suka dengan budaya Jepang. Tak hanya soal Anime dan Manga, namun mengamati budaya Jepang dan masyarakatnya menjadi sesuatu yang menarik. Ada sesuatu yang eksotis dan menawan di balik bentang alam dan perkotaan jepang. Muncul keinginan untuk pergi ke Jepang suatu saat nanti.

Dan kini, daratan Jepang membentang di jendela.
Daratan Jepang yang mulai mengintip



Dari pemandangan awan yang bagaikan kapas bergulung-gulung, kini berganti daratan hijau dikelilingi hamparan birunya Samudra. Kepulauan Jepang bersiap menyambut kedatangan kami.

Semakin rendah pesawat terbang, semakin terlihat pula pemandangan negeri Sakura. 
Bandara Narita dari jendela pesawat

 


No comments:

Post a Comment

Mohon bantuan kliknya