Hanya satu catatan dari pengamatan saya

Hasil pengamatan seputar kehidupan sehari-hari, jalan-jalan, film, hingga soal sejarah, kereta api dalam dan luar negeri

Tuesday, 23 December 2014

Memoar 24: Pengubah Wajah Pendidikan Indonesia dari Kaligesing

Pak Jenthu Meminta Ibu Saya Menyekolahkan Semua Anaknya

Rm N Driyarkara SJ memang menjadi tokoh nasional dengan berbagai pemikiran yang mewarnai dunia filsafat dan pendidikan di Indonesia. Namun di balik semua itu, rektor pertama PTPG Sanata Dharma ini juga meninggalkan kesan untuk warga di daerah kelahirannya di desa Kedunggubah, kecamatan Kaligesing, Purworejo. 

Puluhan warga desa Kedunggubah kecamatan Kaligesing, Purworejo sejak Rabu (12/6) pagi sibuk berkumpul di balai desa dan juga di suatu perbukitan setempat. Mereka memersiapkan perayaan ulang tahun ke-100 Rm N Driyarkara SJ yang akan dilaksanakan pada Kamis (13/6).
 
Puluhan warga desa Kedunggubah kecamatan kaligesing, Purworejo memersiapkan lokasi peletakan batu pertama peringatan tempat lahir tokoh nasional Rm N Driyarkara SJ. Dok pri
Menurut Kepala Desa Kedunggubah, Budiyanto, acara akan dilaksanakan di dua titik. Yang pertama adalah lokasi kelahiran Driyarkara yang ada di satu perbukitan di wilayah desa Kedunggubah. Meski rumah kelahiran kini telah menjadi lahan kosong, namun pada peringatan 100 tahun Driyarkara akan didirikan semacam batu peringatan.

"Selanjutnya acara selamatan akan diadakan di balai desa, diikuti berbagai lapisan masyarakat dan pejabat di Purworejo," jelas Budiyanto ketika ditemui di balai desa Kedunggubah, Rabu (12/6).

Budiyanto menyatakan, masyarakat desa Kedunggubah antusias merayakan hari lahir tokoh rohaniwan Katholik tersebut. pasalnya, semangat yang dikobarkan oleh Rm N Driyarkara tidak hanya untuk umat Katholik tapi juga untuk bangsa Indonesia.

Monday, 22 December 2014

Memoar 23: Uniknya Barter Dawet Ketika Musim Panen

Inun Berkeliling Setahun Penuh

Tak punya sawah namun memanen gabah. Tak menggarap sawah namun menjual gabah. Itulah kiranya kata yang cocok untuk menggambarkan para pedagang dawet putih dari desa Kaliagung kecamatan Bagelen kabupaten Purworejo ini.

Sejak puluhan tahun yang lalu, warga desa tersebut telah menggeluti profesi pedagang dawet. Namun, mereka bukan pedagang biasa. Tidak seperti umumnya pedagang dawet yang mendapatkan hasil berupa uang, mereka mendapatkan gabah. 
 
Seorang pedagang dawet barter sedang menyiapkan dagangannya. Dok Pri
Cara berjualannya pun unik, mereka menjajakan dawet kepada para petani yang sedang memanen padinya. Pagi mereka mengantar dawet, siang hari mereka berkeliling memunguti gabah pembayaran. Pada musim panen seperti sekarang, itulah waktu ketika mereka mulai beraksi.

Sunday, 21 December 2014

Memoar 22: Harmonisasi Pedesaan dalam Gejuk Lesung

Elia Menikmati Hentakan Suara Lesung

Di tengah gempuran budaya modern, sekelompok warga di Kelurahan Pangenrejo kecamatan Purworejo Kabupaten Purworejo masih teguh memegang budaya peninggalan nenek moyang. Istimewanya mereka merupakan warga yang tinggal di wilayah perkotaan. namun demikian, mereka malah menggandrungi kesenian yang umumnya disukai petani pedesaan: Gejuk Lesung.

Gejuk Lesung merupakan kesenian yang berasal dari budaya kehidupan petani pedesaan Jawa tempo dulu. Waktu itu untuk menghasilkan beras dari buliran padi, petani menumbuk gabah menggunakan lesung yang ditumbuk dengan alu. Dalam prosesnya, untuk menumbuk padi dalam lesung dibutuhkan beberapa orang.
 
Grup Kesenian Gejuk Lesung "Mardi Swara" dari kelurahan Pangenrejo kecamatan/kabupaten Purworejo sedang tampil dalam pembukaan Gebyar Buku dan Budaya Purworejo 2013
"Karena itu, tumbuk padi ini juga menjadi momen kerukunan pengerat hubungan antar warga. Karena dilakukan bersama-sama, ketika akan menumbuk padi, lesung digejuk (dipukul) dengan irama tertentu untuk memanggil warga lainnya. Namun, irama tersebut ternyata memiliki keindahan tersendiri," jelas pemimpin kelompok seni Gejuk Lesung "Mardi Swara," di kelurahan Pangenrejo, Suwardiyo (51) belum lama ini.

Suwardiyo menuturkan, untuk menumbuk padi dalam lesung, dibutuhkan sekitar enam orang. Masing-masing memiliki alu yang berbeda bentuk dan bahannya. Namun, dari perbedaan inilah nada-nada yang berbeda dihasilkan. Dengan memukul secara bergantian, nada-nada yang rancak pun dihasilkan.

"Menumbuk padi lama-kelamaan menjadi semacam kebiasaan tersendiri untuk orang Jawa pada zaman dulu. Setelah lesung tergeser oleh mesin giling padi, kerinduan mendengarkan suara alu yang beradu dengan lesung masih saja ada. Karena itulah kami membentuk grup kesenian Gejuk Lesung ini," paparnya ketika ditemui di sela Pembukaan Gebyar Buku dan Budaya di Gedung Wanita, Purworejo.

Selain enam penumbuk, dalam kesenian ini diperlukan pula beberapa penyanyi atau penggerong. Dengan menyanyikan lagu-lagu Jawa lama dan lagu-lagu dolanan, mereka berhasil menampilkan perpaduan serasi antara irama tumbukan lesung dan alu dengan suara penyanyi. Tak ayal, mereka yang masa kecilnya pernah bersentuhan dengan budaya tumbuk padi dengan lesung ini pun terpesona dengan penampilan kelompok ini.
 
Grup Kesenian Gejuk Lesung "Mardi Swara" dari kelurahan Pangenrejo kecamatan/kabupaten Purworejo sedang tampil dalam pembukaan Gebyar Buku dan Budaya Purworejo 2013
Seorang pemain Gejuk Lesung, Elia Rizky Pramono (16) mengungkapkan, ada keasyikan tersendiri mendengarkan suara hentakan alu ke lesung. Meskipun ketika ia lahir peran lesung telah tergeser oleh mesin giling padi, namun ia mengaku bisa menikmati kesenian ini.

"Asyik aja, suaranya bikin semangat terus," jelas remaja ini.

Meskipun terlihat sederhana, lanjut Elia, ada kesulitan tersendiri dalam memainkan Gejuk Lesung. Hal tersebut utamanya dalam mengharmoniskan hentakan alu agar menghasilkan nada yang baik dan tidak saling menutup.

"Karena itu, latihan jadi hal yang pentig. Biasanya kalau ada panggilan pentas, latihan jadi intensif, bisa dua-tiga kali seminggu," jelasnya.

Suwardiyo menyambung, awalnya grup kesenian tersebut terbentuk secara tidak sengaja. Pada suatu acara Natalan di GKJ Purworejo Selatan, timbullah keinginan menampilkan kesenian tradisional. Kemudian tercetuslah ide menampilkan Gejuk Lesung.

"Ternyata kesenian mendapat sambutan yang baik dari jemaat gereja. Malah kemudian kesenian ini diminta tampil di berbagai tempat. Jadinya malah keterusan seperti ini," ujarnya sambil tersenyum.

 
Grup Kesenian Gejuk Lesung "Mardi Swara" dari kelurahan Pangenrejo kecamatan/kabupaten Purworejo sedang tampil dalam pembukaan Gebyar Buku dan Budaya Purworejo 2013

Saturday, 20 December 2014

Memoar 21: Obelisk di Purworejo

Kokohnya Monumen Pembangunan Jalan Purworejo-Magelang

Bangunan bersejarah dengan segala keunikannya memang banyak dijumpai di wilayah Kabupaten Purworejo. Satu dari sekian banyak bangunan itu adalah tugu peringatan pembangunan jalan penghubung Kabupaten Puworejo dengan Magelang. Monumen yang terletak di Desa Bener, Kecamatan Bener ini menyimpan banyak hal menarik yang tersimpan meski kondisinya kini kurang terawat.
 
Monumen pembangunan jalan Purworejo-Magelang yang berbentuk seperti obelisk. Dok Pri
Pada masanya bangunan tugu yang masih terlihat kokoh berdiri ini di pinggir Jalan Raya Purworejo-Magelang Km 14, Desa Bener, Kecamatan Bener ini dijadikan sebagai penanda mulai dibukanya proyek pembangunan jalan raya penghubung Purworejo dan Magelang. Proyek pembangunan jalan ini di diketahui dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda yang saat itu tengah menjajah Indonesia.

Friday, 19 December 2014

Memoar 20: Manis dan Gurihnya Kue Lompong

Kue Tradisional Perpaduan Budaya
Purworejo memiliki beberapa makanan khas yang selalu dicari penggemarnya. Satu di antaranya adalah Kue Lompong. Kekhasan rasanya menjadikan kue ini selalu dicari warga Purworejo perantau ketika kembali ke daerahnya. Peluang inilah yang ditangkap oleh Sulimah (45) warga Jln Brigjend Katamso 50A Pangen Juru Tengah Kelurahan/Kecamatan Purworejo.
Sulimah menunjukkan kue lompong buatannya. Dok Pri

Sekitar tiga tahun menekuni usaha pembuatan kue Lompong, Sulimah kini menjadi satu dari sekian pembuat Kue Lompong yang kebanjiran pesanan kala liburan tiba. Masa liburan sekolah memang menjadi masa-masa sibuk bagi Ema, demikian Sulimah dipanggil. Pesanan Kue Lompong membludak dari para warga Purworejo perantau yang sedang mudik. Rupanya rasa khas Kue Lompong menjadi primadona tersendiri.

"Ya memang andalannya kalau liburan, seperti liburan Natal dan Tahun Baru ini. Produksi saya bisa meningkat sampai dua kali lipat. Biasanya buat dua kilo sehari, bisa sampai empat atau lima kilo kalau liburan," jelas Ema ketika ditemui di rumahnya, Minggu (6/1/2013).

Menurut Ema, para pembeli umumnya kangen dengan rasa kue Lompong yang khas. Selain menikmati kekhasan Purworejo melalui makanan, tidak sedikit yang memborongnya sebagai oleh-oleh. Dengan harga Rp 1200-2000 per biji, manisnya kue yang berwarna hitam dengan isi kacang sudah bisa dinikmati. Tentunya bukan sekedar manis, sentuhan merang bakar dan rebusan gagang Lompong (talas) memperkaya cita rasanya.

Mohon bantuan kliknya