Hanya satu catatan dari pengamatan saya

Hasil pengamatan seputar kehidupan sehari-hari, jalan-jalan, film, hingga soal sejarah, kereta api dalam dan luar negeri

Thursday 5 September 2019

Transit di Narita dan Sebelas Jam Terbang ke Amerika (IVLP 3)


Jepang pada Pandangan Pertama


Sembari pesawat perlahan menurunkan ketinggian, bentang alam Jepang yang beragam namun didominasi alam asri yang menhijau pun menyambut. Mungkin karena Bandara Narita terletak cukup jauh dari Kota Tokyo, rumah penduduk terlihat tidak terlalu padat. Bahkan, terdapat ladang dan sawah yang menghijau, yang sesekali terlihat mengkilat karena adanya rumah kaca maupun ladang yang dilindungi pelindung plastic. Warna hijau muda berpadu dengan coklat dan keperakan hingga akhirnya barisan ekor pesawat menandakan pesawat telah hampir mendarat.



Pesawat berbadan lebar yang kami tumpangi mendarat mulus. Bahkan pilot tidak perlu mati-matian mengerem. Pesawat seakan dibiarkan menghabiskan sisa energi kinetiknya di landasan hingga akhirnya berbelok dan menuju ke terminal 2 dimana banyak pesawat milik JAL terlihat terparkir. Sambil pesawat berjalan menuju ke gate yang ditentukan, saya yang duduk di barisan jendela kiri bisa melihat tiga atau empat pesawat putih dengan ekor berwarna merah-biru dengan bintang putih. Logo elang merah-biru dengan tulisan “American Airlines” terlihat membentang di bagian samping. Itulah armada lanjutan kami. Satu dari beberapa pesawat itulah yang akan membawa kami ke tanah Amerika.
Pemandangan bandara Narita dimana pesawat American Airlines terlihat dari jendela JAl yang sedang taxing


Beberapa bulan sebelum berangkat, saya mempersiapkan fisik secara khusus dengan olahraga lari. Beberapa rekan mengingatkan bahwa ada kemungkinan saya harus transit dan berpacu dengan waktu untuk berpindah pesawat, bahkan terminal di bandara. Tak jarang waktu yang disediakan begitu mepet karena berbagai alasan misalnya keterlambatan ketibaan, hingga alasan lainnya. Karena itu, saya pun mempersiapkan diri dengan sepatu yang ringan yang enak untuk berlari, kesiapan fisik, dan barang bawaan yang sedikit.
Ternyata, saya tidak perlu takut berlomba dengan jadwal pesawat karena terminal transit di Narita ini sama. Saya dan rombongan tiba di terminal 2 dan akan berangkat dari sini juga, tentu dari gate yang berbeda.

Belakangan, kesiapan fisik ini tetap berguna, terutama ketika berhadapan dengan yang namanya penerbangan panjang dan jet lag.

Jam menunjukkan pukul 14.30 ketika kami tiba di Narita. Pesawat lanjutan ke Amerika dijadwalkan pada pukul 16.25. Jadi kami memiliki waktu kira-kira dua jam untuk beristirahat.
Tiba di terminal, kami menghadapi pemeriksaan oleh petugas keamanan bandara dan imigrasi Jepang. Sebelumnya, kami menghadap ke konter JAL untuk melaporkan transit. Karena tiket sudah dicetak sejak dari Jakarta, tak banyak urusan yang harus diselesaikan.
Soal imigrasi dan keamanan. Seram? Jelas tidak. Meski tegas, petugas Nampak cukup ramah memeriksa barang bawaan. Saya yang membawa laptop hanya diminta mengeluarkannya dan membuka tanpa menyalakannya. Namun, keribetan terjadi lagi-lagi karena sabuk di pinggang yang tak ramah alat pendeteksi metal alias metal detector.
Tak perlu lama melewati pemeriksaan petugas keamanan dan imigrasi (yang hanya memeriksa tiket dan paspor).

Kami berjalan melewat Lorong yang Panjang menuju ke gate keberangkatan. Tak lupa saya juga menyempatkan diri memakai toilet di bandara. Konon, toilet di Jepang super canggih dengan berbagai tombol untuk melayani keperluan buang air. Namun, daripada membikin masalah, saya memakai toilet seperlunya saja dan bergegas keluar. Sayang sekali saya lupa memotret toilet dengan puluhan tombol itu.

Berjalan di Lorong menuju gate memberikan godaan tersendiri. Selepas pemeriksaan, berderetlah took dengan etalase yang menggoda. Berbagai produk dijajakan mulai dari fashion, makanan, hingga souvenir.

Sebelum berangkat istri telah ‘menyodorkan daftar belanja’ yang harus dibeli di Jepang. Namun tentunya, pada waktu pulang. Membeli banyak barang dalam perjalanan keberangkatan hanya akan menambah repot karena banyaknya bawaan.

Cara toko di bandara ini menata etalasenya cukup menarik sehingga godaan juga lumayan. Namun, kami tak banyak membuang waktu untuk melihat-lihat dan menuju ke gate yang ditentukan. Setelah memastikan ke petugas American Airlines yang berjaga di konter, kami beristirahat di ruang tunggu.

Waktu menunggu dimanfaatkan oleh beberapa rekan untuk menghubungi keluarga. WiFi gratis memang menjadi fasilitas yang cukup bisa diandalkan. Cukup mencari jaringan terkuat, maka layanan internet yang cepat bisa dipakai. Hanya saja, pukul 15.00 di Jepang sama dengan pukul 17.00 di Surabaya dimana istri sedang beristirahat sore.
Matahari bersinar cukup terang dengan cuaca yang sedikit berawan. 
Pesawat JAL yang baru saja kami naiki terlihat dari gate tempat kami beristirahat di Bandara Narita


Untuk menghadapi perjalanan jauh dan antisipasi jet lag, saya disarankan banyak minum. Bila di pesawat saya bisa ke pantry dan meminta kepada pramugari, tidak semudah itu di bandara. Membeli jadi pilihan yang tak terhindarkan karena membawa botol berisi air juga tak mungkin.


Jepang terkenal sebagai negara dengan jutaan mesin layanan otomatis alias vending machine. Di dekat ruang tunggu ada mesin yang menjual beragam minuman mulai dari isotonic, jus jeruk, hingga air mineral. Di sinilah bekal uang yen yang diberikan istri sangat berguna.

Memasukkan selembar uang 10 ribu yen, saya memilih sebotol air mineral dan sebotol isotonic yang mereknya sudah dikenal di Indonesia. Air mineral dijual 600-yen sementara isotonic 800 yen. Bila dirupiahkan tentu lumayan bikin tenggorokan seret. Karena itulah, daripada bingung, mendingan langsung diminum saja deh!

Setelah itu, uang kembalian bergemerincing turun ke kotak penampungan. Mesin itu memang bisa menerima berbagai jenis uang dan memberikan uang kembalian sesuai nominalnya. Kantong saku lumayan bertambah dengan berbagai jenis koin yen yang desainnya unik.
Berfoto dulu sebelum melanjutkan perjalanan


Ketika hari semakin sore, matahari memancarkan sinarnya yang menguning, terdengar panggilan untuk boarding. Berbeda dari JAL yang menerapkan boarding berdasarkan posisi duduk, di American Airlines lebih kepada tiket rombongan. Jadi, meski ternyata saya duduk di seat yang lumayan belakang, saya masuk di rombongan tengah. Risikonya adalah perjuangan menuju tempat duduk dimana saya sesekali harus meminta jalan ke penumpang yang sedang menata barang bawaan.

Akhirnya, setelah beberapa menit perjuangan meniti Lorong pesawat berkonfigurasi 3-3-3 tempat duduk itu, saya tiba di seat belakang. Persisnya, nomor dua dari belakang di sebelah kanan pesawat, tidak jauh dari pantry.

Seat di bagian belakang ini memiliki posisi yang unik. Karena terletak di ekor pesawat (Konon, peluang selamatnya paling besar ketika terjadi kecelakaan), seatnya memang terletak di samping jendela. Namun ada jarak sekitar setengah kursi untuk mengakomodasi bentuk dinding yang menyempit ke belakang. Jadi, dibilang dapat jendela ya iya, namun lumayan jauh darinya. Sementara kursi depan saya ada 3, kursi deretan saya dan belakang hanya ada 2. Jadi konfigurasinya 2-3-2. Tantangan lain duduk di posisi ini akan datang beberapa jam kemudian.
Pemandangan dari jendela kedua dari belakang armada Boeing 787-900 American Airlines sebelum take off


Hari mulai gelap ketika pesawat bergerak menuju landasan pacu. Dari jendela, terlihat petugas ground handling Narita melambaikan tangan dan tersenyum kepada para penumpang. Pemandangan unik yang belum pernah saya jumpai selama naik pesawat di Indonesia. Mereka seakan berterima kasih karena penumpang telah mengunjungi Jepang dan berdoa agar perjalanan lancar sampai tujuan.

Sambil pesawat taxing, terdengar pengumuman dalam Bahasa Inggris disusul Bahasa Jepang. Sungguh perpaduan yang aneh antara Bahasa Inggris yang tegas dan aksen Bahasa Jepang yang lembut nan menggemaskan layaknya suara para tokoh anime perempuan.

Lampu-lampu di bandara dan Kawasan di sekitarnya mulai menyala di tengah remang senja ketika pesawat Boeing 787-900 milik American Airlines melaju dan mengangkasa meninggalkan tanah Negeri Sakura. Dari jendela terlihat daratan Jepang yang bagaikan bentangan hitam yang ditaburi ribuan kristal. Sayangnya, keindahan ini berganti dengan awan tebal yang menyongsong di depan.

Setelah pesawat mencapai ketinggian yang diinginkan, para awak kabin pun mulai melakukan tugasnya. Keragaman masyarakat Amerika mulai saya rasakan melihat para awak kabin. Ada orang kaukasia (kulit putih), kulit hitam, hingga warga keturunan Tiongkok. Coba kalau ada orang Batak, Jawa, atau Sunda; kayaknya bakalan lebih ramai.

Prosedur kerja para awak kabin cukup mirip dengan JAL. Bedanya, di sini kain basah hangat yang dibagikan lebih beraroma manis dibanding JAL yang memakai aroma citrus. Pramugari yang kebanyakan berusia 30 atau 40an tersebut bergerak cepat membagikan lap tersebut. Tidak lama kemudian, ada pramugari yang berkeliling menawarkan earphone untuk penumpang yang ingin mendengarkan music atau menonton tayangan dari AVOD (Audio Video On Demand) di layar depan bangku mereka. Tidak banyak penumpang yang meminta earphone karena nampaknya masing-masing sudah membawa sendiri. 

Penumpang yang menginginkan earphone bisa mengangkat tangan, maka pramugari akan dating dan memberikan earphone yang masih tersegel dalam bungkus plastic.

Pemandangan di jendela semakin gelap. Jam menunjukkan waktu sekitar pukul 19.00 waktu Jepang ketika para awak kabin mulai membagikan makan malam. Rekan serombongan yang merupakan Muslim telah memberikan special request sebelum berangkat yakni hidangan halal. Karena itu, pramugari memperhatikan nomor tempat duduk dan nama penumpang yang memesan menu khusus itu. Mereka mendapatkan menu ayam dan mashed potatoe. Sementara yang tidak memesan menu halal diberikan pork alias B2 dengan mashed potatoe alias kentang tumbuk.

Suasana kabin yang tidak terlalu terang membuat saya enggan memotret makanan itu. Namun gambaran makan malamnya seperti ini: kotak alumunium foil berisi irisan daging babi yang tebal, kentang tumbuk, brokoli, wortel, dibekali dengan selada dan dressing serta lada dan garam. Ada tambahan kalau tidak salah pudding untuk dessert. Untuk minumnya, penumpang mendapatkan sebotol air mineral. Oh iya, sebelum menu makan malam dihidangkan, sejam sebelumnya penumpang mendapatkan minuman yang bisa dipilih antara air mineral, jus buah, teh, soda, dan kopi.

Berbeda dengan pramugari JAL yang rajin menebar senyuman, pramugari American Airlines lebih banyak diam dan fokus bertugas. Mereka dengan cepat mengumpulkan baki makanan yang telah selesai dipakai lalu berberes di pantry.

Perut belum terasa kenyang setelah menyantap makanan itu. Maklum, perut orang Indonesia kalau belum kena nasi kayaknya belum puas. Namun, apa boleh buat. Tak mungkin mencari nasi dalam kondisi seperti ini.

Beres makan malam,saya mengeksplor layanan hiburan di depan saya. Ukuran layarnya sama dengan JAL namun bedanya AVOD milik AA ini memiliki remote yang bisa menjadi joystick. Sebab, mereka menyediakan layanan game di AVODnya. Namun kondisi badan yang lelah membuat saya kurang tertarik bermain game dan memutuskan untuk nonton film saja.

Budaya Amerika tersaji jelas dalam tayangan di AVOD. Berbagai film dan serial disediakan. Namun yang membuat saya senang adalah, AVOD ini memiliki koleksi film animasi Disney yang lengkap! Maraton Monster Inc dan Toys Story pun dimulai!

Namun baru mulai Toys Story 2, badan mulai terasa pegal. Apalagi dengan suasana remang-remang ini. Mata pun semakin terasa berat.

Terbiasa tidur dalam keadaan gelap membuat saya harus beradaptasi. Untungnya istri membekali saya dengan penutup mata dan bantal leher. Selimut yang disediakan di kantong depan saya pun saya buka. Posisi saya agak leluasa karena seat di samping saya kosong. Sepatu saya lepas namun kaos kaki tetap dipakai untuk melindungi kaki dari udara dingin. Jaket hoodie pun sangat berguna karena setelah memakai penutup mata dan bantal leher, langkah selanjutnya adalah menutup kepala agar terasa gelap total.

Dalam posisi ini saya berhasil tidur selama beberapa menit. Ya, beberapa menit saja karena kemudian pesawat mengalami guncangan yang lumayan membuat jantung senam. Dari cockpit, pilot yang ternyata seorang perempuan mengumumkan adanya awan badai yang menanti di depan. Untuk itu ia meminta penumpang bersiap, karena ia akan mengambil rute agak memutar untuk menghindarinya.

Iseng saya nyalakan AVOD dan memilih menu rute penerbangan. Nampak dari GPS, posisi pesawat sedang berada di dekat Rusia, hampir menjelang Alaska. Di luar jendela memang terlihat sangat gelap karena pesawat mengangkasa dalam ketinggian lebih dari 40 ribu kaki.
Sambil terus berdoa, saya berusaha tidur. Ketika memejamkan mata, saya bisa mendengar beberapa pramugari duduk di kursi di barisan sebelah saya berbincang santai. Nampak, kondisi guncangan ini terasa biasa saja untuk mereka.

Entah berapa lama saya memejamkan mata, ketika saya menoleh, jendela sudah berwarna biru gelap, seperti ada cahaya yang berusaha masuk. Ternyata, jendela memang digelapkan secara terpusat. Jemari meraih tombol untuk mengurangi tingkat kegelapan dan nampaklah pesawat terbang di atas awan, yang terang benderang bermandikan matahari. Yang benar saja? Bukankah barusan petang jelang malam?

Menu GPS memberitahu bahwa pesawat sudah melewati Alaska dan berada di atas Kanada, menuju ke Chicago. Sekitar dua jam lagi pesawat akan mendarat di O’Hare International Airport di kota berangin tersebut.

Layar menunjukkan, waktu di Chicago adalah pukul 13.20 di hari Sabtu. Alamaak… berarti saya mengalami dua kali hari Sabtu sore. Rupanya pesawat yang baru saja melewati garis batas hari di antara Alaska dan Rusia membuat waktu seakan berjalan mundur.

Pramugari kembali membagikan makanan, kali ini, sebut saja makan siang. Namun saya sudah tidak berselera karena efek guncangan selama beberapa jam. Perut rasanya seperti diaduk. Makanan berupa sejenis mie goreng dengan potongan daging ayam dan sayur itu saya paksa masuk. Tiba di tujuan, saya tidak ingin sakit.

Beberapa saat setelah baki makan diambil, pilot mengumumkan persiapan mendarat. Perasaan Lelah dengan perut teraduk sedikit reda dengan perasaan antusias. Seperti apakah tanah Amerika itu?

Namun rasa antusias itu segera mendapat tantangan…dari Kota Berangin Chicago.
Tentu ada alasan kuat mengapa orang menjuluki demikian.

Saat pesawat sudah final approach, hembusan angin kuat menerpa dari sebelah kanan badan pesawat, membuat pesawat bergerak miring ke kiri. Beberapa saat sebelum roda menyentuh landasan, angin datang kembali dan seakan mengangkat pesawat. Namun pilot rupanya sudah berpengalaman dengan situasi semacam ini.

Sambil menikmati pemandangan bangunan beton yang mengelilingi bandara, saya merasakan pilot berupaya menstabilkan pesawat hingga akhirnya mulus mendarat di ORD, kode bandara untuk O’Hare International Airport. Selamat datang di Amerika!
Sudah touchdown, namun penumpang Nampak santai duduk di seatnya masing-masing. 

Tidak Nampak kesibukan penumpang berebut menurunkan bagasi layaknya di penerbangan domestic Indonesia. Terdengar music pop rock mengiringi pergerakan pesawat.

Dari kabin depan, pramugari mengumumkan bahwa pesawat masih menunggu antrean untuk mendapatkan gate.

Maklum saja, ORD merupakan salah satu bandara tersibuk di dunia. Namun dari lebih 100 gate, ternyata masih harus mengantre!

Kebijakan yang cukup baik sebenarnya. Daripada meminta pesawat berputar-putar di udara, otoritas penerbangan setempat meminta pesawat mendarat dan menunggu di bawah.

Kesan Pertama Bandara di Amerika

Setelah sekitar 30 menit, akhirnya pesawat bergerak menuju gate yang ditentukan. Dari jendela, saya bisa melihat berbagai jenis dan warna pesawat. Tak melulu putih dengan stripping tertentu, ada pula pesawat dicat polos biru, kuning, bahkan merah dengan tulisan branding. Antrean terlihat padat pada pukul 15.20 sore itu.

Setelah pesawat berhenti di gate, dan pramugari telah mengizinkan, barulah para penumpang sibuk mengemas barang bawaannya. Wajah-wajah mengantuk dan Lelah menghiasi, tentu karena penerbangan selama lebih dari 10 jam disertai beberapa jam turbulensi itu.

Rupanya saya dan seorang anggota rombongan termasuk yang turun terakhir. Maklum saja, kami memang duduk paling belakang. Wajah-wajah letih itu menunggu di belokan garbarata, memastikan anggota rombongan lengkap sebelum masuk ke terminal.
Namun, baru naik satu Lorong, seorang perempuan membawa kertas bertuliskan nama-nama anggota rombongan terlihat mencermati kami.

Oleh pihak Kedubes dalam briefing disebutkan kami akan dibantu oleh Traveler Aid International (TAI) ketika tiba di Chicago. Mereka bertugas membantu kami melewati imigrasi dan mengurus transit.

Meski terdengar sepele, namun fungsi TAI ini sungguh vital. ORD merupakan bandara yang luar biasa besar dengan banyak terminal yang berjauhan. Dalam kondisi Lelah, kurang tidur, disorientasi bisa berujung bencana. Minimal tersesat, atau yang cukup riskan adalah urusan panjang dengan imigrasi karena kurang focus menjawab atau salah ngomong.
Dibantu oleh petugas tersebut, kami berjalan cepat menuju ke imigrasi. Ratusan orang dari berbagai penerbangan dan negara telah mengantre. Sempat keder juga, apakah perlu berjam-jam untuk mengantre?

Namun petugas yang mendampingi kami meminta kami tenang dan mengisi form kepabeanan untuk barang bawaan. Setelah itu ia membimbing kami melalui imigrasi. Kehadiran petugas ini menjadi semacam penenang untuk kami dalam kondisi fisik yang kelelahan.

Petugas imigrasi yang memeriksa paspor saya terlihat mengamati layar dan membandingkannya dengan layar komputernya. Ia hanya menanyakan apakah saya bernama sesuai di paspor. Sejurus kemudian ia menghantamkan stempelnya di lembar paspor dan mengembalikannya. Saya bergerak melewati garis batas imigrasi dan menunggu rekan yang lain. Dari delapan anggota rombongan, hanya saya dan mas Damar yang demikian cepat melewati urusan ini. Lainnya, harus menghabiskan waktu sedikit lama. 
Mereka menjawab pertanyaan seputar tujuan kunjungan, akan kemana saja, dan kapan kembali. Pertanyaan standar sesungguhnya. Namun sempat membuat jantung berdebar.
Setelah orang kedelapan melewati imigrasi dengan lancar, barulah hati tenang. Kami kemudian melanjutkan ke bagian pengambilan bagasi.

Pengambilan bagasi di Amerika ini sedikit berbeda dengan di Indonesia. Bila di Indonesia, setelah mengambil koper, maka akan ada petugas yang memeriksa apakah kita sudah mengambil sesuai dengan lembar yang kita bawa, maka di sini tidak ada petugas seperti itu. Sistem nampaknya percaya dengan kejujuran penumpang mengambil bagasi. Atau, memang ada system canggih yang saya tidak tahu.

Beres mengambil bagasi, kami bergeser ke konter American Airlines untuk mendaftarkan koper kami ke penerbangan lanjutan ke Washington DC. Petugas ramah menyambut dan dengan cepat melabeli koper kami sementara petugas dari TAI menunggu di luar. Nampak ia gelisah ketika kami sedikit lamban.

“Kita harus cepat. Sekedar berjaga-jaga kalau ada perubahan jadwal penerbangan,” katanya sambil membimbing kami menuju ke stasiun kereta bandara.

Stasiun kereta bandara ini mirip dengan sky train di Bandara Soetta. Kami harus naik ke lantai 2 dan menunggu di depan gate kaca. Tidak ada biaya alias gratis untuk fasilitas ini.

Tidak lama kemudian datanglah kereta yang dimaksud. Desainnya sederhana, dengan kaca lebar dan dua lampu kecil di bawah kaca depan. Satu kereta terdiri dari dua gerbong saja. Bagian dalam relative sama dengan sky train, hanya saja, kereta ini tidak memiliki masinis dan berjalan di rel baja, bukan jalur beton. Penumpang cukup mendengarkan instruksi dan pengumuman dari pengeras suara yang nampaknya terprogram otomatis. Setelah penumpang penuh, kereta bergerak. Kali ini kecepatannya jauh berbeda dari sky train di Soetta. Perpindahan ke terminal domestik hanya memerlukan waktu kurang dari 5 menit.
Tiba di terminal domestik, terlihat antrean Panjang baik di konter maskapai maupun gerbang keamanan bandara.
Pemandangan kabin depan kereta bandara yang dipakai untuk berpindah terminal


Lagi-lagi, petugas dari TAI berperan penting di sini. Ia memandu kami untuk melepaskan sepatu, ikat pinggang dan segala logam dari pakaian untuk diletakkan di baki khusus sebelum melewati mesin pemindai badan dan bawaan. Prosedur rumit seperti ini nantinya akan kami alami di bandara Philadelphia, Chicago, dan San Francisco. Standar keamanan tingkat tinggi untuk aspek penerbangan.

Di sinilah masalah sempat membuat saya deg-degan bukan main. Tidak ada masalah dengan pemindai badan dan barang bawaan di baki. Namun masalah ada di tas ransel.
Satu botol air mineral dari JAL yang saya simpan di tas ransel menjadi perhatian petugas. Air dalam botol berkali membuat alat pemindai berbunyi sehingga tas saya ditahan. Akhirnya, petugas itu mengambil botol air mineral dari tas, baru mengizinkan saya lewat. Fiuuuh…

Rupanya, membawa air minum merupakan hal terlarang. Untuk bepergian, kita cukup membawa botol kosong yang bisa diisi dengan air keran yang ada di berbagai titik di bandara. Daripada membuat petugas kesal dan menjadi pusat perhatian, sebaiknya menjadi pelajaran.

Petugas kemudian memandu kami menuju ke gate 82. Dia meminta kami memasang telinga dan selalu mencermati layar pengumuman keberangkatan pesawat.
“Kalau penerbangan mendadak diubah jadwal atau gate, bisa repot. Tolong cermati baik-baik. Nanti saya akan bantu menginfokan kalau ada perubahan,” katanya.
Setelah membantu foto-foto, petugas itu kembali ke kantornya sementara kami menunggu di depan gate 82. Jadwal penerbangan sekitar pukul 19.00 sementara ketika kami tiba di ruang tunggu gate masih sekitar pukul 17.00.

Penumpang dari berbagai destinasi datang silih berganti. Setiap ada pesawat datang, Lorong terminal yang dihiasi bendera dari berbagai negara (Sayangnya, setelah saya cari, tidak ada bendera Indonesia) segera dipenuhi ratusan penumpang yang berjalan cepat-cepat. Ada yang sambil menyeret kopernya, ada yang sambil menelpon. Berbagai tingkah penumpang menarik diamati.

Rasa kesal karena air mineral yang disita membuat saya buru-buru membeli air minum di satu toko makanan. Cukup mahal memang, 1 liter harus ditebus dengan US$8.00. Apalagi beberapa rekan mengisi botol minumnya dari air keran. Namun saya tak menyesal amat karena setelah mencicipi air keran, saya terus terang nggak tahan dengan aroma kaporitnya.

Sambil duduk menunggu, bekal yang dibawa sangatlah berguna. Pak Sofyan ternyata membawa roti. Ah, bekal berharga untuk perut yang masih terasa aneh. Bagaimana tidak, kami berangkat dari Jepang pada Sabtu pukul 17.30 sore dan tiba di Chicago di hari yang sama namun pukul 16.00! Jadi, waktu seakan mundur untuk kami.
Terlihat terik, namun sebenarnya di luar lumayan dingin lho


Cuaca terlihat cerah di luar dengan matahari yang bersinar Nampak terik. Kenapa saya bilang Nampak? Karena di layar penunjuk suhu, di luar sebenarnya tak panas-panas amat, di kisaran 18 derajad Celcius. Jadi, jangan tertipu dengan silaunya matahari!

WiFi gratis kembali menjadi andalan untuk mengontak keluarga di rumah. Bedanya dengan di Jepang, di sini kami harus memilih memasukkan alamat email atau menonton iklan sepanjang 30 detik untuk menikmati layanan internet gratis. Tidak ada makan siang gratis!
Ada yang video call, ada yang sekedar berkirim teks WhatsApp. Namun setelah saya sambungkan ke WiFi, pesan dari istri barulah masuk, bersamaan dengan notifikasi terkirimnya foto-foto saya di Jepang tadi. Sempat saya bingung kenapa istri tak juga membalas WA saya ini. Namun setelah mengamati jam di HP (Yang masih ikut jam Indonesia), oh lala, jam 4 sore di Chicago sama dengan jam 4 subuh di Indonesia! Di sini Sabtu sore, di Surabaya sudah Minggu pagi!
Berfoto dulu di O'Hare International Airport di Chicago, sebelum melanjutkan perjalanan ke Washington DC

Pengumuman dibukanya gate untuk penerbangan ke Washington DC membuat kami tersentak dari kesibukan masing-masing. Segera kami mengemasi barang dan mengantre di depan gate. Tidak lama kemudian petugas mempersilakan kami masuk ke pesawat.
Suasana Lorong kabin armada Boeing 737-800NG milik American Airlines ini nyaris tak ada bedanya dengan milik Garuda Indonesia. Mungkin hanya ornament di kursi dan meja, serta kartu dan majalah di kantong depan mengingatkan kalau ini maskapai di Amerika.

Kembali saya beruntung bisa duduk di seat istimewa yakni di samping pintu darurat. Hal ini memberikan kaki saya keleluasaan lebih untuk bergerak. Pramugari (Yang kali ini jauh lebih ramah dibanding yang di 787) bertanya apakah saya paham konsekuensi duduk di samping pintu darurat. Pengalaman beberapa kali duduk di seat ini membuat saya mengiyakan.
Tak perlu menunggu lama, pesawat pushback, meninggalkan terminal ORD yang masih saja sibuk menjelang senja itu. Langit terasa biru dengan gradasi di tepian horizonnya. Pesawat bergerak mundur meninggalkan bangunan kaca persegi.

Meski padat, namun pesawat kami tak perlu lama mengantre untuk tinggal landas. Ketika langit mulai gelap, pesawat sudah mengangkasa.

Tak banyak yang bisa dinikmati dari pemandangan malam. Dari jendela hanya terlihat kerlip lampu berbagai bangunan dan jalanan di bawah sana. Pun, pemandangan sirna ketika pesawat menambah ketinggian dan menembus awan gelap. Cuaca rupanya sedang tidak bersahabat di antara Chicago-Washington DC. Sesekali pesawat berbelok dan agak memiringkan badannya.

Kabin diremangkan setelah pramugari menyajikan minuman dan snack untuk perjalanan selama sekitar dua jam itu. Minuman bersoda menjadi pilihan untuk berhadapan dengan tubuh yang sepertinya kebingungan dengan kondisi luar dan menunjukkan gejala masuk angin.

Keremangan kabin ini rupanya mengundang kantuk yang sedari beberapa jam lalu tidak juga datang. Baru saya akan menggembungkan bantal leher ketika pilot memberi pengumuman untuk pendaratan di Ronald Reagan National Airport.
 
Cuaca buruk rupanya dapat diatasi oleh kemampuan pilot dengan mendarat secara mulus. Selamat datang di Ibukota Negara Amerika Serikat!

No comments:

Post a Comment

Mohon bantuan kliknya