Jepang
pada Pandangan Pertama
Sembari
pesawat perlahan menurunkan ketinggian, bentang alam Jepang yang beragam namun
didominasi alam asri yang menhijau pun menyambut. Mungkin karena Bandara Narita
terletak cukup jauh dari Kota Tokyo, rumah penduduk terlihat tidak terlalu
padat. Bahkan, terdapat ladang dan sawah yang menghijau, yang sesekali terlihat
mengkilat karena adanya rumah kaca maupun ladang yang dilindungi pelindung
plastic. Warna hijau muda berpadu dengan coklat dan keperakan hingga akhirnya
barisan ekor pesawat menandakan pesawat telah hampir mendarat.
Pesawat
berbadan lebar yang kami tumpangi mendarat mulus. Bahkan pilot tidak perlu
mati-matian mengerem. Pesawat seakan dibiarkan menghabiskan sisa energi
kinetiknya di landasan hingga akhirnya berbelok dan menuju ke terminal 2 dimana
banyak pesawat milik JAL terlihat terparkir. Sambil pesawat berjalan menuju ke
gate yang ditentukan, saya yang duduk di barisan jendela kiri bisa melihat tiga
atau empat pesawat putih dengan ekor berwarna merah-biru dengan bintang putih.
Logo elang merah-biru dengan tulisan “American Airlines” terlihat membentang di
bagian samping. Itulah armada lanjutan kami. Satu dari beberapa pesawat itulah
yang akan membawa kami ke tanah Amerika.
Pemandangan bandara Narita dimana pesawat American Airlines terlihat dari jendela JAl yang sedang taxing |
Beberapa
bulan sebelum berangkat, saya mempersiapkan fisik secara khusus dengan olahraga
lari. Beberapa rekan mengingatkan bahwa ada kemungkinan saya harus transit dan
berpacu dengan waktu untuk berpindah pesawat, bahkan terminal di bandara. Tak
jarang waktu yang disediakan begitu mepet karena berbagai alasan misalnya
keterlambatan ketibaan, hingga alasan lainnya. Karena itu, saya pun
mempersiapkan diri dengan sepatu yang ringan yang enak untuk berlari, kesiapan
fisik, dan barang bawaan yang sedikit.
Ternyata,
saya tidak perlu takut berlomba dengan jadwal pesawat karena terminal transit
di Narita ini sama. Saya dan rombongan tiba di terminal 2 dan akan berangkat
dari sini juga, tentu dari gate yang berbeda.
Belakangan,
kesiapan fisik ini tetap berguna, terutama ketika berhadapan dengan yang namanya penerbangan panjang dan jet lag.
Jam
menunjukkan pukul 14.30 ketika kami tiba di Narita. Pesawat lanjutan ke Amerika
dijadwalkan pada pukul 16.25. Jadi kami memiliki waktu kira-kira dua jam untuk
beristirahat.
Tiba di
terminal, kami menghadapi pemeriksaan oleh petugas keamanan bandara dan
imigrasi Jepang. Sebelumnya, kami menghadap ke konter JAL untuk melaporkan
transit. Karena tiket sudah dicetak sejak dari Jakarta, tak banyak urusan yang
harus diselesaikan.
Soal
imigrasi dan keamanan. Seram? Jelas tidak. Meski tegas, petugas Nampak cukup
ramah memeriksa barang bawaan. Saya yang membawa laptop hanya diminta
mengeluarkannya dan membuka tanpa menyalakannya. Namun, keribetan terjadi
lagi-lagi karena sabuk di pinggang yang tak ramah alat pendeteksi metal alias
metal detector.
Tak perlu
lama melewati pemeriksaan petugas keamanan dan imigrasi (yang hanya memeriksa
tiket dan paspor).
Kami
berjalan melewat Lorong yang Panjang menuju ke gate keberangkatan. Tak lupa
saya juga menyempatkan diri memakai toilet di bandara. Konon, toilet di Jepang
super canggih dengan berbagai tombol untuk melayani keperluan buang air. Namun,
daripada membikin masalah, saya memakai toilet seperlunya saja dan bergegas
keluar. Sayang sekali saya lupa memotret toilet dengan puluhan tombol itu.
Berjalan di
Lorong menuju gate memberikan godaan tersendiri. Selepas pemeriksaan,
berderetlah took dengan etalase yang menggoda. Berbagai produk dijajakan mulai
dari fashion, makanan, hingga souvenir.
Sebelum
berangkat istri telah ‘menyodorkan daftar belanja’ yang harus dibeli di Jepang.
Namun tentunya, pada waktu pulang. Membeli banyak barang dalam perjalanan
keberangkatan hanya akan menambah repot karena banyaknya bawaan.
Cara toko
di bandara ini menata etalasenya cukup menarik sehingga godaan juga lumayan.
Namun, kami tak banyak membuang waktu untuk melihat-lihat dan menuju ke gate
yang ditentukan. Setelah memastikan ke petugas American Airlines yang berjaga
di konter, kami beristirahat di ruang tunggu.
Waktu
menunggu dimanfaatkan oleh beberapa rekan untuk menghubungi keluarga. WiFi
gratis memang menjadi fasilitas yang cukup bisa diandalkan. Cukup mencari
jaringan terkuat, maka layanan internet yang cepat bisa dipakai. Hanya saja,
pukul 15.00 di Jepang sama dengan pukul 17.00 di Surabaya dimana istri sedang
beristirahat sore.
Matahari
bersinar cukup terang dengan cuaca yang sedikit berawan.
Pesawat JAL yang baru saja kami naiki terlihat dari gate tempat kami beristirahat di Bandara Narita |
Untuk
menghadapi perjalanan jauh dan antisipasi jet lag, saya disarankan banyak
minum. Bila di pesawat saya bisa ke pantry dan meminta kepada pramugari, tidak
semudah itu di bandara. Membeli jadi pilihan yang tak terhindarkan karena
membawa botol berisi air juga tak mungkin.
Jepang
terkenal sebagai negara dengan jutaan mesin layanan otomatis alias vending
machine. Di dekat ruang tunggu ada mesin yang menjual beragam minuman mulai
dari isotonic, jus jeruk, hingga air mineral. Di sinilah bekal uang yen yang
diberikan istri sangat berguna.
Memasukkan
selembar uang 10 ribu yen, saya memilih sebotol air mineral dan sebotol
isotonic yang mereknya sudah dikenal di Indonesia. Air mineral dijual 600-yen
sementara isotonic 800 yen. Bila dirupiahkan tentu lumayan bikin tenggorokan
seret. Karena itulah, daripada bingung, mendingan langsung diminum saja deh!
Setelah
itu, uang kembalian bergemerincing turun ke kotak penampungan. Mesin itu memang
bisa menerima berbagai jenis uang dan memberikan uang kembalian sesuai
nominalnya. Kantong saku lumayan bertambah dengan berbagai jenis koin yen yang
desainnya unik.
Berfoto dulu sebelum melanjutkan perjalanan |
Ketika hari
semakin sore, matahari memancarkan sinarnya yang menguning, terdengar panggilan
untuk boarding. Berbeda dari JAL yang menerapkan boarding berdasarkan posisi
duduk, di American Airlines lebih kepada tiket rombongan. Jadi, meski ternyata
saya duduk di seat yang lumayan belakang, saya masuk di rombongan tengah. Risikonya
adalah perjuangan menuju tempat duduk dimana saya sesekali harus meminta jalan
ke penumpang yang sedang menata barang bawaan.
Akhirnya,
setelah beberapa menit perjuangan meniti Lorong pesawat berkonfigurasi 3-3-3
tempat duduk itu, saya tiba di seat belakang. Persisnya, nomor dua dari
belakang di sebelah kanan pesawat, tidak jauh dari pantry.
Seat di
bagian belakang ini memiliki posisi yang unik. Karena terletak di ekor pesawat
(Konon, peluang selamatnya paling besar ketika terjadi kecelakaan), seatnya memang
terletak di samping jendela. Namun ada jarak sekitar setengah kursi untuk
mengakomodasi bentuk dinding yang menyempit ke belakang. Jadi, dibilang dapat
jendela ya iya, namun lumayan jauh darinya. Sementara kursi depan saya ada 3,
kursi deretan saya dan belakang hanya ada 2. Jadi konfigurasinya 2-3-2. Tantangan
lain duduk di posisi ini akan datang beberapa jam kemudian.
Pemandangan dari jendela kedua dari belakang armada Boeing 787-900 American Airlines sebelum take off |
Hari mulai
gelap ketika pesawat bergerak menuju landasan pacu. Dari jendela, terlihat
petugas ground handling Narita melambaikan tangan dan tersenyum kepada para
penumpang. Pemandangan unik yang belum pernah saya jumpai selama naik pesawat
di Indonesia. Mereka seakan berterima kasih karena penumpang telah mengunjungi
Jepang dan berdoa agar perjalanan lancar sampai tujuan.
Sambil
pesawat taxing, terdengar pengumuman dalam Bahasa Inggris disusul Bahasa
Jepang. Sungguh perpaduan yang aneh antara Bahasa Inggris yang tegas dan aksen
Bahasa Jepang yang lembut nan menggemaskan layaknya suara para tokoh anime
perempuan.
Lampu-lampu
di bandara dan Kawasan di sekitarnya mulai menyala di tengah remang senja
ketika pesawat Boeing 787-900 milik American Airlines melaju dan mengangkasa
meninggalkan tanah Negeri Sakura. Dari jendela terlihat daratan Jepang yang
bagaikan bentangan hitam yang ditaburi ribuan kristal. Sayangnya, keindahan ini
berganti dengan awan tebal yang menyongsong di depan.
Setelah
pesawat mencapai ketinggian yang diinginkan, para awak kabin pun mulai
melakukan tugasnya. Keragaman masyarakat Amerika mulai saya rasakan melihat
para awak kabin. Ada orang kaukasia (kulit putih), kulit hitam, hingga warga
keturunan Tiongkok. Coba kalau ada orang Batak, Jawa, atau Sunda; kayaknya
bakalan lebih ramai.
Prosedur
kerja para awak kabin cukup mirip dengan JAL. Bedanya, di sini kain basah
hangat yang dibagikan lebih beraroma manis dibanding JAL yang memakai aroma
citrus. Pramugari yang kebanyakan berusia 30 atau 40an tersebut bergerak cepat
membagikan lap tersebut. Tidak lama kemudian, ada pramugari yang berkeliling
menawarkan earphone untuk penumpang yang ingin mendengarkan music atau menonton
tayangan dari AVOD (Audio Video On Demand) di layar depan bangku mereka. Tidak
banyak penumpang yang meminta earphone karena nampaknya masing-masing sudah
membawa sendiri.
Penumpang yang menginginkan earphone bisa mengangkat tangan,
maka pramugari akan dating dan memberikan earphone yang masih tersegel dalam
bungkus plastic.
Pemandangan
di jendela semakin gelap. Jam menunjukkan waktu sekitar pukul 19.00 waktu
Jepang ketika para awak kabin mulai membagikan makan malam. Rekan serombongan
yang merupakan Muslim telah memberikan special request sebelum berangkat yakni
hidangan halal. Karena itu, pramugari memperhatikan nomor tempat duduk dan nama
penumpang yang memesan menu khusus itu. Mereka mendapatkan menu ayam dan mashed
potatoe. Sementara yang tidak memesan menu halal diberikan pork alias B2 dengan
mashed potatoe alias kentang tumbuk.
Suasana
kabin yang tidak terlalu terang membuat saya enggan memotret makanan itu. Namun
gambaran makan malamnya seperti ini: kotak alumunium foil berisi irisan daging
babi yang tebal, kentang tumbuk, brokoli, wortel, dibekali dengan selada dan
dressing serta lada dan garam. Ada tambahan kalau tidak salah pudding untuk
dessert. Untuk minumnya, penumpang mendapatkan sebotol air mineral. Oh iya,
sebelum menu makan malam dihidangkan, sejam sebelumnya penumpang mendapatkan
minuman yang bisa dipilih antara air mineral, jus buah, teh, soda, dan kopi.
Berbeda
dengan pramugari JAL yang rajin menebar senyuman, pramugari American Airlines
lebih banyak diam dan fokus bertugas. Mereka dengan cepat mengumpulkan baki
makanan yang telah selesai dipakai lalu berberes di pantry.
Perut belum
terasa kenyang setelah menyantap makanan itu. Maklum, perut orang Indonesia
kalau belum kena nasi kayaknya belum puas. Namun, apa boleh buat. Tak mungkin
mencari nasi dalam kondisi seperti ini.
Beres makan
malam,saya mengeksplor layanan hiburan di depan saya. Ukuran layarnya sama
dengan JAL namun bedanya AVOD milik AA ini memiliki remote yang bisa menjadi
joystick. Sebab, mereka menyediakan layanan game di AVODnya. Namun kondisi
badan yang lelah membuat saya kurang tertarik bermain game dan memutuskan untuk
nonton film saja.
Budaya
Amerika tersaji jelas dalam tayangan di AVOD. Berbagai film dan serial
disediakan. Namun yang membuat saya senang adalah, AVOD ini memiliki koleksi
film animasi Disney yang lengkap! Maraton Monster Inc dan Toys Story pun
dimulai!
Namun baru
mulai Toys Story 2, badan mulai terasa pegal. Apalagi dengan suasana
remang-remang ini. Mata pun semakin terasa berat.
Terbiasa
tidur dalam keadaan gelap membuat saya harus beradaptasi. Untungnya istri
membekali saya dengan penutup mata dan bantal leher. Selimut yang disediakan di
kantong depan saya pun saya buka. Posisi saya agak leluasa karena seat di samping
saya kosong. Sepatu saya lepas namun kaos kaki tetap dipakai untuk melindungi
kaki dari udara dingin. Jaket hoodie pun sangat berguna karena setelah memakai
penutup mata dan bantal leher, langkah selanjutnya adalah menutup kepala agar
terasa gelap total.
Dalam
posisi ini saya berhasil tidur selama beberapa menit. Ya, beberapa menit saja
karena kemudian pesawat mengalami guncangan yang lumayan membuat jantung senam.
Dari cockpit, pilot yang ternyata seorang perempuan mengumumkan adanya awan
badai yang menanti di depan. Untuk itu ia meminta penumpang bersiap, karena ia
akan mengambil rute agak memutar untuk menghindarinya.
Iseng saya
nyalakan AVOD dan memilih menu rute penerbangan. Nampak dari GPS, posisi
pesawat sedang berada di dekat Rusia, hampir menjelang Alaska. Di luar jendela
memang terlihat sangat gelap karena pesawat mengangkasa dalam ketinggian lebih
dari 40 ribu kaki.
Sambil
terus berdoa, saya berusaha tidur. Ketika memejamkan mata, saya bisa mendengar
beberapa pramugari duduk di kursi di barisan sebelah saya berbincang santai.
Nampak, kondisi guncangan ini terasa biasa saja untuk mereka.
Entah
berapa lama saya memejamkan mata, ketika saya menoleh, jendela sudah berwarna
biru gelap, seperti ada cahaya yang berusaha masuk. Ternyata, jendela memang
digelapkan secara terpusat. Jemari meraih tombol untuk mengurangi tingkat
kegelapan dan nampaklah pesawat terbang di atas awan, yang terang benderang
bermandikan matahari. Yang benar saja? Bukankah barusan petang jelang malam?
Menu GPS
memberitahu bahwa pesawat sudah melewati Alaska dan berada di atas Kanada,
menuju ke Chicago. Sekitar dua jam lagi pesawat akan mendarat di O’Hare
International Airport di kota berangin tersebut.
Layar
menunjukkan, waktu di Chicago adalah pukul 13.20 di hari Sabtu. Alamaak…
berarti saya mengalami dua kali hari Sabtu sore. Rupanya pesawat yang baru saja
melewati garis batas hari di antara Alaska dan Rusia membuat waktu seakan
berjalan mundur.
Pramugari
kembali membagikan makanan, kali ini, sebut saja makan siang. Namun saya sudah
tidak berselera karena efek guncangan selama beberapa jam. Perut rasanya
seperti diaduk. Makanan berupa sejenis mie goreng dengan potongan daging ayam
dan sayur itu saya paksa masuk. Tiba di tujuan, saya tidak ingin sakit.
Beberapa
saat setelah baki makan diambil, pilot mengumumkan persiapan mendarat. Perasaan
Lelah dengan perut teraduk sedikit reda dengan perasaan antusias. Seperti
apakah tanah Amerika itu?
Namun rasa
antusias itu segera mendapat tantangan…dari Kota Berangin Chicago.
Tentu ada
alasan kuat mengapa orang menjuluki demikian.
Saat
pesawat sudah final approach, hembusan angin kuat menerpa dari sebelah kanan
badan pesawat, membuat pesawat bergerak miring ke kiri. Beberapa saat sebelum
roda menyentuh landasan, angin datang kembali dan seakan mengangkat pesawat.
Namun pilot rupanya sudah berpengalaman dengan situasi semacam ini.
Sambil
menikmati pemandangan bangunan beton yang mengelilingi bandara, saya merasakan
pilot berupaya menstabilkan pesawat hingga akhirnya mulus mendarat di ORD, kode
bandara untuk O’Hare International Airport. Selamat datang di Amerika!
Sudah
touchdown, namun penumpang Nampak santai duduk di seatnya masing-masing.
Tidak
Nampak kesibukan penumpang berebut menurunkan bagasi layaknya di penerbangan
domestic Indonesia. Terdengar music pop rock mengiringi pergerakan pesawat.
Dari kabin
depan, pramugari mengumumkan bahwa pesawat masih menunggu antrean untuk
mendapatkan gate.
Maklum
saja, ORD merupakan salah satu bandara tersibuk di dunia. Namun dari lebih 100
gate, ternyata masih harus mengantre!
Kebijakan
yang cukup baik sebenarnya. Daripada meminta pesawat berputar-putar di udara,
otoritas penerbangan setempat meminta pesawat mendarat dan menunggu di bawah.
Kesan
Pertama Bandara di Amerika
Setelah
sekitar 30 menit, akhirnya pesawat bergerak menuju gate yang ditentukan. Dari
jendela, saya bisa melihat berbagai jenis dan warna pesawat. Tak melulu putih
dengan stripping tertentu, ada pula pesawat dicat polos biru, kuning, bahkan
merah dengan tulisan branding. Antrean terlihat padat pada pukul 15.20 sore
itu.
Setelah
pesawat berhenti di gate, dan pramugari telah mengizinkan, barulah para
penumpang sibuk mengemas barang bawaannya. Wajah-wajah mengantuk dan Lelah
menghiasi, tentu karena penerbangan selama lebih dari 10 jam disertai beberapa
jam turbulensi itu.
Rupanya
saya dan seorang anggota rombongan termasuk yang turun terakhir. Maklum saja,
kami memang duduk paling belakang. Wajah-wajah letih itu menunggu di belokan garbarata,
memastikan anggota rombongan lengkap sebelum masuk ke terminal.
Namun, baru
naik satu Lorong, seorang perempuan membawa kertas bertuliskan nama-nama
anggota rombongan terlihat mencermati kami.
Oleh pihak
Kedubes dalam briefing disebutkan kami akan dibantu oleh Traveler Aid
International (TAI) ketika tiba di Chicago. Mereka bertugas membantu kami
melewati imigrasi dan mengurus transit.
Meski
terdengar sepele, namun fungsi TAI ini sungguh vital. ORD merupakan bandara
yang luar biasa besar dengan banyak terminal yang berjauhan. Dalam kondisi
Lelah, kurang tidur, disorientasi bisa berujung bencana. Minimal tersesat, atau
yang cukup riskan adalah urusan panjang dengan imigrasi karena kurang focus
menjawab atau salah ngomong.
Dibantu
oleh petugas tersebut, kami berjalan cepat menuju ke imigrasi. Ratusan orang
dari berbagai penerbangan dan negara telah mengantre. Sempat keder juga, apakah
perlu berjam-jam untuk mengantre?
Namun
petugas yang mendampingi kami meminta kami tenang dan mengisi form kepabeanan
untuk barang bawaan. Setelah itu ia membimbing kami melalui imigrasi. Kehadiran
petugas ini menjadi semacam penenang untuk kami dalam kondisi fisik yang
kelelahan.
Petugas
imigrasi yang memeriksa paspor saya terlihat mengamati layar dan
membandingkannya dengan layar komputernya. Ia hanya menanyakan apakah saya
bernama sesuai di paspor. Sejurus kemudian ia menghantamkan stempelnya di
lembar paspor dan mengembalikannya. Saya bergerak melewati garis batas imigrasi
dan menunggu rekan yang lain. Dari delapan anggota rombongan, hanya saya dan mas
Damar yang demikian cepat melewati urusan ini. Lainnya, harus menghabiskan
waktu sedikit lama.
Mereka menjawab pertanyaan seputar tujuan kunjungan, akan
kemana saja, dan kapan kembali. Pertanyaan standar sesungguhnya. Namun sempat
membuat jantung berdebar.
Setelah
orang kedelapan melewati imigrasi dengan lancar, barulah hati tenang. Kami
kemudian melanjutkan ke bagian pengambilan bagasi.
Pengambilan
bagasi di Amerika ini sedikit berbeda dengan di Indonesia. Bila di Indonesia,
setelah mengambil koper, maka akan ada petugas yang memeriksa apakah kita sudah
mengambil sesuai dengan lembar yang kita bawa, maka di sini tidak ada petugas
seperti itu. Sistem nampaknya percaya dengan kejujuran penumpang mengambil
bagasi. Atau, memang ada system canggih yang saya tidak tahu.
Beres
mengambil bagasi, kami bergeser ke konter American Airlines untuk mendaftarkan
koper kami ke penerbangan lanjutan ke Washington DC. Petugas ramah menyambut
dan dengan cepat melabeli koper kami sementara petugas dari TAI menunggu di
luar. Nampak ia gelisah ketika kami sedikit lamban.
“Kita harus
cepat. Sekedar berjaga-jaga kalau ada perubahan jadwal penerbangan,” katanya
sambil membimbing kami menuju ke stasiun kereta bandara.
Stasiun
kereta bandara ini mirip dengan sky train di Bandara Soetta. Kami harus naik ke
lantai 2 dan menunggu di depan gate kaca. Tidak ada biaya alias gratis untuk
fasilitas ini.
Tidak lama kemudian datanglah kereta yang
dimaksud. Desainnya sederhana, dengan kaca lebar dan dua lampu kecil di bawah
kaca depan. Satu kereta terdiri dari dua gerbong saja. Bagian dalam relative
sama dengan sky train, hanya saja, kereta ini tidak memiliki masinis dan
berjalan di rel baja, bukan jalur beton. Penumpang cukup mendengarkan instruksi
dan pengumuman dari pengeras suara yang nampaknya terprogram otomatis. Setelah
penumpang penuh, kereta bergerak. Kali ini kecepatannya jauh berbeda dari sky
train di Soetta. Perpindahan ke terminal domestik hanya memerlukan waktu kurang
dari 5 menit.
Tiba di
terminal domestik, terlihat antrean Panjang baik di konter maskapai maupun gerbang
keamanan bandara.
Pemandangan kabin depan kereta bandara yang dipakai untuk berpindah terminal |
Lagi-lagi,
petugas dari TAI berperan penting di sini. Ia memandu kami untuk melepaskan
sepatu, ikat pinggang dan segala logam dari pakaian untuk diletakkan di baki
khusus sebelum melewati mesin pemindai badan dan bawaan. Prosedur rumit seperti
ini nantinya akan kami alami di bandara Philadelphia, Chicago, dan San
Francisco. Standar keamanan tingkat tinggi untuk aspek penerbangan.
Di sinilah
masalah sempat membuat saya deg-degan bukan main. Tidak ada masalah dengan
pemindai badan dan barang bawaan di baki. Namun masalah ada di tas ransel.
Satu botol
air mineral dari JAL yang saya simpan di tas ransel menjadi perhatian petugas.
Air dalam botol berkali membuat alat pemindai berbunyi sehingga tas saya
ditahan. Akhirnya, petugas itu mengambil botol air mineral dari tas, baru
mengizinkan saya lewat. Fiuuuh…
Rupanya,
membawa air minum merupakan hal terlarang. Untuk bepergian, kita cukup membawa
botol kosong yang bisa diisi dengan air keran yang ada di berbagai titik di
bandara. Daripada membuat petugas kesal dan menjadi pusat perhatian, sebaiknya
menjadi pelajaran.
Petugas
kemudian memandu kami menuju ke gate 82. Dia meminta kami memasang telinga dan
selalu mencermati layar pengumuman keberangkatan pesawat.
“Kalau
penerbangan mendadak diubah jadwal atau gate, bisa repot. Tolong cermati
baik-baik. Nanti saya akan bantu menginfokan kalau ada perubahan,” katanya.
Setelah
membantu foto-foto, petugas itu kembali ke kantornya sementara kami menunggu di
depan gate 82. Jadwal penerbangan sekitar pukul 19.00 sementara ketika kami
tiba di ruang tunggu gate masih sekitar pukul 17.00.
Penumpang
dari berbagai destinasi datang silih berganti. Setiap ada pesawat datang,
Lorong terminal yang dihiasi bendera dari berbagai negara (Sayangnya, setelah
saya cari, tidak ada bendera Indonesia) segera dipenuhi ratusan penumpang yang
berjalan cepat-cepat. Ada yang sambil menyeret kopernya, ada yang sambil
menelpon. Berbagai tingkah penumpang menarik diamati.
Rasa kesal
karena air mineral yang disita membuat saya buru-buru membeli air minum di satu
toko makanan. Cukup mahal memang, 1 liter harus ditebus dengan US$8.00. Apalagi
beberapa rekan mengisi botol minumnya dari air keran. Namun saya tak menyesal
amat karena setelah mencicipi air keran, saya terus terang nggak tahan dengan
aroma kaporitnya.
Sambil
duduk menunggu, bekal yang dibawa sangatlah berguna. Pak Sofyan ternyata
membawa roti. Ah, bekal berharga untuk perut yang masih terasa aneh. Bagaimana
tidak, kami berangkat dari Jepang pada Sabtu pukul 17.30 sore dan tiba di
Chicago di hari yang sama namun pukul 16.00! Jadi, waktu seakan mundur untuk
kami.
Terlihat terik, namun sebenarnya di luar lumayan dingin lho |
Cuaca
terlihat cerah di luar dengan matahari yang bersinar Nampak terik. Kenapa saya
bilang Nampak? Karena di layar penunjuk suhu, di luar sebenarnya tak panas-panas
amat, di kisaran 18 derajad Celcius. Jadi, jangan tertipu dengan silaunya
matahari!
WiFi gratis
kembali menjadi andalan untuk mengontak keluarga di rumah. Bedanya dengan di
Jepang, di sini kami harus memilih memasukkan alamat email atau menonton iklan
sepanjang 30 detik untuk menikmati layanan internet gratis. Tidak ada makan
siang gratis!
Ada yang
video call, ada yang sekedar berkirim teks WhatsApp. Namun setelah saya
sambungkan ke WiFi, pesan dari istri barulah masuk, bersamaan dengan notifikasi
terkirimnya foto-foto saya di Jepang tadi. Sempat saya bingung kenapa istri tak
juga membalas WA saya ini. Namun setelah mengamati jam di HP (Yang masih ikut
jam Indonesia), oh lala, jam 4 sore di Chicago sama dengan jam 4 subuh di
Indonesia! Di sini Sabtu sore, di Surabaya sudah Minggu pagi!
Berfoto dulu di O'Hare International Airport di Chicago, sebelum melanjutkan perjalanan ke Washington DC |
Pengumuman
dibukanya gate untuk penerbangan ke Washington DC membuat kami tersentak dari
kesibukan masing-masing. Segera kami mengemasi barang dan mengantre di depan
gate. Tidak lama kemudian petugas mempersilakan kami masuk ke pesawat.
Suasana
Lorong kabin armada Boeing 737-800NG milik American Airlines ini nyaris tak ada
bedanya dengan milik Garuda Indonesia. Mungkin hanya ornament di kursi dan
meja, serta kartu dan majalah di kantong depan mengingatkan kalau ini maskapai
di Amerika.
Kembali
saya beruntung bisa duduk di seat istimewa yakni di samping pintu darurat. Hal
ini memberikan kaki saya keleluasaan lebih untuk bergerak. Pramugari (Yang kali
ini jauh lebih ramah dibanding yang di 787) bertanya apakah saya paham konsekuensi
duduk di samping pintu darurat. Pengalaman beberapa kali duduk di seat ini
membuat saya mengiyakan.
Tak perlu
menunggu lama, pesawat pushback, meninggalkan terminal ORD yang masih saja
sibuk menjelang senja itu. Langit terasa biru dengan gradasi di tepian
horizonnya. Pesawat bergerak mundur meninggalkan bangunan kaca persegi.
Meski
padat, namun pesawat kami tak perlu lama mengantre untuk tinggal landas. Ketika
langit mulai gelap, pesawat sudah mengangkasa.
Tak banyak
yang bisa dinikmati dari pemandangan malam. Dari jendela hanya terlihat kerlip
lampu berbagai bangunan dan jalanan di bawah sana. Pun, pemandangan sirna
ketika pesawat menambah ketinggian dan menembus awan gelap. Cuaca rupanya
sedang tidak bersahabat di antara Chicago-Washington DC. Sesekali pesawat
berbelok dan agak memiringkan badannya.
Kabin
diremangkan setelah pramugari menyajikan minuman dan snack untuk perjalanan
selama sekitar dua jam itu. Minuman bersoda menjadi pilihan untuk berhadapan
dengan tubuh yang sepertinya kebingungan dengan kondisi luar dan menunjukkan
gejala masuk angin.
Keremangan
kabin ini rupanya mengundang kantuk yang sedari beberapa jam lalu tidak juga
datang. Baru saya akan menggembungkan bantal leher ketika pilot memberi
pengumuman untuk pendaratan di Ronald Reagan National Airport.
Cuaca buruk rupanya dapat diatasi oleh kemampuan pilot dengan mendarat secara mulus. Selamat datang di Ibukota Negara Amerika Serikat!
No comments:
Post a Comment