Hanya satu catatan dari pengamatan saya

Hasil pengamatan seputar kehidupan sehari-hari, jalan-jalan, film, hingga soal sejarah, kereta api dalam dan luar negeri

Friday 13 October 2017

Jejak NISM di Jembatan Sasak (Winongo)


Jembatan Sasak (Winongo)




Setelah halte ini, jalur terus mengarah ke selatan, menyeberang Ringroad Selatan. Jalur terus berada di sisi barat jalan hingga tiba di kampung Kweni. Di sini rel masuk ke perkampungan di sebelah barat. Beberapa puluh meter masuk ke perkampungan, rel bertemu dengan sungai Winongo. Di sini bekas jembatan rel di sungai Winongo masih terlihat jelas karena jembatan ini kemudian diberi beton dan dimanfaatkan oleh warga sekitar dan diberi nama Jembatan Sasak.

Aga mengatakan, jembatan ini masih mencirikan jembatan khas yang dibangun oleh NIS dengan bentuk pondasi bersayap dan melengkung. ”Desain ini berguna untuk menahan derasnya air sungai,” katanya.

Setelah jembatan sungai Winongo, jalur terus mengarah ke selatan dan bertemu dengan Stasiun Winongo. Bangunan stasiun masih terlihat cukup utuh meski kurang terawat. Di sisi barat stasiun bisa dijumpai bekas emplasemen stasiun yang kini menjadi kebun dan kandang. Sementara itu di sisi utara stasiun terdapat rumah yang ditempati oleh Subain (58).


Berdasarkan penelusuran literatur, stasiun Winongo yang berada di lintas antara Halte Dongkelan dengan Halte Cepit ini resmi di non-aktifkan (untuk komersil) antara 1973-1974. Setelah itu jalur hanya melayani lalu lintas kereta api barang pengangkut kayu bakar dari Yogyakarta ke Pabrik Gula Madukismo (serta tetes tebu) sampai dengan awal tahun 1980-an yang kemudian ditutup total seiring dengan berhentinya pelayanan kereta api lintas Yogyakarta-Palbapang. Diperkirakan dibangun pada sekitar tahun 1894-1895 bersamaan dengan dibukanya jalur rel lintas Yogyakarta sampai Bantul atau Palbapang oleh NIS.

Hari Kurniawan menjelaskan, pada awal pembangunan, jalur Yogya-Palbapang menggunakan jalur rel dengan lebar 1435 mm yang kemudian pada tahun 1950 dibangun lagi oleh Djawatan Kereta Api (DKA) dan dikonversi ke lebar 1067 mm. Ciri arsitektur bangunan sangat khas dengan pola bentuk ventilasi atau yang berbentuk bulat, ciri ini selain dapat dijumpai di stasiun Winongo juga bisa ditemui di beberapa stasiun lainnya seperti stasiun Bantul, Palbapang, Kedundang, Solo Kota dan Sukoharjo. “Bangunan terlihat mendapatkan sentuhan ornamen tradisional setempat seperti bentuk atap yang mendekati bentuk pola rumah Joglo atau pola corak rumah di daerah Jawa Tengah. Ciri arsitektur ini adalah style bangunan di tahun 1950an,” jelasnya.

Sementara itu, penduduk setempat, Subain menjelaskan, ia sempat menyaksikan era ketika Stasiun Winongo masih aktif. Sebab, ia adalah anak dari Alm Saryoko yang bertugas sebagai penjual tiket di Stasiun Winongo. Menurutnya, saat itu pengguna angkutan KA Yogya-Bantul sangat ramai, terlebih ketika momen Sekaten atau Lebaran tiba. Tiket KA waktu itu dijual Rp 1 untuk ke Bantul dan Palbapang atau ke Yogyakarta.

“Cukup ramai untuk penumpang. Selain itu, angkutan barang juga, terutama angkutan gula dari Madukismo. Dari tiga jalur yang ada waktu itu, jalur paling barat berbelok ke arah PG Madukismo,” katanya.(*)

No comments:

Post a Comment

Mohon bantuan kliknya