Kereta api Prambanan Ekspres melintas depan stasiun Maguwo Lama. Dok pri |
Stasiun Maguwo merupakan satu stasiun modern yang letaknya persis berhadapan dengan Bandara Internasional Adisucipto di Yogyakarta. Stasiun yang terletak di antara stasiun Lempuyangan dan Brambanan ini menjadi contoh penting integrasi antar moda dimana moda transportasi pesawat bertemu dengan kereta api dan layanan bus Trans Jogja.
Setiap harinya, Stasiun Maguwo sibuk melayani aktivitas penumpang komuter terutama pengguna KA Prambanan Ekspress (Prameks). Maklum saja, stasiun Maguwo memang hanya memiliki KA Prameks sebagai KA yang berhenti normal di sini selain aktivitas langsiran KA angkutan Pupuk yang membongkar muatan di gudang pupuk tidak jauh dari stasiun Maguwo.
Meski menjadi stasiun penting integrasi antar moda, namun Stasiun Maguwo yang saat ini beroperasi bukanlah stasiun lama. Stasiun ini baru dioperasikan pada 2010 mengikuti selesainya pembangunan jalur ganda Solo-Kutoarjo beberapa tahun sebelumnya.
Stasiun Maguwo yang sempat masuk dalam adegan di film Janur Kuning adalah stasiun Maguwo Lama. Stasiun ini terletak tidak jauh dari stasiun Maguwo yang sekarang aktif, tepatnya sekitar 100 meter di barat stasiun baru.
Status non aktif yang disandang oleh stasiun Maguwo lama tidak bisa menyembunyikan perannya yang penting dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI maupun perannya dalam sejarah perkeretaapian Indonesia. Stasiunun Maguwo Lama yang terletak dekat runway barat Bandara Adisucipto ini pernah menjadi stasiun yang sangat ramai.
Setelah jalur rel ganda beroperasi pada 2008, stasiun inipun dinonaktifkan. Stasiun baru yang lebih dekat ke pintu masuk bandara dibangun menggantikan stasiun ini, menopang aktivitas kereta komuter Prambanan Ekspress.
Meski saat ini sepi dan tidak ada aktivitas perkeretaapian lagi, namun ternyata stasiun ini menyimpan banyak cerita bersejarah. Sejak jaman penjajahan Belanda hingga kemerdekaan, stasiun ini memiliki peran yang tidak kecil.
Hari Kurniawan dari Komunitas Roemah Toea mengatakan, stasiun Maguwo lama merupakan stasiun unik karena menjadi satu dari sedikit stasiun yang masih memakai kayu sebagai bahan utama. "Dulunya ada puluhan stasiun yang memakai bahan kayu, namun saat ini hanya tersisa empat termasuk Maguwo ini," katanya dalam kegiatan "Kelas Mewarnai Indonesia; Seri Menulis dan Jelajah Heritage" di Stasiun Maguwo Lama belum lama ini.
Hari Kurniawan ketika memandu acara "Kelas Mewarnai Indonesia; Seri Menulis dan Jelajah Heritage" di Stasiun Maguwo Lama belum lama ini. |
Dalam acara tersebut, puluhan peserta yang terdiri dari komunitas dan penggiat sejarah belajar lebih jauh mengenai sejarah perkeretaapian Indonesia di Stasiun Maguwo Lama. Selain mendengarkan penjelasan, dalam acara yang helat oleh Duta Damai Yogyakarta bekerjasama dengan Komunitas Roemah Toea ini, peserta juga diajak berkeliling melihat peninggalan sejarah perkeretaapian Indonesia yang masih tersisa di sekitar kompleks stasiun.
Setelah mendapatkan penjelasan singkat di stasiun, peserta yang dibagi dalam dua kelompok menelusuri sisa jalur Staatspoorwegen (SS) alias perusahaan kereta api pemerintah Hindia-Belanda yang terletak di utara stasiun. Dulunya, stasiun Maguwo ini memang dikelilingi oleh dua jalur kereta api yakni jalur milik Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) atau perusahaan kereta api swasta Hindia Belanda dengan lebar rel 1.435mm di selatan stasiun dan jalur SS dengan lebar rel 1.067mm di utara stasiun. Setelah Jepang datang pada 1942, jalur milik SS dicabuti, sementara jalur milik NIS dikonversi menjadi 1.067mm.
Para peserta dipandu anggota Komunitas Roemah Toea menelusuri perkampungan setempat dimana jalan kampung yang ada dulunya adalah pondasi jalur rel. Peserta masih bisa melihat patok-patok rel yang tersebar di beberapa titik di kampung.
Rute selanjutnya, peserta diajak melihat pondasi jembatan kecil di sebelah barat area gudang pupuk Maguwo. Di sini terdapat dua jembatan kecil untuk dua jalur rel milik NIS dan SS. Setelah itu, peserta diajak menuju ke rumah dinas kepala Stasiun di bagian timur stasiun Maguwo lama.
"Di rumah dinas ini, dulu tersimpan arsip penting kunjungan Bung Karno ke Purwokerto pada 1955. Waktu itu Presiden RI naik pesawat dari Jakarta menuju ke Purwokerto. Karena di Purwokerto belum ada bandara, maka presiden naik pesawat lalu mendarat di Maguwo. Dari Maguwo, Bung Karno kemudian naik kereta api ke Purwokerto. Sayang arsip penting tersebut musnah ketika gempa merusak rumah dinas ini pada 2006," papar Hari.
Dari rumah dinas, peserta kemudian beranjak sedikit ke selatan, tepat di samping timur pagar stasiun. Di sini terdapat sebatang pohon Kamboja yang rindang. Menurut Hari, pohon Kamboja tersebut sengaja ditanam kepala Stasiun Maguwo beberapa puluh tahun lalu.
"Sebab, di tempat ini ada seorang warga setempat yang tertembak oleh KNIL ketika Agresi Militer Belanda pada 1948. Waktu itu tentara Belanda terjun dengan parasut di Maguwo lalu bergerak menguasai kota Yogyakarta. Dalam prosesnya ada korban yakni penduduk setempat. Pohon Kamboja ditanam sebagai penanda," ujarnya.
Para peserta kemudian diajak kembali ke stasiun untuk berdiskusi dan tanya jawab. Hari menguraikan, setidaknya ada dua peristiwa penting di Stasiun Maguwo Lama yakni Agresi Militer Belanda pada 1948, kunjungan Presiden Soekarno pada 1955.
"Selain itu, dulunya stasiun ini sangat sibuk. Pegawai mengawasi lalu lintas KA penumpang kelas 3 menuju ke Solo, Klaten bahkan Brosot bisa melalui sini. Selain itu, ada aktivitas pengiriman gula dari Pabrik Gula Wonocatur yang bangunannya sekarang menjadi museum Dirgantara. Masih ditambah pula aktivitas pengiriman avtur ke jalur rel khusus ke Bandara," katanya.
Tidak hanya mendapatkan penjelasan tentang sejarah stasiun Maguwo, peserta juga dikenalkan peran penting Yogyakarta dalam perkembangan sejarah pariwisata. Hari memaparkan, paket wisata ke Borobudur sejatinya telah terkenal sejak era kolonialisme Belanda.
"Di Eropa Barat sejak pembukaan Terusan Suez, Belanda berupaya menjual pariwisata di Hindia Belanda. Tidak hanya Bali, banyak titik destinasi lain mulai dari Bandung yang dikenal sebagai Paris Van Java, kemudian Semarang sebagai Venezia Van Java, dan paket wisata Candi Borobudur," terangnya.
Dalam proses transportasi wisatawan ke Borobudur, lanjut Hari, Belanda sangat serius membangunnya. Hal itu terbukti dengan adanya rencana pembangunan jalur KA menuju Borobudur dari Purworejo. Sebab, dari Yogya dirasa kurang efisien.
"Sayangnya, rencana tersebut batal karena Jepang tiba dan menduduki Hindia Belanda. Banyak rencana lain yang tidak terwujud. Andai Jepang tidak datang, kemungkinan besar jalur wisata tersebut dapat terwujud," tegasnya.(*)
No comments:
Post a Comment