Hanya satu catatan dari pengamatan saya

Hasil pengamatan seputar kehidupan sehari-hari, jalan-jalan, film, hingga soal sejarah, kereta api dalam dan luar negeri

Wednesday 11 October 2017

Nostalgia Jalur Kereta Api Yogya-Bantul (1)




Kunjungan Menteri Perhubungan RI, Budi Karya Sumadi pada akhir 2016 lalu di trase jalan rel Yogya-Magelang menguak nostalgia di dunia perkeretaapian. Tak hanya penting untuk angkutan KA lintas selatan saat ini, Yogyakarta juga pernah menjadi kota yang banyak punya jalur KA. Selain jalur KA utama lintas Solo-Kroya, Yogya juga memiliki jalur ke Bantul berlanjut ke Sewugalur dan ke Magelang. Sayangnya, dua lintas tersebut telah dinonaktifkan karena berbagai alasan.

Yogyakarta sebagai wilayah dengan potensi wisata dan pendidikan yang terus berkembang tentunya memerlukan moda tranportasi penunjang yang mumpuni. Kondisi jalan raya yang semakin padat membuat pemerintah sudah waktunya mulai mengembangkan transportasi umum misalnya kereta api.

Dalam hal perkeretaapian, Yogyakarta sendiri bukan kota yang asing dengan transportasi berbasis rel ini. Tercatat, ada banyak jalur percabangan yang berangkat maupun menuju Yogyakarta antara lain jalur Yogya-Magelang, Yogya-Pundong, dan Yogya-Palbapang-Sewugalur.



Banyaknya jalur KA ini tak lepas dari kondisi saat itu dimana rel menjadi basis pengangkutan berbagai hasil alam dan industri. Khusus untuk jalur Yogya-Bantul Sewugalur berdasarkan penelusuran literatur yang dilakukan komunitas Kota Toea, jalur ini oleh pemerintah Hindia Belanda pada mulanya untuk mengangkut hasil bumi dari wilayah pedalaman Jawa Tengah atau Vorstelanden, yaitu wilayah Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta yang merupakan daerah paling produktif di sektor pertanian dan sekaligus sulit untuk dijangkau.

Keberadaan jalur KA ini diharapkan mempermudah pengangkutan hasil bumi serta gula hasil produksi dari pabrik gula Padokan (Sekarang menjadi PG Madukismo), Gondanglipuro, Gesikan dan Sewugalur (termasuk pabrik gula Pundong dan pabrik-pabrik gula lain yang saling berdekatan) menuju daerah pelabuhan di pantai utara Jawa (Semarang).

Pada masa kejayaannya, pabrik gula memang bertebaran di Yogyakarta. Setidaknya ada 18 pabrik gula yang beroperasi di wilayah ini. Untuk itu, tuntutan kebutuhan angkutan yang cepat dan masif tentu tak bisa dielakkan lagi. Dalam hal ini kereta api menjadi solusinya, walau dalam perkembangannya angkutan juga berkembang untuk angkutan manusia.

Jalur KA Yogya-Bantul


Keberadaan jalur kereta api lintas Yogyakarta-Ngabean-Bantul-Palbapang-Srandakan (Kabupaten Bantul) sampai dengan Brosot dan Sewugalur yang masuk di daerah Kecamatan Galur, Kulonprogo dibangun oleh perusahaan swasta Hindia Belanda, Nederlandsch-Indische Spoorweg maatschappij (NIS). Pembangunan jalur dengan lebar rel 1435 mm ini berdasarkan surat Gouvernement Besluit No. 9 tahun 1893 yang tertanggal 20 April 1893. Pada 1895 pembangunan mulai mencakup ruas Yogyakarta, Palbapang sampai dengan Srandakan sejauh 23 km. Kemudian dilanjutkan membangun jalur dari Srandakan menuju Sewugalur pada tahun 1915-1916 sepanjang 5 km dimana jalurnya melintasi Sungai Progo.

Beragam alasan menjadi akhir kisah keberadaan jalur-jalur cabang yang pernah menjadi penopang industri tersebut. Jalur Palbapang-Sewugalur ditutup pada 1943 oleh tentara Jepang yang baru saja masuk. Rel dipindah ke Burma (Myanmar) sementara fasilitas berupa stasiun dan halte diratakan dengan tanah. Menyusul pada 1973, jalur KA Yogya-Palbapang dinon-aktifkan karena merugi dan mulai beralihnya tulang punggung transportasi ke jalan raya.

Setelah puluhan tahun ditutup, bagaimana kondisi jalur KA tersebut? Berbekal peta lama buatan 1935, pada akhir 2016 lalu penulis melakukan penelusuran. Perjalanan dimulai dari stasiun Tugu Yogyakarta dimana jalur percabangan ini bermula. Berasarkan pengamatan di lapangan, diperkirakan jalur ini berawal dari jalur 1 di Stasiun Tugu yang berbelok ke selatan menuju ke jalan Jlagran Lor. Sisa jalur rel dari stasiun ini telah hilang. Namun di tepi jalan Jlagran Lor, tepatnya di sekitar trotoar sebelum kantor kecamatan Gedong Tengen, terdapat sisa rel yang masih bisa dilihat.

Menuju ke selatan, sebelum simpang empat Ngampilan, rel menyeberang jalan ke selatan memasuki perkampungan Pringgokusuman hingga bertemu dengan simpang tiga jalan Pringgokusuman. Di perkampungan ini, jalur rel yang masih ada dimanfaatkan warga sebagai tempat menjemur pakaian dan parkiran.

Di tepi barat jalan perkampungan ini, besi rel masih terlihat jelas. Namun ketika jalur mengarah ke jalan Letjen Suprapto, jalur rel tidak terpantau lagi dan kemungkinan telah ditimbun oleh jalan beraspal. Namun jejak jalur rel di sepanjang jalan Letjen Suprapto ini masih dikuatkan dengan adanya tiang sinyal di depan satu toko ban, tidak jauh dari simpang tiga Ngabean.


Setelah melintasi jalan Letjen Suprapto, rel mengarah ke selatan dan masuk ke area yang sekarang menjadi tempat parkir Ngabean. Di sini, bekas bangunan Stasiun Ngabean masih bisa dijumpai. Bangunan ini sebagian besar masih asli. Modifikasi hanya terlihat di sisi selatan bangunan yang telah ditambahkan kaca. Padahal, aslinya bangunan ini pada pintu dan jendelanya memakai kayu.


Kondisi stasiun saat ini dimanfaatkan sebagai tempat penjualan tiket angkutan shuttle dan toko cindera mata sehingga kondisinya masih relatif terawat. Bangunan stasiun masih asli dengan kusen-daun pintu dan jendela ber-arsitektur kolonial serta berlantai khas berwarna coklat-kuning. Pada salah satu emplasemennya yaitu jalur 1, masih dipertahankan bekas rel-nya dan 3 bekas roda kereta yang ditinggalkan.

Emplasemen stasiun Ngabean cukup luas dan diperkirakan ketika beroperasi memiliki 4 jalur yang sekarang menjadi taman parkir bus wisata Pemkot Yogyakarta. Meski kecil, stasiun Ngabean memiliki peran penting. Hari Kurniawan dari Komunitas Kota Toea menjelaskan, stasiun ini dahulunya melayani bongkar muat barang dan naik turun penumpang dari kalangan pekerja, pedagang serta pelajar dari Bantul yang menuju ke kota Yogyakarta. ”Bahkan pada setiap perayaan seperti tahun baru, Lebaran dan Sekaten yang berlangsung di Kraton Yogyakarta, stasiun Ngabean akan bertambah semakin ramai,” katanya.

Mengarah ke selatan keluar dari stasiun Ngabean, kondisi beberapa rel yang mengarah ke selatan sekarang telah tertimbun tanah serta bangunan pemukiman penduduk dan pasar Ngampilan. Jalur kereta api dari stasiun Ngabean hingga simpang empat pojok beteng kulon adalah sejajar. Andai kata ada dua kereta yang berangkat bersamaan, maka akan telrihat bak dua KA yang sedang balapan.

Dua jalur ini merupakan percabangan untuk lintas Ngabean-Pundong di sebelah timur dan Ngabean-Bantul-Sewugalur di sebelah barat. Jalur ini akan berpisah di simpang empat Pojok Beteng Kulon dimana jalur ke Pundong akan berbelok ke timur sejajar dengan jalan MT Haryono sementara jalur ke Bantul lurus ke jalan Bantul.

Di sepanjang jalan Bantul dari Pojok Beteng Kulon, bekas jalur rel ini masih terlihat jelas menyembul dari tepi barat jalan terus mengarah ke selatan. Tepat sebelum kawasan Pasar Hewan dan Tanaman Hias Yogyakarta (pasty), terdapat Halte Dongkelan. Sayangnya, bangunan ini tidak lagi asli. Sebab, bangunan aslinya telah terbakar untuk kemudian direnovasi. Gempa 2006 menghancurkan bangunan ini sehingga kemudian halte ini dibangun ulang. Perbedaan jelas terlihat pada lengkung bangunan yang tidak terlalu tebal layaknya bangunan lama.

Bersambung ke: Jejak NISM di Jembatan Sasak (Winongo)

No comments:

Post a Comment

Mohon bantuan kliknya